Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari sejumlah organisasi yang mendukung kelestarian lingkungan hidup menggelar nobar dan diskusi film "Bloody Nickel" di Taman Ismail Marzuki pada Sabtu sore, 4 Mei 2024. Diskusi itu menyoroti sederet problematika hilirisasi nikel yang dianggap hanya menguntungkan pebisnis namun merugikan masyarakat sekitar tambang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pameran ini merupakan acara tandingan pameran kendaraan listrik yang digelar oleh Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (PERIKLINDO) pada 30 April - 5 Mei 2024 di Jakarta International Expo (JIEXPO) Kemayoran," kata panitia sekaligus jurnalis Mongabay Indonesia, Della Syahni, saat memimpin diskusi, Sabtu, 4 Mei 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diskusi film itu ditujukan untuk merespons program pemerintah yang masif mendorong kendaraan listrik (EV) beserta sisi gelap hilirisasi nikel. Acara itu digelar oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Enter Nusantara, Satya Bumi, Trend Asia, YLBHI, Aksi Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER), KontraS, Auriga, dan Pasar Rakyat.
Tiga warga yang terdampak pertambangan nikel turut dihadirkan untuk menuturkan pengalaman mereka melawan pertambangan nikel dalam diskusi itu. Nursida Can, warga Desa Sagea Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, menjadi salah satunya.
Nursida bercerita bahwa sebelum industri nikel berdiri di desanya, masyarakat dapat memperoleh kesejahteraan. "Setelah tambang itu datang, kami resah. Mereka rusak kami punya lingkungan," kata Nursida.
Perempuan paruh baya itu bercerita, dia dan masyarakat desanya sudah berkali-kali melakukan demonstrasi ke kantor pemerintah setempat. Bahkan, sambung Nursida, demonstran kerap mendapatkan represi dari aparat penegak hukum.
"Kami sudah aksi damai, sudah demo, tapi ada gas air mata yang dilemparkan. Kami kesal tak ada yang merespons dari pemerintah," ujarnya.
Selanjutnya, Asrar, warga Morowali, Sulawesi Tengah, turut menuturkan kisah yang tak jauh berbeda. Dia menyebut pertambangan nikel di daerahnya telah merusak perairan dan ekosistem di dalamnya.
Asrar mengungkap, kerusakan lingkungan hidup memicu penurunan hasil ikan tangkapan bagi nelayan kelas menengah ke bawah. Akibatnya, sambung Asrar, hanya perusahaan besar yang dapat bertahan.
Dia juga menceritakan soal industri nikel yang dibangun di belakang sekolah. "Suara mesin pengolah nikel lebih nyaring daripada suara guru," tuturnya.
Selanjutnya: Pengalaman warga Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara
Pengalaman senada juga dirasakan Wilman, warga Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara. Dia menyebut perusahaan tambang, terutama nikel, kerap menghancurkan hubungan antaranggota keluarga sebelum merusak lingkungan hidup.
Dia mencontohkan, perusahaan-perusahaan tambang sering membujuk pasangan suami istri yang berujung pada perselisihan dan perceraian. "Istrinya mau ngasih lahan buat tambang, suaminya menolak," kata Wilman.
Wilman juga memberi contoh lain seperti hubungan orang tua dan anak serta adik dan kakak juga sering tidak harmonis karena berbeda pendapat soal sikap terhadap pertambangan.
Lebih lanjut, Wilman juga mengkhawatirkan soal kriminalisasi aktivis lingkungan yang kerap menimpa kawan-kawannya. Menurut dia, pengusaha pertambangan biasa menjalin kerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membungkam para aktivis.
Dalam acara itu, hadir pula beberapa narasumber utama, yakni ekonom senior Faisal Basri, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar, dan Ketua Serikat Pekerja Nasional (SPN).
Selain diskusi, acara yang digelar koalisi masyarakat sipil itu juga dimeriahkan dengan pameran foto, seni instalasi dan instalasi, dan pertunjukan musik. Berbagai komunitas dan kelompok mahasiswa juga turut menghadiri acara yang digelar pada 3-4 Mei itu.