Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

''Koalisi Gus Dur-Amien Akan Sulitkan Habibie

Pengamat politik Harold Crouch menjelaskan soal pemilu, koalisi antarpartai, dan kans Golkar serta Habibie.

8 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


Harold Crouch, pengamat politik dari Universitas Nasional Australia, berada di Jakarta pekan lalu. Doktor ilmu politik lulusan Universitas Monash itu tengah mengamati persiapan pemilihan umum di Indonesia. Penulis buku The Army and Politics in Indonesia ini adalah pengamat Indonesia yang tekun. Ia bahkan pernah mengajar ilmu politik di Universitas Indonesia, pada 1968-1971. Berikut ini petikan wawancara Andari Karina Anom dan Mardiyah Chamim dari TEMPO dengan Crouch di Jakarta, Jumat pekan lalu.

Bagaimana Anda melihat persiapan pemilu?

Saya kira ada kelemahan dalam undang-undang yang ada. Kalau mau demokrasi 100 persen, ABRI tak boleh masuk di DPR. Tapi saya kira ada baiknya juga ABRI masuk DPR. Dulu ABRI dan Golkar adalah mayoritas di DPR. Sekarang kursi ABRI kurang dari 10 persen. Itu berarti anggota ABRI tidak bisa memerintah saja. ABRI harus mendekati dan membujuk partai-partai lain untuk enjalankan keinginannya. Bukannya saya membela atau mempertahankan ABRI di DPR, tapi ada baiknya juga.

Namun, bukankah ABRI di DPR bertentangan dengan UU karena mereka tidak dipilih tapi diangkat?

Prinsipnya memang begitu, tapi saya hanya melihat akibatnya, apalagi sekarang adalah zaman transisi.

Akan banyak anggota ABRI aktif dan purnawirawan yang menjadi politisi. Menurut Anda?

Saya kira ini bukan hal yang mengkhawatirkan, tapi cukup baik. Saya lihat di negara lain, seperti Thailand dan Filipina, tidak banyak mantan perwira yang aktif di parpol walaupun di sana banyak parpol. Orang yang sudah pensiun dari ABRI sekarang cenderung memilih partai yang ada. Kalaupun ABRI tidak punya wakil di pemerintah, ABRI tetap berpengaruh.

Orang banyak berbicara tentang koalisi. Itu bisa dilakukan sebelum atau sesudah pemilu?

Kalau sistem distrik yang dipakai, koalisinya bisa dibentuk sebelum pemilu. Tapi, kalau sistem proporsional yang dipakai, logisnya, jangan bentuk koalisi dulu. Dalam sistem distrik, satu calon saja yang menang. Kalau kalah, ya habis. Tapi kalau sistem proporsional, walaupun tidak menang, setidaknya ada wakil partai yang mendapat kursi. Jadi, dilihat saja nanti, partai mana yang akan mendapat dukungan. Buat apa berkoalisi dengan partai yang tidak didukung?

Tapi Indonesia memakai sistem campuran distrik dan proporsional. Bagaimana kemungkinan koalisi itu?

Ini membingungkan. Menurut saya, ini akan menimbulkan masalah nantinya. Saya sendiri kurang mengerti bagaimana sistem campuran ini. Dalam sistem proporsional, menentukan partai yang mendapat kursi itu tidak jadi masalah. Tapi siapa yang akan mengisi kursi itu jadi masalah. Misalnya, diambil calon yang paling kuat di daerah dari partai masing-masing (di urutan atas daftar calon—Red.). Tapi mungkin orang yang paling kuat untuk partai itu kalah dibandingkan dengan calon dari partai lain di daerah itu. Jadi, bagaimana mungkin dia kalah tapi bisa mendapat kursi? Bagi saya, sistem yang baik adalah sistem yang paling adil untuk menjamin setiap suara terwakili. Tapi, saya kira, salah satu ciri sistem pemilu yang baik adalah sistem itu mudah dimengerti oleh rakyat biasa.

Apakah Anda melihat potensi konflik dalam pemilu mendatang?

Mungkin bukan konflik, tapi ada orang-orang yang merasa kurang puas. Mungkin saja banyak yang menerima, tapi sesudah itu pasti banyak orang yang mengadu.

Partai mana yang akan didukung banyak orang?

Sebenarnya kita bisa memetakan (hasil pemilu nanti) berdasarkan hasil pemilu lima tahun lalu. Tapi Indonesia melaksanakan pemilu yang betul-betul bebas itu 44 tahun lalu. Jadi, sulit untuk memetakannya. Sementara Golkar mendapat banyak suara dalam pemilu yang lalu, sekarang rakyat tampaknya tidak begitu percaya lagi. Perolehannya bisa menurun 10 sampai 40 persen.

Jadi, Golkar masih punya kekuatan?

Di Jawa mungkin Golkar tidak begitu berhasil, tapi di luar Jawa mungkin berhasil. Yang menguntungkan bagi Golkar, separuh dari kursi bisa didapat dari Jawa dan Bali, separuh lagi di tempat lain. Sebab, jumlah penduduk di luar Jawa hanya sepertiga, tapi jatah kursinya separuh. Dan di Jawa, jatahnya separuh juga. Artinya, sistem ini menguntungkan bagi daerah di luar Jawa. Kebetulan Golkar lebih kuat di luar Jawa. Mungkin, di luar Jawa, Golkar mendapat 30 persen suara, tapi kursinya 40 persen. Saya tidak menghitung pasti, tapi lebih kurang seperti itulah.

Bagaimana dengan partai-partai yang berbasis Islam?

Jika sistem distrik yang dipakai, dan partai-partai Islam yang kecil itu berdiri sendiri-sendiri, pasti mereka kalah melawan satu partai yang besar. Tapi, kalau sistem proporsional yang dipakai, partai-partai kecil itu bisa mendapat kursi juga. Jadi, nanti sesudah melihat hasil pemilu, partai-partai Islam itu bisa bergabung.

Partai Amanat Nasional muncul dengan ide-ide pluralisme. Akan laku?

Mudah-mudahan berhasil, tapi saya tidak tahu. Mungkin idenya seperti Partai Sosialis Indonesia dulu.

Kans Megawati?

Saya lihat Megawati membutuhkan dukungan Gus Dur. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana ABRI jika koalisi PKB, PKP, dan PDI Perjuangan mendapat 45 persen dan koalisi Islam juga mendapat 45 persen.

Anda melihat kapasitas Megawati cukup baik?

Saya pikir, presiden tidak mesti menjadi orang yang pintar di segala bidang. Ambil contoh Amerika Serikat saat dipimpin Ronald Reagan. Ia tidak menguasai politik sama sekali, tapi ia pandai memilih orang yang tepat dan bisa bekerja sama. Jadi, ia menjadi ketua tim yang baik. Kalau hal ini dilakukan Megawati, mungkin ia bisa menjadi pemimpin yang baik.

Kemungkinan naiknya Amien Rais?

Dia juga punya potensi kuat, apalagi jika berkoalisi dengan PDI Perjuangan. Tapi saya rasa Gus Dur sulit memberikan dukungan.

Pendapat Anda tentang Habibie?

Sebelum saya ke Indonesia kali ini, saya merasa Habibie tidak akan mencalonkan diri lagi. Tapi, setelah saya berbicara dengan beberapa orang di sini, saya rasa kemungkinan itu ada. Sekali lagi, perundingan mengenai masalah calon presiden tidak akan terjadi sebelum pemilu. Mungkin partai-partai Islam yang tidak mau memilih Megawati akan mencari tokoh lain. Tapi siapa yang menonjol? Yusril Ihza Mahendra mungkin tak semua orang suka. Amien Rais juga begitu. Siapa lagi tokoh yang menonjol dibandingkan dengan Habibie? Tapi segala sesuatu bisa berkembang karena pemilihan presiden dilakukan November 1999.

Golkar akan kembali mencalonkan Habibie?

Secara umum, seorang pemimpin yang muncul pada saat ekonomi menurun itu kurang baik. Walaupun ia berprestasi baik, ia akan selalu disalahkan karena tidak dapat mengatasi krisis ekonomi.

Kalau Golkar menjual duet Habibie-Wiranto, bagaimana peluangnya?

Saya rasa Habibie masih mendapat dukungan dari ABRI. Jadi, ini mungkin harga yang harus dibayar untuk mendapatkan posisi itu. Tapi pemilihan presiden masih delapan bulan lagi. Masih banyak hal yang bisa terjadi.

Mega-Gus Dur-Edi Sudradjat dikabarkan akan berkoalisi. Menurut Anda?

Walaupun belum jadi koalisi, saya kira ini ada logisnya. Amien Rais sebenarnya juga suka kalau diikutsertakan dalam koalisi itu. Tapi apakah dia akan diterima oleh Gus Dur? Kalau Megawati, saya rasa, bisa menerima Amien. Juga ada masalah bahwa tiap pemimpin partai mau menjadi presiden.

Koalisi mana yang bisa membentuk pemerintahan yang kuat?

Yang ideal jika koalisi itu diterima rakyat. Jika Habibie didukung partai-partai Islam, ya silakan saja. Barangkali yang paling baik adalah jika dalam koalisi itu ada kelompok Islam dan non-Islam. Sebab, kalau koalisi yang menang hanya memikirkan pendukungnya sendiri, itu akan sulit. Kalau Megawati hanya memikirkan pendukung PDI, akan sulit baginya. Begitu juga jika Habibie hanya mementingkan kelompoknya.

Bagaimana tawaran koalisi PAN-PDI Perjuangan-PKB?

Itu juga cukup baik. Itu harus dilakukan oleh Amien Rais. Sebab, kalau Amien atau Gus Dur yang memimpin koalisi partai Islam yang modernis, akan sulit bagi Habibie.

Anda melihat ini saatnya kepemimpinan nasional dipegang oleh sipil?

Kalau ada dua koalisi besar meraih 45 persen dan 45 persen, yang menentukan adalah yang didukung oleh ABRI. Sudah tentu ABRI tidak sekadar mendukung. Pasti ada negosiasi tertentu. Dalam keadaan itu, mana pernah ABRI angkat tangan dalam pemerintahan? Tapi, jika ada koalisi yang bisa meraih 50 persen, dan tidak memerlukan dukungan ABRI, menarik melihat bagaimana reaksi ABRI. Saya tidak tahu apakah (koalisi) itu mungkin terjadi atau tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus