Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MARI Elka Pangestu dikejar waktu. Keluar dari lift lantai 29 Menara Kadin di Rasuna Said, Jakarta Selatan, Menteri Perdagangan itu buru-buru menuju ruang pertemuan. Kehadirannya sudah ditunggu Menteri Perindustrian M.S. Hidayat. Apalagi persamuhan sudah berlangsung satu jam. Pada Jumat sore dua pekan lalu, dua menteri yang baru satu hari dilantik itu, bersama staf departemen masing-masing dan perwakilan dari Kamar Dagang dan Industri Indonesia, menggelar rapat koordinasi.
Baru saja Mari duduk, seorang perempuan masuk membawa kue tar cokelat. Hidayat bangkit dan mengucapkan selamat. Seisi ruangan bertepuk tangan. Lagu ulang tahun dilantunkan. Lilin dinyalakan. Senyum Mari mengembang. Ia tidak menyangka ada kejutan. ”Baru kali ini ulang tahun saya dirayakan di Kadin,” kata perempuan 53 tahun itu.
Rapat hari itu memang sekaligus untuk mempererat ”hubungan” antara Departemen Perindustrian dan Departemen Perdagangan. Sebelumnya, kebijakan keduanya kerap berseberangan. Salah satunya soal kesepakatan perdagangan bebas. Dan kejutan kue ulang tahun itu diharapkan bisa mencairkan hubungan di antara kedua departemen.
Hidayat dan Mari bahkan sudah bertemu sebelum dilantik. ”Saya mendapat amanat dari Presiden untuk meningkatkan koordinasi dengan Departemen Perdagangan,” kata Hidayat. Itu sebabnya dua departemen itu sepakat membentuk tim kecil untuk menyelaraskan koordinasi atas setiap kebijakan yang dikeluarkan. Siapa yang duduk di situ, Hidayat dan Mari belum buka suara. Yang jelas, selain perwakilan dua departemen tadi, beberapa anggota Kadin akan masuk tim tersebut.
Ditemui seusai pembukaan Trade Expo di Kemayoran, Rabu pekan lalu, Mari mengakui rencana peningkatan koordinasi antardepartemen. ”Kami akan sama-sama mengidentifikasi masalah, serta membina industri bersama,” ujarnya. Dua departemen itu juga akan sama-sama mengidentifikasi produk-produk yang berbasis daya saing.
Soal perdagangan bebas, Hidayat mengatakan, ia dan Mari akan mengeluarkan pernyataan bersama menjelaskan kebijakan pemerintah yang terkait dengan hal itu. Ia menjamin setiap pemangku kepentingan (stakeholder) akan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Lemahnya koordinasi tidak cuma menjadi kendala di dua departemen tadi. ”Koordinasi adalah persoalan cukup serius di negeri ini,” ujar Yudhi Purbaya Sadewa. Selama ini, kata Kepala Ekonom Danareksa Research Institute itu, ego tiap departemen bisa mengalahkan kepentingan nasional. Akibatnya, banyak proyek lintas departemen tidak jalan dan banyak program terbengkalai, sehingga penyerapan anggaran rendah.
Di sinilah peran Menteri Koordinator Perekonomian. ”Posisinya menjadi vital karena harus memastikan semua kebijakan antardepartemen bersinergi,” katanya. Hatta Rajasa, sebagai Menteri Koordinator Perekonomian, harus bisa mengambil keputusan bila kebijakan antardepartemen tidak sinkron.
DI tengah pentingnya sinergi antarpos ekonomi, dipilihnya Hatta Rajasa sebagai Menteri Koordinator Perekonomian bisa jadi di luar perkiraan. Setelah batal dipinang menjadi wakil presiden, alumnus Teknik Perminyakan Institut Teknologi Bandung ini sempat dibesarkan hatinya oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menjadi menteri senior. Namanya beredar di bursa Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat atau kembali menempati posisi Menteri-Sekretaris Negara.
Tapi, menurut sumber Tempo, kepastian Hatta menjadi Menteri Koordinator Perekonomian sudah disampaikan Yudhoyono setelah menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat. Dari Negeri Abang Sam, Yudhoyono menelepon Hatta memberitahukan soal itu.
Menurut Putra Jaya Husin, bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Amanat Nasional, Hatta dipilih karena Yudhoyono ingin menggenjot sektor riil di periode kedua pemerintahannya. Sebab, selama ini, banyak indikator makroekonomi, misalnya angka pertumbuhan yang positif, ternyata belum dinikmati banyak orang. Yudhoyono berharap sektor riil yang dekat dengan kehidupan masyarakat menjadi kunci pertumbuhan.
Hatta dianggap cocok mendorong sektor ini karena pernah menjadi pengusaha. ”Ia punya jaringan yang luas,” kata Putra Jaya. Pria berambut perak itu, bersama rekan-rekannya, mendirikan PT Arthindo Utama, perusahaan penyedia jasa pengeboran dan perawatan sumur minyak dan gas, pada 1982. Di perusahaan ini, ia menjadi presiden direktur. Posisi itu, kata Putra Jaya, dilepas setelah Hatta menjadi Ketua Fraksi Partai Reformasi Dewan Perwakilan Rakyat pada 1999. ”Seluruh aktivitas bisnis dan kepemilikan sahamnya sudah dilepas,” kata Amir Sambodo, bekas Komisaris Utama Krakatau Steel.
Menurut Amir, Presiden Yudhoyono berpesan kepada Hatta untuk mendorong ekonomi mikro di tengah tumbuhnya sektor makro. Yudhoyono punya target: pertumbuhan tujuh persen di akhir 2014. Bila sektor riil tidak dipacu, pertumbuhan paling banter cuma 4-5 persen per tahun. Itu sebabnya infrastruktur salah satu yang akan digenjot karena menjadi urat nadi sektor riil.
Masalahnya, kata Amir, tidak semua pembiayaan bisa ditanggung negara. Sekitar 70 persen proyek bahkan dibiayai oleh public private partnership. ”Karena itu, diperlukan Menteri Koordinator Perekonomian yang bisa memahami peran industri swasta,” kata Direktur Utama PT Tuban Petrochemical Industries itu.
Nah, untuk mendukung kegiatan sehari-hari, Amir diminta Hatta menjadi anggota staf khusus. Ia sudah berkantor sejak Hatta pertama kali menginjak Kementerian Koordinator Perekonomian. Posisi serupa pernah dilakoninya saat Hatta menjabat Menteri Riset dan Teknologi di era Megawati Soekarnoputri.
Hubungan keduanya memang erat. Di Ikatan Alumni ITB, Hatta duduk sebagai ketua umum, sementara Amir ketua bidang bisnis dan teknopreneur. Amir dan Hatta juga pernah mendirikan perusahaan patungan, PT Maruta Bumi Prima, pada 1996. Di perusahaan produsen elpiji itu, Amir menjadi presiden direktur hingga tahun 2000. Ia mengaku sudah melepas kepemilikan sahamnya sejak menjadi tenaga ahli Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Menurut Amir, publik tidak perlu risau akan kemampuan Hatta memahami sektor makroekonomi. Hatta, kata dia, kerap bersinggungan dengan urusan makro saat menjadi anggota Dewan dan Menteri-Sekretaris Negara. ”Semua persoalan kabinet sebelum dibawa ke Presiden pasti lewat dia,” katanya. Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional ini, kata Amir, pernah mencecap kuliah di Jurusan Studi Pembangunan Pascasarjana ITB, meski tidak selesai.
Toh, Hatta tetap punya catatan. Beberapa kecelakaan transportasi, misalnya Mandala Airlines, KM Digoel dan KM Senopati Nusantara, serta Adam Air, terjadi saat ia menjadi Menteri Perhubungan. Ia, kata seorang sumber di pemerintahan, juga tampak tidak memiliki terobosan dalam proyek kereta api cepat bandara.
Hatta enggan bercerita soal penunjukannya sebagai Menteri Koordinator Perekonomian. Apalagi ihwal keraguan banyak orang soal kompetensinya di pos itu. ”No comment,” jawabnya.
Bukan cuma Hatta yang menjadi sorotan. Dipilihnya Darwin Zahedy Saleh menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral juga menimbulkan tanda tanya. Apalagi Ketua Bidang Ekonomi Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat ini tidak memiliki latar belakang di sektor minyak dan gas. Persentuhannya dengan bidang ini cuma terjadi saat dia bekerja di perbankan pada 1980-an mengurusi pembiayaan kredit di bidang minyak dan gas.
Namun Ahmad Mubarok, Wakil Ketua Partai Demokrat, yakin Presiden tidak salah pilih dan sudah memperhitungkan semuanya. Menurut dia, penunjukan Darwin sebagai menteri juga bagian dari kaderisasi kader muda.
Jauh sebelum pengumuman, kalangan internal Demokrat sudah menduga doktor manajemen Universitas Indonesia itu bakal menjadi menteri. Sebab, Darwin salah satu orang yang kerap diundang diskusi terbatas soal ekonomi di Cikeas, kediaman Yudhoyono. Itu sebabnya Mubarok menilai ditempatkannya Darwin di situ untuk mengelola manajemen energi.
Toh, beberapa menteri mengisi pos ekonomi bukan karena prestasinya. Ibarat mengocok dadu, yang keluar belum tentu yang diharapkan. Bekas Kepala Bulog Mustafa Abubakar, misalnya, diangkat menjadi Menteri Badan Usaha Milik Negara karena ia representasi dari Nanggroe Aceh Darussalam, menggantikan Sofyan Djalil yang berasal dari provinsi yang sama. Padahal Mustafa tidak pernah bersentuhan dengan neraca perusahaan, rugi-laba, arus kas, atau restrukturisasi utang.
Sejumlah catatan juga dimiliki Djoko Kirmanto, Menteri Pekerjaan Umum. Di kabinet sebelumnya, ia dianggap masih memiliki pekerjaan rumah yang belum selesai. Salah satunya proyek jalan tol Trans-Jawa. Tapi Djoko punya pembelaan. ”Yang saya urus bukan jalan tol saja,” katanya. Soal pembebasan lahan bukan urusan Pekerjaan Umum semata, melainkan lintas departemen dan melibatkan pemerintah daerah. Dan dalam laporan masa baktinya, Djoko tidak menutup-tutupi bahwa realisasi proyek jalan tol baru tujuh persen.
Saat Boediono dipilih menjadi wakil presiden, banyak yang memperkirakan jabatan Menteri Koordinator Perekonomian akan didobel oleh Boediono atau bekas Kepala Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias Kuntoro Mangkusubroto. Sedangkan lingkaran Sri Mulyani Indrawati—seperti M. Chatib Basri, M. Ikhsan, atau Raden Pardede—menempati pos-pos ekonomi. Adapun Menteri Badan Usaha Milik Negara dijabat direktur utama perusahaan pelat merah yang sukses. ”Itulah yang digiring dan ada di benak pelaku pasar dan analis, bahwa pos ekonomi diisi kalangan profesional dan masih muda,” kata Fauzi Ichsan, Senior Vice President Standard Chartered Bank.
Ternyata meleset. Banyak pos ekonomi diisi politikus dan orang yang sudah berumur. Hasil itu, kata Fauzi Ichsan, tentu saja mengejutkan. ”Tapi setidaknya keraguan akan nama-nama baru bisa diredam dengan masih adanya Boediono, Sri Mulyani, atau Mari Pangestu,” ujar Fauzi.
Yandhrie Arvian, Nieke Indrietta, Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo