Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELASAN anak-anak bermain sepak bola di sebuah tegalan kosong di Kampung Balubur, Kelurahan Muarasari, Kecamatan Bogor Selatan, Kamis sore pekan lalu. Mereka bermain riang seperti tak ada beban. Padahal lapangan tempat mereka berolahraga, juga puluhan rumah, masjid, puskesmas, dan pesantren, akan tergusur oleh pembangunan jalan tol Bogor-Ciawi-Sukabumi.
Tapi anak-anak itu masih beruntung. Pembangunan jalan tol sepanjang 54 kilometer oleh PT Trans Jabar Tol ini belum juga dimulai. Sudah dua tahun realisasinya mandek terhambat pendanaan dan pembebasan tanah. ”Kami terus mensosialisasinya kepada masyarakat,” kata Lurah Muarasari Eddy Djubaedi di Bogor, Kamis siang pekan lalu.
Pembangunan jalan tol Cikampek-Palimanan bernasib sama. Sudah tiga tahun pembangunan jalan bebas hambatan bagian dari jalan tol Trans-Jawa sepanjang 1.200 kilometer ini terkatung-katung. Sebagian besar tersandung pembebasan lahan. Di Ciwaringin, Cirebon, misalnya, pemerintah dan warga empat desa, Desa Gala Gambe, Budur, Babakan, dan Ciwaringin, masih menegosiasikan harga pembebasan tanah. Saat ini pembebasan lahan tol yang sudah dibayarkan mencapai 75 persen. ”Sisanya sudah setuju untuk menjual tanahnya, tapi belum setuju harganya,” kata Camat Ciwaringin Surkiyah. Pembangun semakin rumit karena jalan tol melewati tanah Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin.
Pembebasan lahan ini salah satu topik utama yang dibahas pemerintah dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) dalam National Summit di Pacific Place, Jakarta, pekan lalu. Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengaku tak kaget masalah pembebasan lahan ini begitu disorot. Menurut dia, berlarut-larutnya pembebasan tanah milik masyarakat, juga milik instansi lain, memang menjadi kendala pembangunan infrastruktur. Karena itu, Departemen Pekerjaan Umum akan memprioritaskan perbaikan aturan pembebasan lahan bagi pembangunan infrastruktur. Salah satunya mendorong revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak atas Tanah dan Benda di Atasnya.
Djoko belum bisa memastikan apakah revisi aturan pembebasan lahan itu akan masuk program 100 hari kabinet atau rencana lima tahun. ”Nantilah setelah National Summit,” ujarnya. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa juga masih menyimpan rapat rencana kabinet ekonomi. Mantan Menteri-Sekretaris Negara ini kepada wartawan pekan lalu mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menjelaskan program 100 hari dan program lima tahun ke depan setelah pemerintah menajamkan masukan-masukan dari hasil pertemuan National Summit 2009.
Dalam National Summit, kata Hatta, pemerintah membahas permasalahan dan kondisi enam sektor ekonomi dengan para pemangku kepentingan, seperti kepala daerah, ekonom, praktisi industri, pengusaha, dan pebisnis. Keenam bidang ekonomi itu adalah infrastruktur, energi, ketahanan pangan, revitalisasi industri, pengembangan usaha kecil dan menengah, serta transportasi. ”Pemerintah akan langsung merespons masukan dengan cepat dan mencari jalan keluarnya,” ujarnya.
Keenam bidang ekonomi tadi lumayan mendapat respons dari para pemangku kepentingan. Di bidang energi, menurut Hatta, pengusaha dan investor meminta pemerintah menjamin pasokan energi, terutama listrik. Usul konkretnya, pemerintah harus menerbitkan peraturan pemerintah atau peraturan menteri energi atas pasokan batu bara dan menerbitkan peraturan presiden tentang percepatan pembangunan proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt tahap II.
Masalah penyediaan listrik oleh proyek listrik swasta (independent power producers/IPP) juga menjadi persoalan serius. Sebab, dari 50 lebih proyek IPP, hanya sekitar 18 persen yang sudah mendapat izin. ”Kami akan merespons masalah ini dengan serius,” kata Hatta.
Teriakan soal listrik juga datang dari Kalimantan Timur. Gubernur Awang Faroek Ishak mendesak pemerintah agar dalam program kerjanya merealisasi pembangunan pembangkit listrik tenaga uap dan batu bara di Kalimantan. ”Masak, sebagai penghasil batu bara, daerah kami gelap-gulita?” ujarnya. Awang juga mendesak pemerintah mensinkronkan peraturan di sektor kehutanan yang bertabrakan dengan pembangunan infrastruktur.
Di bidang industri, banyak desakan agar PT PLN mengurangi potensi pemadaman (blackout) hingga nol persen. Kemudian perbaikan kinerja PT Perusahaan Gas Negara, agar suplai ke industri stabil, harmonisasi bea masuk sebagai instrumen pengembangan industri untuk menarik investasi, dan percepatan proses memulai usaha dari 60 hari menjadi 40 hari. Pengusaha juga mendesak penghilangan pungutan, operasionalisasi pelabuhan nonstop, serta sistem pelayanan perizinan investasi secara elektronik dan terpadu satu pintu.
Adapun di bidang infrastruktur, isu utama adalah kendala pembebasan lahan, pendanaan, serta kerja sama pemerintah dan swasta (public private partnership). Untuk masalah pembebasan lahan, kata Hatta, ”Ada rekomendasi agar pemerintah segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).”
Menurut Direktur Utama Jasa Marga Frans Sunito, pembebasan lahan memang menjadi momok tersendiri, khususnya bagi investor jalan tol. Dari total rencana pembangunan jalan tol di seluruh Indonesia sepanjang 1.700 kilometer, baru 101 kilometer yang bisa dibangun selama 2004-2009. Kendalanya hanya ada tiga. ”Pertama pembebasan tanah, kedua pembebasan tanah, dan ketiga pembebasan tanah,” ujarnya di rembuk nasional itu pekan lalu.
Menurut anggota Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Lukman Purnomosidi, agar proyek-proyek infrastruktur bisa berjalan dengan cepat, dalam 100 hari kerja, pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono bisa mengeluarkan perpu bagi Undang-Undang Nomor 20/61 tadi. ”Kalau merevisi undang-undang, lama,” ujarnya di tempat yang sama.
Bila tak ada terobosan dalam aturan pembebasan tanah, pembangunan proyek infrastruktur di Indonesia sudah pasti akan mandek atau berlarut-larut. Lukman mencontohkan, dalam setahun, hanya terealisasi 23 kilometer jalan tol baru. Itu berarti, untuk membangun sisa 1.000-an kilometer jalan tol baru, dibutuhkan waktu 50 tahun. Rumitnya pembebasan lahan juga bisa mengganjal pembangun infrastruktur lain, seperti instalasi gas, pelabuhan, atau jalan kereta.
Sayangnya, dari sejumlah rekomendasi yang masuk, Hatta tetap belum bisa menyebutkan mana yang masuk program 100 hari kabinet dan mana yang lima tahun ke depan. ”Ada yang bisa masuk cepat, ada juga yang jangka panjang.”
Menurut sumber Tempo di pemerintahan, program 100 hari kabinet, jangka pendek, dan jangka panjang memang masih remang-remang. Tapi enam bidang ekonomi dalam National Summit hampir bisa dipastikan akan menjadi prioritas dan sasaran kabinet ekonomi. ”Prioritas lain adalah menyelesaikan masalah minimnya realisasi anggaran 2009 dan rendahnya penyerapan stimulus fiskal,” bisiknya
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2009, belanja modal pemerintah dipatok Rp 685 triliun. Sampai akhir semester pertama, belanja modal—pengeluaran investasi di departemen dan kementerian—baru terealisasi 33,4 persen atau Rp 228,9 triliun. Penyerapan stimulus fiskal juga masih rendah. Dari total Rp 73,3 triliun, penyerapannya masih kurang dari 10 persen.
Sumber Tempo lainnya mengungkapkan, Presiden Yudhoyono sebenarnya tak perlu repot-repot lagi menggelar National Summit. Sebab, Yudhoyono sudah pernah meminta Kuntoro Mangkusubroto, mantan Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, menyusun program 100 hari kabinet. Visi dan misi Yudhoyono saat pemilihan umum lalu menjadi acuan program kerja susunan tim Kuntoro, di Jalan Jambu 51, Menteng, Jakarta.
Programnya juga mengacu pada Rencana Jangka Panjang Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Bahkan program kerja tim Kuntoro sudah dibahas dengan departemen-departemen teknis selama lima bulan. ”Sebenarnya sudah bisa dipakai oleh para menteri,” katanya.
Rupanya, arah angin berubah. Kuntoro hanya menjadi Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan. Hatta menjadi Menteri Koordinator Perekonomian. Presiden—juga Hatta—memilih mencari masukan baru lewat National Summit untuk menyusun program kerja kabinet. ”Ownership menjadi pertimbangan,” kata sumber ini. ”Lewat forum terbuka, semua orang dinilai bisa ikut memiliki program kabinet,” ujarnya. Hatta enggan menanggapi dikotomi dengan tim Kuntoro. ”Pak Kuntoro kan bagian dari kabinet juga. Jadi pastilah diakomodasi,” katanya enteng.
Padjar Iswara, Nieke Indrietta, Ariyani, Retno Sulistyowati, Fery Firmansyah, Diki Sudrajat (Bogor), Ivansyah (Cirebon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo