Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INTERUPSI anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Nasional Demokrat, Akbar Faisal, menghentikan ketukan palu Taufik Kurniawan. Sebagai Wakil Ketua DPR, Taufik hendak menyudahi sidang paripurna yang digelar pada Selasa dua pekan lalu. Hari itu agenda pertama sidang ialah penyampaian ikhtisar hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan untuk semester pertama 2014.
Namun paparan Ketua BPK Harry Azhar Azis terlalu menarik untuk dilewatkan begitu saja. Harry mengutarakan delapan temuan signifikan, di antaranya menyebut proses penyertaan modal sementara (PMS) untuk Bank Mutiara sebesar Rp 1,25 triliun pada Desember 2013, yang dikatakan tak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan.
"Saya meminta dewan pengawas Century dibentuk lagi," kata Akbar menggebu-gebu. Parlemen, menurut dia, harus mengambil sikap atas semua pihak yang bersalah dalam penyelamatan Bank Century, yang kemudian berganti nama sebagai Bank Mutiara.
Akbar lalu mengungkit penyertaan modal sebelumnya senilai Rp 6,7 triliun, yang dikucurkan pada periode 2008-2009. Namun anggota BPK, Achsanul Qosasi, meluruskan bahwa hasil audit kali ini hanya terkait dengan PMS baru. "Kami serahkan ke parlemen. Silakan kalau mau diteruskan lagi," ujarnya tentang audit atas bank yang terjual kepada konsorsium J Trust asal Jepang seharga Rp 4,41 triliun pada November lalu itu.
Dalam laporan hasil audit setebal 100 halaman tersebut, tim auditor BPK memaparkan detail temuannya. Dengan merunut kronologi penambahan PMS Rp 1,25 triliun, tim menyimpulkan salah satu penyebab bank butuh suntikan modal adalah adanya koreksi rasio kecukupan modal. Manajemen mengoreksi rasio itu setelah Bank Indonesia menemukan ada rekayasa peringkat kualitas kredit pada sejumlah debitor.
Mengacu pada hasil pemeriksaan BI untuk laporan keuangan Bank Mutiara posisi 30 Juni 2013, auditor menemukan bukti awal rekayasa kualitas kredit pada 14 debitor. Dalam rapat klarifikasi, manajemen Mutiara mengakui rekayasa itu, sehingga bank sentral meminta mereka bersama komisaris melakukan perbaikan.
Dalam suratnya kepada BI, Bank Mutiara memaparkan perhitungan baru rasio kecukupan modalnya. Ada lima permasalahan yang bakal menggerus modal. Pertama, kekurangan penyisihan penghapusan aktiva (PPA) Rp 543,5 miliar, kekurangan PPA agunan yang diambil alih sebesar Rp 86,3 miliar, kekurangan pajak 2005-2008, serta denda 200 persen sebesar Rp 222 miliar. Terakhir adalah masalah hibah Kementerian Keuangan Rp 173 miliar serta mandatory convertible bond senilai US$ 15 juta.
Jika semua masalah itu dibebankan pada Juli 2013, termasuk koreksi laba, Mutiara menjadi rugi Rp 1,016 triliun. Modal bank menjadi negatif Rp 54,77 miliar dan rasio kecukupan modal terjun bebas dari klaim awal 11 persen menjadi minus 0,55 persen.
Belakangan, dari laporan lengkap audit BI, ketahuan bukan cuma ada rekayasa kualitas kredit atas 14 debitor, melainkan 23 debitor, dengan total kredit Rp 946,73 miliar. Hal ini mengakibatkan kekurangan penyisihan penghapusan aktiva membengkak jadi Rp 600,16 miliar dan rasio kecukupan modal bisa merosot semakin dalam.
Beranjak dari temuan ini, pada 26 November tahun lalu BI mengizinkan LPS sebagai pemilik untuk menambah modal. Sebulan kemudian BI mengeluarkan angka pasti kebutuhan tambahan modal per posisi 30 November 2013 sebesar Rp 1.468 miliar. LPS memutuskan menyetor bertahap. Pada tahap awal, LPS menyetor Rp 1.249 miliar untuk menaikkan rasio kecukupan modal sesuai dengan profil risiko, yakni 14 persen. Sisanya wajib dipenuhi pemilik bila muncul potensi risiko permasalahan hukum yang mempengaruhi kecukupan modal.
BPK melansir, dari 23 debitor bermasalah, 10 debitor merupakan warisan Bank Century dengan total kredit Rp 787,35 miliar. Sedangkan 13 debitor dengan total kredit Rp 159,39 miliar merupakan debitor bank di era penanganan LPS.
Terhadap 10 debitor warisan, BPK mempersoalkan keputusan manajemen merestrukturisasi kredit mereka. Padahal bisnis debitor sudah tak punya prospek. Selain itu, agunan para debitor tak cukup sebagai syarat restrukturisasi. Di antara kesepuluh debitor, terdapat tiga debitor besar dengan nilai kredit di atas Rp 100 miliar, yakni PT Enerindo Resources, PT Polymer Spectrum Sentosa, dan PT Selalang Prima Internasional.
Sementara itu, terkait dengan 13 debitor sisanya, BPK menemukan adanya penyaluran kredit yang tak mengikuti prosedur. BPK lagi-lagi menemukan restrukturisasi terhadap debitor yang bisnisnya tak punya prospek atau tak diyakini kemampuan membayarnya.
Dalam surat tanggapan kepada BPK, manajemen Bank Mutiara membantah sejumlah temuan, termasuk dugaan rekayasa kualitas kredit. Langkah restrukturisasi atas 10 debitor lama ditempuh guna memaksimalkan pengembalian kredit. "Restrukturisasi juga sudah mempertimbangkan prospek, kemampuan bayar, dan agunan," kata direksi Mutiara seperti tertulis dalam dokumen audit.
Namun BPK tidak cuma mempermasalahkan rekayasa kualitas kredit. Audit juga menyoroti langkah Mutiara menutup-nutupi posisi rasio kecukupan modal yang sebenarnya pada laporan keuangan publikasi periode Juni-November 2013. Soal ini, Bank Mutiara menjelaskan, keputusan itu diambil di antaranya untuk menghindari penarikan dana simpanan dan meminimalisasi kebutuhan PMS jika diperlukan.
Temuan rekayasa di Bank Mutiara berujung pada kesimpulan lain dari BPK, yakni bahwa penanganan bank oleh LPS belum sepenuhnya berjalan efektif. BPK juga mempertanyakan keputusan menambah PMS tanpa mempertimbangkan opsi lain, misalnya menutup bank.
Sebagai mantan pemegang saham, LPS menyatakan tak berkeberatan dengan temuan-temuan itu. Hanya, lembaga ini meyakinkan, proses penyertaan modal sudah sesuai dengan ketentuan. Penyertaan modal sudah dibawa ke Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Forum menyerahkan kepada LPS untuk mengambil langkah menurut ketentuan. "Kalau LPS tidak menambah, lalu bank tutup, ruginya Rp 6,7 triliun plus membayar simpanan yang layak dibayar, Rp 2 miliar ke bawah," ujar Sekretaris Perusahaan LPS Samsu Adi Nugroho. Lagi pula, menurut Undang-Undang LPS, jalan keluar dari penyertaan modal hanya penjualan saham bank. Penutupan bukan opsi.
Kepala Bagian Hukum Mutiara Umar Ulil mengatakan penambahan modal dilakukan karena ada keharusan CAR bank 14 persen, naik dari aturan sebelumnya yang 8 persen. "Itu alasan utama LPS mesti menyuntikkan modal," ujarnya. Soal restrukturisasi kredit debitor lama, menurut dia, posisi Mutiara memang lemah. "Sebab, ada debitor yang tidak memberikan jaminan."
BI dan Otoritas Jasa Keuangan saling lempar ketika dimintai penjelasan soal ini. "Silakan hubungi LPS dan OJK," kata Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara. Sedangkan Ketua OJK Muliaman D. Hadad mengatakan hal ini terjadi ketika pengawasan masih menjadi kewenangan BI.
Meski begitu, petinggi BI lainnya membenarkan kabar tentang biaya operasional bank yang boros lantaran tingginya gaji pegawai. "Gaji pegawai memang agak tinggi, tapi ini seperti simalakama. Untuk menggaet good talent, diperlukan gaji menarik," ujarnya. Sekretaris Perusahaan Mutiara Hartono Karyatin enggan menjawab soal itu.
Seorang bankir yang sempat mengikuti proses uji tuntas penjualan Bank Mutiara mengatakan bank itu menghabiskan Rp 400 miliar setahun untuk gaji pegawai. Beban ini juga turut menggerus modal bank. "Untuk bank semacam ini, gaji setinggi itu tak masuk akal."
Martha Thertina
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo