Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NIAT Go-Jek ke luar kandang sudah terendus sejak akhir 2017. Empat negara Asia Tenggara teridentifikasi sebagai target pasar perusahaan rintisan (startup) platform angkutan panggilan atau ride hailing tersebut. Tapi, sepanjang pekan lalu, kabar rencana ekspansi itu kian hangat.
Penghangat itu salah satunya datang dari The Strait Times. Harian yang berbasis di Singapura ini melaporkan bahwa Go-Jek akan meluncurkan layanannya di Singapura hanya dalam beberapa pekan ke depan. Sementara itu, dari Filipina, seperti dilaporkan oleh Inquirer, Wakil Pemimpin Blok Minoritas Parlemen Filipina Luis Campos Jr. meminta Go-Jek segera masuk ke negaranya.
Rencana Go-Jek melebarkan sayap bisnisnya ke Asia Tenggara menghangat setelah Grab, pesaing terbesar mereka yang berbasis di Singapura dan telah beroperasi di delapan negara Asia Tenggara, mencaplok operasional Uber di Asia Tenggara pada Senin dua pekan lalu. Uber tidak sepenuhnya hilang setelah akuisisi tersebut, karena mereka menyisakan kaki lewat 27,5 persen kepemilikan saham di Grab.
Chief Executive Officer (CEO) Uber Dara Khosrowshahi juga bergabung di dewan direksi Grab. "Penggabungan bisnis ini melahirkan pemimpin platform dan efisiensi biaya di kawasan Asia Tenggara," kata Co-Founder dan Group CEO Grab Anthony Tan, dikutip dari situs resmi Grab.
Malaysia, Singapura, dan Filipina dilaporkan khawatir terhadap akuisisi ini. Tiga jiran itu keder Grab akan memonopoli pasar angkutan berbasis pemesanan online mereka. Filipina, lewat Campos, bahkan mengundang Go-Jek untuk melawan merger Uber dan Grab yang dianggap menghilangkan persaingan di negara itu. "Untuk melawan penggabungan dan membangun kembali persaingan, kita mungkin harus mendorong pemain besar lainnya seperti Go-Jek untuk segera datang," kata Campos seperti dikutip Inquirer, Sabtu dua pekan lalu.
Campos mesti bersabar sedikit. Seseorang yang tahu rencana ekspansi Go-Jek memastikan Filipina, juga Singapura, bukan target jangka pendek perusahaan. Unicorn--perusahaan rintisan yang bernilai di atas US$ 1 miliar--pertama Indonesia itu memilih Vietnam dan Thailand sebagai pasar perdana mereka di luar kandang. "Sebelum semester pertama berakhir, kami sudah masuk ke sana," ujar sumber tersebut.
Rencana Go-Jek masuk Vietnam sebetulnya sudah beredar sejak awal Maret ini. Dikutip dari Deal Street Asia, Go-Jek disebut sedang merekrut para profesional asal Vietnam untuk menyiapkan masuknya mereka ke negeri sosialis itu. Dengan potensi pasar sebanyak 93 juta penduduk dan populasi 45 juta sepeda motor, Vietnam menjadi pasar menggiurkan buat bisnis ride hailing berbasis sepeda motor--kekuatan utama Go-Jek.
Seseorang yang tahu rencana ekspansi Go-Jek tadi mengakui alasan Nadiem Makarim, bos Go-Jek, dan timnya memilih Vietnam dan Thailand tak lepas dari tingginya populasi sepeda motor di sana. Kondisi itu mirip dengan karakter transportasi di Indonesia, yang masih mengandalkan sepeda motor sebagai alat transportasi utama. "Bisnis pengantaran makanan dengan Go-Food juga amat potensial di Vietnam dan Thailand," katanya. Adapun untuk pasar yang lebih condong dengan ride hailing berbasis mobil, seperti Singapura, akan dimasuki belakangan.
Nadiem tidak mengiyakan soal Vietnam dan Thailand yang akan menjadi pasar perdana Go-Jek di luar Indonesia. Namun ia senang terhadap negara-negara Asia Tenggara yang menginginkan Go-Jek segera masuk menyediakan opsi layanan transportasi berbasis online. "Ini menandakan Go-Jek telah diakui sebagai perusahaan paling inovatif di sektor teknologi di Asia Tenggara," ujar Nadiem lewat jawaban tertulis, Jumat pekan lalu. "Dalam waktu dekat akan kami umumkan negara mana yang bakal kami datangi."
PARA petinggi Go-Jek sebenarnya sudah mengantisipasi duel habis-habisan dengan Grab di Asia Tenggara. Nadiem Makarim dan kawan-kawannya telah mencoret Uber sebagai pesaing. Keputusan Go-Jek menyetip Uber dari daftar pesaing makin bulat tatkala raksasa investor startup asal Jepang, SoftBank Group, membeli 15 persen saham Uber, pelopor ride hailing dunia. SoftBank kini menjadi perusahaan dengan pemegang saham terbesar di Uber. "Sudah diantisipasi pada akhirnya Uber akan dilebur dengan Grab," kata seseorang yang tahu rencana bisnis Go-Jek.
Kabar SoftBank membeli saham Uber sudah gencar sejak awal 2017. Tapi SoftBank dan Uber baru mengumumkannya pada awal November tahun lalu. Saat itu, seperti dikutip Tech Crunch, Uber mengumumkan telah meneken kesepakatan investasi potensial dengan konsorsium pimpinan SoftBank dan Dragoneer. "Ini akan mendorong investasi kami dan melanjutkan ekspansi di dalam dan luar negeri sekaligus memperkuat tata kelola perusahaan," begitu bunyi pernyataan resmi Uber.
Bukannya ekspansi, masuknya SoftBank justru merasionaliasi bisnis ride hailing Uber, startup pelopor asal San Francisco, Amerika Serikat. Seorang sumber yang dikutip Reuters pada awal November tahun lalu menyatakan investasi multi-miliar dolar SoftBank di Uber membuka kemungkinan penggabungan aset-aset yang dimiliki kendaraan investasi asal Jepang itu di Asia. "SoftBank akan memainkan peran konsolidasi," ujar sumber yang dikutip Reuters.
Sebelum mengempit saham di Uber, pada Juli tahun lalu, SoftBank lebih dulu berinvestasi di Grab, pesaing utama Uber di kawasan Asia Tenggara. Bersama Didi Chuxing, SoftBank menginjeksi Grab sebesar US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 33,75 triliun. Didi-lah yang telah menyingkirkan Uber dari Cina.
Setelah menguasai Grab dan Uber, SoftBank disebut berencana mengorbankan salah satunya untuk bertahan di Asia Tenggara. "Direktur-direktur dari SoftBank di Uber dan Grab secara fundamental akan mengubah pembicaraan," kata sumber tersebut kepada Reuters.
Sejumlah analis menguatkan skenario tersebut. Dikutip dari Tech In Asia, tidak lama setelah pengumuman kesepakatan Uber dan SoftBank, manajer senior riset dari lembaga intelijen pasar International Data Corporation, Lawrence Cheok, merasa konsolidasi aset-aset ride hailing milik SoftBank akan menjadi kemenangan buat investor. "Skenario win-win-nya adalah menghindari persaingan harga dan berkolaborasi menciptakan ekosistem global," ujarnya.
Cheok menggunakan kesepakatan merger Uber dengan Didi-Kuaidi di Cina pada 2016 sebagai contoh skenario "win-win" yang berhasil. Kesepakatan Uber dan Didi itu menyelesaikan perang harga tidak sehat di antara keduanya, tapi tetap menyisakan satu kaki Uber di pasar Cina melalui sahamnya di Didi. "Alih-alih merger langsung, pendekatan serupa mungkin diambil oleh SoftBank di portofolionya."
Rencana SoftBank terhadap Uber dan Grab makin jelas sejak awal tahun ini. Kepada The Financial Times, seperti dikutip Business Insider, direktur Uber dari SoftBank, Rajeev Misra, telah meminta Uber mengubah strategi globalnya. Uber diminta berfokus memperkuat pasar inti mereka, yaitu Amerika Utara, Eropa, dan Amerika Selatan, tempat Uber menjadi juara dan tidak belepotan meladeni perang harga para pesaing. Implikasinya, Uber harus angkat roda dari beberapa pasar utama, yaitu India dan Asia Tenggara, dua pasar yang masing-masing punya 1,2 miliar dan 600 juta penduduk.
Tapi, sampai Februari lalu, CEO Uber Dara Khosrowshahi masih mengabaikan strategi angkat bendera putih dari pasar Asia Tenggara. Dikutip dari Business Insider dan Reuters, Dara Khosrowshahi--yang menggantikan co-founder Uber, Travis Kalanick, yang tersandung skandal pelecehan seksual--mengakui bahwa mereka rugi besar di Asia Tenggara dan India. Kerugian itu tak bisa dihindari karena Uber terlampau jorjoran di pemasaran dan subsidi tarif. Dia tetap menolak menyerah. "Sekarang rencana untuk Asia Tenggara adalah tetap maju, condong ke depan, dan berinvestasi," katanya. "Cuma, saya tidak optimistis pasar ini akan menguntungkan dalam waktu dekat."
Seorang investor Uber yang dikutip Reuters mengatakan, menutup operasi Uber di Asia Tenggara akan efektif mengurangi kerugian. Penutupan juga memungkinkan perusahaan untuk "mencetak uang" lagi. Dengan begitu, rencana Uber menawarkan saham perdana kepada publik pada 2019 kian lempeng.
Dalam sejumlah laporan, kerugian Uber dari operasinya di seluruh dunia memang mengkhawatirkan. Kerugian bersih yang disesuaikan pada kuartal ketiga 2017 mencapai US$ 743 juta (sekitar Rp 10 triliun), naik 14 persen dari kuartal sebelumnya. Angka-angka itu menjadi perhatian bagi pemegang saham mereka. Uber tetap merugi kendati pendapatan bersih mereka naik jadi US$ 2 miliar pada kuartal ketiga 2017 dari US$ 1,66 miliar di kuartal kedua.
Di Indonesia sendiri, Uber masih kedodoran meladeni Go-Jek dan Grab. Mengacu pada angka-angka IlmuOne Data, sampai Agustus 2017, pengguna unik Uber hanya 2,3 juta--kalah jauh dibanding Go-Jek yang mencapai 8,8 juta dan Grab yang 8,6 juta. Dari jumlah yang sedikit itu, Uber juga harus rela berbagi 60 persen penggunanya menjadi pengguna Go-Jek dan Grab. Sementara itu, hanya 15,8 persen pengguna Go-Jek dan 16,9 persen pengguna Grab yang juga menggunakan Uber.
Lewat situs resmi Grab, Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menyatakan, selama bertahun-tahun, Grab dan Uber saling mendorong untuk melampaui pencapaian masing-masing. Dengan akuisisi Uber, Grab bisa mengembangkan bisnis pengantaran makanannya lebih pesat. Uber sebelumnya mengembangkan layanan serupa dengan nama UberEats. "Hal ini akan mengubah peta industri," ucap Ridzki.
Grab yakin akuisisi Uber akan memperkuat posisi mereka di Asia Tenggara. Sementara itu, Go-Jek tak hanya siap bertarung dengan Grab, tapi juga malah mulai menantang Grab di kawasan. "Berkurangnya jumlah pemain semakin meluaskan jalan kami untuk memperkuat dan memperdalam kepemimpinan pasar," kata Nadiem Makarim. Dua komitmen dari dua unicorn yang semestinya menjanjikan keuntungan buat pelanggan.
Khairul Anam, Putri Adityowati
Grab Versus Go-Jek
AKUISISI operasional Uber Asia Tenggara oleh Grab membuat kompetisi bisnis ini di Tanah Air kini hanya menyisakan dua pemain besar transportasi online. Tinggal Grab dan Go-Jek yang berkompetisi memperebutkan "kue" konsumen yang terbilang masih besar. Uber, yang sempat menjajal bisnis ini di Indonesia hingga akhir tahun lalu, kedodoran bersaing dengan dua pemain besar tersebut. Ada fakta menarik dalam bisnis transportasi semacam ini: separuh pengguna Grab adalah pengguna Go-Jek. Uber harus hengkang karena hanya bisa menjaring tak sampai seperempat pengguna dua aplikasi tersebut.
Pengguna Unik (Agustus 2017)
- Go-Jek: 8,871 juta
- Grab: 8,600 juta
- Uber: 2,344 juta
Karakter Pengguna (Agustus 2017)
- 4,1 juta pengguna Go-Jek juga menggunakan Grab, begitu juga sebaliknya.
- 15,8 persen pengguna Go-Jek dan 16,9 persen pengguna Grab menggunakan Uber.
- 60% pengguna Uber menggunakan Go-Jek dan Grab.
Go-Jek
-Pendanaan: US$ 1,8 miliar.
-Investor Utama: Tencent Holdings dan KKR & Co (Kohlberg Kravis Roberts & Co).
-Wilayah Operasi: 50 kota di Indonesia, menyusul empat negara di Asia Tenggara pada 2018.
-Mitra Kerja: 900 ribu pengemudi, 30 ribu penyedia jasa, 125 ribu merchant Go-Food.
-Pengunduh Aplikasi: 70 juta
Grab
-Pendanaan: US$ 4,1 miliar
-Investor Utama: Didi Chuxing dan Softbank
-Wilayah Operasi: 195 kota di delapan negara Asia Tenggara
-Mitra: 5 juta pengemudi dan agen, termasuk layanan GrabFood
-Pengunduh aplikasi: 90 juta
Kompetisi Global (pangsa pasar %)
India
Uber Vs Ola (40/ 60)
Cina
Didi Chuxing Vs Meituan Dianping* (75/ --)
Amerika Serikat
Uber Vs Lyft (92/ 8)
Timur Tengah dan Afrika Utara
Careem Vs Uber
Valuasi Perusahaan (Yang Diumumkan, US$ miliar)
- Uber: 68
- Didi Chuxing: 34
- Lyft: 7,5
- Ola: 3,5
- Grab: 3
- Careem: 1
*Meituan baru meluncurkan ride hailing-nya pada Desember tahun lalu.
Sumber: Berbagai sumber, PDAT | Naskah: Khairul Anam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo