TRADING Hose "binatang" lain lagi. Ia sering muncul dalam mimpi dan beberapa kali dalam seminar. Dan untuk kesekian kalinya, baru-baru ini muncul lagi dalam diskusi di CSIS. Di situ Menteri Perindustrian Hartarto sudah berani menyatakan bahwa beberapa persero di lingkungan perindustrian mulai diarahkan mengubah mimpi tentang trading hose menjadi kenyataan. Belajar dari sejarah trading hose Korea dan sogososha Jepang, begitu ceritanya Departemen Perindustrian mengarahkan beberapa perseronya untuk memperluas jaringan usahanya di dalam dan luar negeri. Tidak semudah mendirikan pabrik. "Mungkin butuh waktu lima puluh tahun," kata Hartarto. Kalau Daewoo Korea dulunya mulai hanya dengan mengekspor sumpit, Hartarto meminta perusahaan baja Krakatau Steel, perusahaan Pupuk Iskandar Muda, Pupuk Kujang, dan Petrokimia Kimia Gresik juga mulai menyusun jaringan perdagangan untuk komoditi sederhana: seperti emping, gula aren, minyak atsiri, hasil kerajinan karet, hasil rotan, tempurung, atau kerajinan batu akik. PT Krakatau Steel, menurut presiden direkturnya, Tungky Ariwibowo, memang berniat menjadi semacam sogososha. Keinginan itu muncul dengan niat meningkatkan kehidupan masyarakat di sekitar kawasan industri baja di Cilegon (awa Barat). Sebelumnya perusahaan itu mendirikan sekolah tehnik menengah dan perguruan tinggi -- sekalian menunjang kebutuhan tenaga kerja pabrik-pabrik di situ. Tentu tidak semua orang Cilegon bisa dan mau bekerja di pabrik. Karena masyarakat Banten di sekitar situ dari dulu sudah terkenal sebagai penghasil emping dan kerajinan rotan, dengan niat meningkatkan pendapatan masyarakat, Krakatau Steel kemudian mencoba mencarikan pasar bagi mereka di luar negeri. Tungky Ariwibowo mengaku repot juga menjual barang bukan baja. Untuk promosi saja perlu waktu enam bulan. Tidak dijelaskan berapa biaya yang dikeluarkan untuk itu. Belum lagi waktu dan tenaga untuk mendidik para perajin agar meningkatkan mutu produksi dan pengepakan. Hasilnya boleh juga. Sejak lima bulan lalu sudah mengekspor emping ke Belanda. "Jumlahnya sekitar 8 ton sebulan dengan nilai 21.000 dolar," tutur Tungky. Juga sudah mengekspor kerajinan kursi dan keranjang rotan ke Belgia senilai sekitar 8.000 dolar per bulan. Memang tak seberapa dibandingkan dengan ekspor baja yang selama semester pertama tahun ini bernilai sekitar 9,5 juta dolar per bulan. "Kami membiasakan diri mulai dulu dari bisnis yang kecil, baru menanjak besar," kata Tungky. Tampaknya sekarang sudah mulai menanjak. Yang digarap pun tidak hanya komoditi di sekitar kawasan industrinya. Emping dan kerupuk udang dari Palembang sudah masuk dalam rencana. Jaringan di dalam negeri mulai dianyam bersama KUD-KUD. Sedangkan PT Purna Sentana Baja, anak perusahaan yang menjalankan bisnis di luar baja, mulai merintis kerja sama dengan sebuah perusahaan dagang di Belanda untuk menembus pasar Eropa. Pasar di Jepang juga sudah coba digarap. Pabrik biskuit Nissin di Jepang sudah akan mengimpor gula aren buatan Sukabumi sebanyak 15.000 ton per bulan dengan harga 12.000 dolar, diharapkan paling lambat bulan depan. PT Pabrik Pupuk Iskandar Muda, salah satu dari 10 BUMN yang mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto di akhir tahun silam, malah sudah lima tahun berusaha meningkatkan penerimaan petani di sekitar kawasan pabriknya di Aceh. Mulai dengan membantu mengekspor inyak nilam, minyak pala, dan minyak cengkih. Petani sekarang bisa menjual minyak atsiri dengan harga Rp 24.000/kg. "Dulu, paling-paling ditawar Rp 15.000 oleh pengijon," tutur direktur utama pabrik pupuk itu, Djarot Jayokusumo. Kurang apa lagi: pabrik pupuk itu sampai-sampai membangun pabrik pengolahan minyak atsiri sendiri. Pabrik pupuk itu juga melihat tempurung kelapa sebagai komoditi yang dapat menambah penghasilan tambahan bagi petani. Setelah diketahui bahwa arang tempurung kelapa bisa menyerap logam berat dan menghasilkan gas asam, digalanglah kerja sama dengan sebuah perusahaan Inggris, untuk mengembangkan usaha memproduksi dan menjual penangkal polusi. Hasilnya, kami akan mengekspor 50 ton arang tempurung ke Inggris, mulai September ini" kata Djarot Jayokusumo, dengan bangga. Departemen Perindustrian, menurut menterinya, tidak bermaksud menyaingi persero-persero niaga di Departemen Perdagangan. "Yang kami tangani adalah komoditi yang belum pernah dibantu oleh pihak-pihak lain. Persero kami juga tidak sekadar mengekspor. Kami juga membuatkan peralatan untuk petani, membawa bank masuk ke desa, dan melibat KUD-KUD untuk turut membina dan mengumpulkan komoditi yang akan diekspor," kata Hartarto kepada TEMPO. Komoditi yang punya potensi digarap ternyata tidak sedikit. Misalnya gula aren. Menurut riset nasional, kurang lebih 288.000 keluarga yang hidupnya bergantung pada mengusahakan dagangan itu, tapi rata-rata penerimaan mereka sangat rendah. Persero perindustrian akan membina para petani. Mulai dari cara menyadap nira dengan plastik atau botol sampai membekukan gula dengan mesin kristalisasi rancangan IPB. Gula aren mereka jadi bermutu. "Tadinya gula aren petani-petani di Cianjur hanya dihargai Rp 200 per kg, sekarang naik jadi Rp 900. Setelah dipak rapi, bisa diekspor ke Australia, dan dibeli oleh pengusaha es krim dengan harga sampai Rp 1.300 per kg. Begitu pula hasil kerajinan batu akik Ciherang di Sukabumi. Tadinya hanya laku di bursa kaki lima Jalan Pecenongan atau Jatinegara. Sekarang, coba saksikan, bisa masuk dan dijajakan di supermarket milik Gelael di Slipi. Max Wangkar, Laporan Budi Kusumah & Linda Djalil (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini