Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan revisi Undang-Undang Persaingan Usaha yang saat ini tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR akan mampu memperkuat kinerja lembaga. Sebab saat ini undang-undang yang lama masih memiliki sejumlah persoalan yang menghambat pengusutan perkara persaingan bisnis tidak sehat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Masalah ini yang harus diselesaikan dan kewenangan KPPU diperkuat di undang-undang yang baru," kata Ketua KPPU Kurnia Toha dalam konferensi pers di Kantor Pusat KPPU, Jakarta Pusat, Selasa, 10 Juli 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, pemerintah dan DPR memang tengah membahas revisi UU persaingan usaha. Tahapan terakhir dari proses revisi ini sudah memasuki pengecekan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Proses ini berlangsung cukup panjang, karena sempat ada usulan untuk menempatkan KPPU di bawah kementerian. Padahal, KPPU berharap posisi mereka tetap independen dan bertanggungjawab langsung kepada presiden.
Kurnia menambahkan bahwa permasalahan pertama ada subjek hukum yang bisa disasar KPPU. UU yang lama hanya menyebutkan bahwa subjek hanyalah pelaku usaha dan bisnis yang beroperasi di Indonesia. Padahal di negara lain, subjek hukum bisa lebih luas hingga pelaku usaha luar negeri yang memiliki dampak pada perekonomian nasional.
Baca: Komisioner Baru KPPU Petakan Skema Distribusi Pangan
Walhasil, dengan aturan yang lama, ruang gerak dari KPPU sangat terbatas. Ia menyadari muncul beragam tanggapan, "Nanti eksekusinya bagaimana?" kata Kurnia. Tapi, ia menilai jika ketika subjek diperluas, maka pintu negosiasi dan kerja sama lain akan terbuka kemudian.
Masalah kedua ada pada notifikasi merger atau penggabungan usaha. Menurut dia, sistem saat ini hanya membuat KPPU bisa menindai di tahapan post-merger. Padahal, hampir semua negara menerapkan pre-merger, atau pengecekan oleh KPPU sebelum dilakukan merger. "Kalau setelah gabung diminta bubar, tentu cost-nya lebih tinggi," kata dia.
Masalah ketiga yaitu soal status Sekretariat Jenderal KPPU yang belum jelas. Saat ini, kata Kurnia, belum seluruh pegawai KPPU yang berstatus Aparatur Sipil Negara. Mayoritas dari pegawai ternyata hanya berstatus karena kontrak.
Masalah keempat yaitu besaran denda maksimal sebesar Rp 1 sampai Rp 2,5 miliar. Denda yang dijatuhkan KPPU memang menjadi alat peringatan untuk pelaku usaha agar menjalankan bisnis secara sehat. Tapi untuk bisnis kelas tinggi dinilai tidak akan khawatir karena persentase denda yang sangat kecil dibandingkan nilai keseluruhan bisnis dan aset.
Masalah terakhir disampaikan oleh Komisioner KPPU Chandra Setiawan. Menurut dia, KPPU menginginkan adanya insentif dalam pengusutan persaingan usaha tidak sehat. Misalnya, kata Chandra, anggota kartel yang kemudian melapor ke KPPU sebagai whistleblower atau pembocor harus mendapatkan insentif atas keberaniannya. "Insentif itu yang belum dibicarakan, makanya kami akan atur," kata Chandra.