Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski telah dibubarkan secara resmi pada 27 Februari lalu, Badan Penyehatan Perbankan Nasional masih meninggalkan beberapa pekerjaan rumah yang belum beres. Salah satunya, persoalan Grup Texmaco milik Marimutu Sinivasan, yang berutang ke negara Rp 29,37 triliun.
Utang tersebut sudah beberapa kali dijual, namun sampai BPPN bubar, tidak laku juga. Penyelesaian utang Texmaco selanjutnya akan ditangani oleh tim pemberesan BPPN.
Untuk mengetahui persoalan ini lebih detail, Jumat pekan lalu TEMPO mewawancarai M. Syahrial, mantan Deputi Ketua BPPN Bidang Asset Management Credit, yang pernah menangani restrukturisasi dan penjualan utang grup ini.
Berikut petikannya:
Penyelesaian utang Texmaco sampai tahap apa?
Sebenarnya de facto Texmaco sudah default (gagal bayar), tetapi BPPN belum mengeluarkan surat itu karena pinjaman di atas Rp 1 triliun, restrukturisasinya perlu persetujuan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Akhirnya, sidang kabinet memutuskan harus ada audit teknologi oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi, tetapi BPPN boleh tetap mencoba menjual utang Texmaco.
Setelah program penjualan aset kredit selesai, Menteri Riset dan Teknologi melakukan presentasi dan ternyata (divisi) teknologinya sulit. Divisi engineering itu nol. Nilainya cuma tanah, sedangkan tekstil cukup baik.
Lalu KKSK memutuskan agar BPPN tidak mengeksekusi saham Texmaco, tetapi harus dicoba dijual lagi. Terakhir, dalam program penjualan yang ketujuh, ada investor lokal yang menawar.
Maksud Anda, Farallon Capital Asia?
Saya tidak tahu. Yang saya tahu, pada waktu mereka melakukan penawaran, atas namanya perusahaan lokal (PT Kinerja Prima Perkasa). Saya kira mungkin manajemennya Farallon.
Jika akhirnya tetap tidak terjual?
Itu tugas tim pemberesan BPPN yang dipimpin Menteri Keuangan. Sebelum BPPN berakhir, kami sudah mengeluarkan pernyataan wanprestasi. Jadi, mereka harus segera membayar dalam 21 hari kerja. Karena tagihannya sekarang langsung ke rekening pemerintah. Nanti terserah tim pemberesan, apa opsi penyelesaiannya.
BPPN sendiri usulnya sudah jelas. Jika tidak bisa bayar, kami hanya memegang tiga pilihan: eksekusi saham, aset, atau jaminan pribadi. Atau BPPN fight saja. Eksekusi ini kan selalu (melibatkan) pengadilan.
Bisakah paksa badan diterapkan pada Sinivasan?
Bisa saja, jika melalui Panitia Urusan Piutang Negara. Boleh, dong, itu kan salah satu instrumen pemerintah yang bisa dilakukan oleh kantor pajak, misalnya. Kalau kami melakukan eksekusi, apa salah?
Faktanya, betul Texmaco wanprestasi, betul perjanjian BPPN tertanggal 14 April 2003 dilanggar Sinivasan. Faktanya lagi, perjanjian penjaminan L/C yang harusnya dicicil kepada BNI tidak dipenuhi. Tapi semua itu perdata.
Texmaco terkesan "mati angin" pada era pemerintahan Megawati Soekarnoputri. Menurut Anda?
Saya tidak ada urusan dengan presidennya siapa. Itu yang harusnya dilakukan. Pemerintah sudah banyak membantu. Apa lagi?
Siapa pun presiden dan menterinya, yang harus dilihat, pemerintah sudah banyak dirugikan orang ini. Poin pentingnya, apa sih yang tidak dilakukan pemerintah untuk Sinivasan. Jika dibilang tenaga kerjanya banyak dan produknya ekspor, pemerintah sudah banyak membantu juga.
Pemerintah tidak memberikan kesempatan lagi sekarang. Ya sudah, enough is enough. Sekarang giliran pemegang saham Texmaco, lakukan sesuatu, dong. Kalau pemiliknya sudah malas, masa pemerintah yang tanggung jawab. Yang tanggung jawab pemegang saham, dong, sesuai dengan UU Perseroan Terbatas
Enak dong debitor, jika bisa mengatakan, saya tidak mau bertanggung jawab, saya tinggalkan tanpa penanganan hukum yang tetap. Ya, nanti semua orang akan melakukan seperti Sinivasan. Jadi itu wajar saja.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo