Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANTOR di lantai 10 Gedung Sentra Mulia, Jakarta, itu terlihat lengang. Di sebuah ruangan kosong yang tak berpenghuni, sekitar 40 meja lengkap dengan komputer tampak masih tersusun rapi. Tapi debu yang menempel di atas papan ketik menandakan para penggunanya telah lama tak menyentuhnya.
Sudah setahun ini nadi kehidupan di kantor Polysindo Eka Perkasa, anak perusahaan Texmaco, seakan berhenti berdenyut. Kantor yang tadinya hiruk-pikuk dengan 300 karyawan itu kini tinggal berisi sekitar 30 pegawai saja. "Belum termasuk orang asing," kata seorang resepsionis wanita. Orang asing yang dimaksud adalah beberapa profesional asal India yang terlihat masih lalu-lalang.
Sejak perusahaan makin terbenam dalam utang senilai Rp 29,4 triliun, karyawan memang tak punya banyak pilihan. Mereka terpaksa bersedia dirumahkan, cuma menerima 75 persen gaji, atau mengundurkan diri secara sukarela. Juru bicara Texmaco, Nina Kairupan, termasuk yang telah pamit mundur sejak pertengahan bulan lalu.
Tak ada kejelasan berapa lama periode "tak masuk kerja massal" itu akan berlangsung. Selama dirumahkan, perusahaan malah mengimbau supaya karyawan melamar pekerjaan di tempat lain.
Karyawan yang masih tinggal kebanyakan hanya mengerjakan urusan akunting, sumber daya manusia, hukum, umum, dan komunikasi. Bagian lain—seperti pengurusan tiket, mobil, dan kebutuhan rumah tangga—telah dihapuskan.
Merananya nasib Texmaco juga tecermin di kompleks pabrik mereka di Subang, Jawa Barat. Alang-alang tumbuh tinggi menunjuk langit, menggantikan rerumputan yang dulu tertata rapi di halaman.
Di areal seluas 640 hektare itulah berdiri pabrik Perkasa Heavindo Engineering, Wahana Auto Jaya, dan Perkasa Indo Baja. Kedigdayaan yang dulu pernah berkibar-kibar sekarang entah mengungsi ke mana. Di masa Orde Baru, tak kurang Menteri Perindustrian Hartarto sendiri ikut menghadiri pembukaan kilang yang mempekerjakan sekitar 2.000 karyawan itu.
Pendiri Texmaco, Marimutu Sinivasan, dulu amat membanggakan pabriknya. Di sana, menurut dia, putra-putra bangsa mampu membuat aneka mesin yang dibutuhkan rakyat, dari mesin industri otomotif, traktor, diesel, transmisi, mesin tekstil, sampai alat-alat industri baja, dan sebagainya.
Namun kini suara ingar-bingar tak lagi terdengar. Tak tersedianya bahan baku dan cekaknya modal kerja membuat kilang Texmaco megap-megap kehabisan napas, dan memaksa manajemen merumahkan karyawan secara bertahap sejak tahun lalu.
Sekarang, di pabrik Perkasa Heavindo Engineering, yang tinggal tersisa hanyalah 200 pegawai. Tapi mereka tak lagi membuat truk atau mesin berat lainnya. "Yang kami kerjakan," kata Sukamto, ketua serikat pekerja di sana, "cuma membuat tangki pesanan Pertamina."
Sinivasan sendiri sudah lama tak tampak punggung, tak tampak hidung. Adapun Raju Munusary, menantu Sinivasan yang kini menjabat Presiden Direktur Grup Texmaco, terakhir kali terlihat oleh karyawan enam bulan lalu. "Waktu itu dia mengantar pejabat Pertamina yang memesan tangki," kata Sukamto.
Terpuruknya Texmaco ikut memukul para ekspatriat asal India yang bekerja di sana. Sebagian dari mereka telah diterbangkan pulang ke tanah leluhur. Pekan depan sejumlah yang lain, yang selama ini mendapat fasilitas perumahan di Lippo Cikarang, kabarnya juga akan segera pulang kampung.
Urusan utang memang membuat Tex- maco limbung. Tak cuma menanggung kewajiban Rp 29,4 triliun kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), raksasa tekstil dan alat-alat berat tersebut juga masih dijepit utang lain yang terserak di mana-mana.
Kepada sejumlah kreditor asing, Texmaco masih berutang US$ 1,2 miliar. Untuk pemakaian listrik, gas, dan urusan pajak, utangnya mencapai Rp 425 miliar. Penggunaan letter of credit (L/C) dari BNI yang dijamin BPPN juga membebaninya sejumlah Rp 756 miliar.
Texmaco kian tersudut karena pada 27 Februari lalu BPPN telah mengeluarkan surat pernyataan gagal bayar (declaration of default) karena ketakmampuannya membayar bunga obligasi sebesar Rp 139 miliar pada Agustus tahun lalu. Surat itu bermakna penting karena dengan demikian seluruh utang menjadi jatuh tempo dan Texmaco harus mempercepat pembayarannya. Alhasil, skema restrukturisasi utang Texmaco yang telah disusun sebelumnya pun berantakan.
Waktu terus memburu Sinivasan. "Dua puluh satu hari setelah tanggal default, dia harus bayar utang," kata Direktur Utama Perusahaan Pengelola Aset (lembaga penerus kerja BPPN), Mohamad Syahrial. Itu berarti pada pekan ini juga nasib Texmaco akan ditentukan.
Bila Texmaco tetap gagal bayar, pemerintah punya dua pilihan yang sama-sama terkecap pahit buat Sinivasan. Pertama, pemerintah dapat menjual seluruh obligasinya kepada investor—yang berarti Sinivasan akan kehilangan Texmaco buat selamanya. Pilihan lain, pemerintah menagih terus utang itu kepadanya seumur hidup melalui Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN).
Pintu penyelesaian lain tampaknya sudah tertutup rapat buat pengusaha kelahiran Medan itu. "Negara telah banyak dirugikan oleh orang ini," kata Syahrial. Padahal, ia melanjutkan, pemerintah sudah banyak membantu mengingat pekerjanya banyak dan produknya untuk diekspor.
Palu putusan telah ditetapkan: pemerintah tak akan lagi mengulurkan tangan. "Enough is enough," kata Syahrial, "Sekarang giliran pemegang saham Texmaco melakukan sesuatu."
Toh, kemalangan belum berhenti. Tangan hukum pun kembali membayang-bayangi Sinivasan, yang sebelumnya pernah "dianugerahi" surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dari Kejaksaan Agung di zaman Marzuki Darusman.
Kini, polisi sedang mengkaji kemungkinan adanya penyalahgunaan letter of credit (L/C) Texmaco senilai Rp 756 miliar dari BNI. Sesuai dengan perjanjian, L/C itu mestinya diperuntukkan buat menghidupi perusahaan tekstil. Tapi, ada dugaan kuat Texmaco telah menggunakan dana itu secara tak sah untuk membiayai perusahaan minyaknya.
Tengara tersebut didasarkan pada hasil audit PricewaterhouseCoopers (PwC). Konsultan yang disewa BPPN itu menemukan fakta bahwa hasil penjualan ekspor Texmaco ternyata malah dipakai membiayai perusahaan minyak dalam grup usaha milik Sinivasan itu. Padahal seharusnya hasil penjualan itu dikembalikan ke BNI untuk membayar L/C yang telah dikeluarkan.
Syafruddin Temenggung sewaktu menjadi Ketua BPPN telah menyerahkan hasil audit tersebut kepada Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Erwin Mapasseng. "Sekarang polisi yang harus aktif mengusut," kata Syaf ketika itu.
Maka, Sinivasan, pengusaha yang dikenal amat lihai melobi penguasa itu, pun mati angin. Para pejabat yang dulu dekat dengannya kini satu per satu memalingkan muka.
Dalam sebuah rapat dengan Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, beberapa wakil rakyat sempat menyentil Sinivasan agar tak memanfaatkan karyawan untuk mendapat modal kerja dari bank. "Tak bisa perusahaan menyandera karyawan untuk mendapat modal," ujar Hafiz Zawawi dari Fraksi Golkar.
Padahal, lima tahun lalu di komisi ini Sinivasan pernah mengecap manisnya dukungan anggota parlemen ketika kasus penyalahgunaan L/C-nya diungkap Menteri Laksamana Sukardi. Ketika itu beberapa anggota DPR, termasuk dari Fraksi PDI Perjuangan, mendesak Presiden Abdurrahman Wahid agar memecat Laksamana yang dianggap ngawur. Belakangan, Presiden Abdurrahman memang benar-benar menendang Laksamana dari kabinetnya.
Tapi angin kini berbalik arah. Tjahjo Kumolo, Ketua Fraksi PDI Perjuangan sekarang, malah meminta karyawan Texmaco mendemo Sinivasan, bukannya BPPN atau instansi pemerintah lain. Menurut Kumolo, Sinivasan-lah yang harus bertanggung jawab terhadap nasib ribuan karyawannya.
Seorang petinggi Texmaco yang amat dipercaya Sinivasan mengaku, bosnya kini kesulitan melobi orang-orang di lingkaran terdekat Presiden Megawati. "Baru kalau ada pertemuan resmi saja bisa bertemu Pak Taufiq Kiemas atau yang lain," ia mengeluh, "Ketika usaha macet begini dan kami sedang di bawah, semua kawan tak ada yang mau mendekat."
Sinivasan pun surut ke belakang. Semua negosiasi sekarang dipimpin oleh dua orang tangan kanannya, Sundraraman dan Siwa, dan putra Sinivasan, Gandhi Ben. "Kami yang tua-tua ini sudah tak pernah diajak bicara lagi," kata petinggi Texmaco itu.
Sayang, Sinivasan tak bisa diwawancarai untuk menjelaskan perihal awan kelabu yang menggelayuti perusahaannya. "Bapak sedang ke Medan," kata Bhakti Tejamulya, Manajer Komunikasi Media Texmaco. Tapi, di Medan pun wartawan TEMPO tak berhasil menemuinya.
Padahal, biasanya Sinivasan masih rajin berkantor di Gedung Sentra Mulia. Datang pagi-pagi pukul 08.00, dia baru beranjak pulang selepas magrib berkutat mencari cara agar bisa menjauh dari jurang yang menganga di hadapannya.
Nugroho Dewanto, Y. Tomi Aryanto, Yandi M.R. (Tempo News Room), Nanang Sutisna (Subang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo