Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Satu Sen Utang Opa Wasan

Farallon menawar aset kredit Texmaco seharga 1 sen per dolar. Kalau mau, pemerintah masih sempat mendongkrak harga.

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Satu Sen Utang Opa Wasan
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

LAMA menanti jodoh, Texmaco akhirnya dipinang juga. Beberapa hari menjelang penutupan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
(BPPN) akhir Februari lalu, PT Kinerja Prima Perkasa mengajukan penawaran atas aset kredit Texmaco berupa exchangeable bond (obligasi yang dapat dipertukarkan) yang diterbitkan dua perusahaan induk Texmaco, PT Bina Prima Perdana dan PT Jaya Perkasa Engineering. Bina Prima merupakan perusahaan induk pengelola anak perusahaan Texmaco yang bergerak di bidang tekstil, sementara Jaya Perkasa menampung perusahaan di bidang engineering.

Ada dua hal yang menyebabkan tawaran itu pantas diperhitungkan. Pertama, baru kali ini ada calon investor Texmaco yang bernyali memasukkan penawaran mengikat (final binding bid). Kedua, Kinerja Prima, yang sempat diakui sebagai investor lokal, ternyata merupakan kendaraan investasi Farallon Capital Asia. "Farallon memang menawar aset Texmaco melalui perusahaan afiliasi lokal PT Kinerja Prima Perkasa," kata juru bicara perusahaan investasi asal Amerika Serikat itu. Jangan lupa, inilah perusahaan yang memboyong Bank Central Asia tiga tahun lalu melalui konsorsium Farindo. Kala menawar Texmaco, Farallon tidak mengajak raksasa produsen rokok Djarum—mitranya di Farindo.

Sumber TEMPO yang dekat dengan Farallon menuturkan, ketertarikan pengelola dana ratusan miliar dolar itu digagas oleh para pekerja asing di Texmaco. "Farallon diminta masuk karena mereka mengatakan Texmaco masih punya prospek," tuturnya. Tuntas mengamati "jeroan" Texmaco, Farallon tak langsung mengajukan harga.

Ada sejumlah kondisi yang mereka minta dipenuhi pemilik lama, Marimutu Sinivasan, dan para punggawanya. Farallon meminta Sinivasan "lengser keprabon" dari kerajaan Texmaco. Sinivasan, yang selama ini dikenal sebagai perunding tangguh, ternyata tak keberatan akan permintaan itu. "Bicaranya sudah seperti opa-opa," bisik sumber TEMPO. "Sinivasan hanya meminta agar anggota keluarganya dan profesional lama Texmaco tetap dipekerjakan."

Permintaan itu tak ditampik Farallon. Beberapa sumber di Grup Texmaco enggan mengomentari cerita di balik kesediaan "Wasan"—panggilan akrab Sinivasan—untuk mundur. Seorang pejabat tinggi di Texmaco yang biasa mewakili Sinivasan bahkan mengatakan, "Kita yang tua sudah tak pernah diajak rembukan." Usai tawar-menawar dengan Sinivasan, Farallon pun percaya diri mengajukan bid atas nama Kinerja Perkasa ke BPPN.

Tapi, di sinilah masalahnya. Harga yang diajukan Farallon hanya 1 sen per dolar. Artinya, obligasi yang memiliki nilai buku Rp 29 triliun itu dihargai oleh Farallon sekitar Rp 290 miliar. Harga super-rendah itu kabarnya ditolak Menteri Keuangan, yang mengepalai tim pemberesan BPPN. Juru bicara Farallon mengakui tawaran yang mereka ajukan dalam program penjualan aset kredit ketujuh itu belum disetujui pemerintah.

Masa depan Texmaco kembali diselubungi tanda tanya. Seperti luas diketahui, pemerintah cenderung menjual Texmaco ketimbang masuk sebagai pemegang saham. Opsi masuk sebagai investor akan menguras pundi-pundi pemerintah, baik untuk menyetor modal kerja maupun melunasi segepok tunggakan utang Texmaco (baca, Perincian Utang Texmaco).

Penolakan kian kuat setelah Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi menuntaskan audit teknologi atas Texmaco. "Pemerintah akan menanggung risiko tinggi kalau harus mengambil Texmaco," tutur Menteri Negara Riset dan Teknologi, Hatta Rajasa, kepada pers awal tahun ini. Dari kajian yang dilakukan Menteri Riset dan Teknologi, terungkap bahwa teknologi yang digunakan divisi engineering Texmaco sudah ketinggalan sekitar 20-30 tahun.

Hatta tak lupa mengingatkan bahwa pemerintah sudah memiliki banyak perusahaan yang tergolong strategis dan patut diperhatikan, seperti Barata, Boma Bisma, ataupun Inka. Vonis itu berarti: Texmaco harus dijual. Hanya, rencana penjualan juga tak mudah. Sejarah BPPN memperlihatkan betapa rendahnya daya jual Texmaco di mata investor.

M. Syahrial, Direktur Utama Perusahaan Pengelolaan Aset yang juga mantan Deputi Ketua BPPN Asset Management Credit, menyimpulkan bahwa persepsi pasar terhadap Texmaco telanjur buruk. Maka, ia tak terlalu terkejut dengan harga penawaran Farallon. "Nilai pasar atas utang Texmaco hanya 0,5 sen hingga 1 sen per dolar," katanya, sambil menunjuk harga pasar obligasi Polysindo yang hanya 0,5 sen dolar. Padahal, Polysindo selama ini dianggap anak perusahaan Texmaco yang memiliki kinerja paling tokcer.

Setahun lalu, ketika dijajakan oleh BPPN dalam Program Penjualan Aset Strategis dan Program Penjualan Aset Kredit, memang ada investor yang melirik Texmaco. National Bluestar, konglomerasi milik pemerintah Cina, sempat menyatakan kepincut pada divisi tekstil Texmaco. Perusahaan asal "negeri naga dan burung hong" itu tak pernah terdengar lagi bunyinya setelah gagal memenuhi persyaratan keuangan di Program Penjualan Aset Pertama.

Calon investor Texmaco yang lain adalah Konsorsium Utara Capital pimpinan Mirzan Mohamad, putra Mahathir Mohamad. Utara diingat Syahrial sebagai calon investor paling serius. "Mereka sempat meminta perpanjangan waktu untuk uji tuntas," tutur Syahrial. Tapi, ada saja rintangan yang menghalangi Utara masuk Texmaco.

Syahrial menuturkan, Utara enggan bertransaksi dengan Sinivasan. "Mereka minta BPPN masuk dulu sebagai pemegang saham Texmaco," katanya. Ini pilihan berisiko bagi BPPN karena tak ada jaminan Utara masuk setelah BPPN mengambil alih Texmaco. Perintang lain adalah kegagalan konsorsium ini menggandeng mitra untuk mengelola divisi tekstil Texmaco. Mirzan lebih dikenal sebagai pebisnis otomotif dan perkapalan, dan tak pernah berbisnis kain.

Mentok di sana-sini, tawaran Utara yang terakhir disampaikan ke BPPN adalah skema pengelolaan operasi bersama (joint operation) di divisi engineering Texmaco. Ini jelas pilihan yang dijauhi oleh BPPN. Lalu, sebegitu parahkah Texmaco sehingga tak ada yang sudi membeli? Jawabannya tersirat dari sia-sianya upaya BPPN menjual Texmaco.

Entah karena putus asa, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi, malah sempat mengumpat, "Jangan-jangan kalau (Texmaco) dikasih gratis juga tidak ada (investor) yang mau ambil." Untung, ucapan Laksamana empat bulan lalu itu ternyata keliru. Masih ada investor yang menawar Texmaco, meski dengan harga yang nyaris gratis.

Polysindo merupakan alasan utama Farallon menawar Texmaco. Perusahaan ini dianggap masih memiliki prospek cerah karena menguasai hingga 19 persen pangsa pasar polyester di Indonesia. "Tetapi, Polysindo hanya memiliki potensi jika mendapat tambahan modal kerja," kata sumber yang dekat dengan Farallon. Dalam kalkulator Farallon, paling sedikit Polysindo membutuhkan injeksi modal sekitar Rp 1,7 triliun (US$ 200 juta).

Dana itu diperlukan untuk membeli bahan baku berupa paraxylene dan monoethylene sebesar US$ 50 juta. Sisanya dipakai melunasi utang Texmaco berupa obligasi luar negeri (US$ 100 juta) serta macam-macam tunggakan kegiatan operasional, seperti utang ke PLN, PGN, dan gaji karyawan (US$ 52 juta). Dalam hitungan Farallon, injeksi modal ini bakal balik dalam lima tahun, mengingat Polysindo mampu mencetak uang hingga US$ 40 juta per bulan.

Soal harga yang supermurah, sumber ini memberi penjelasan menarik. Farallon, atau investor mana pun, akan menawar Texmaco dengan murah karena kebancian sikap pemerintah atas kepemilikannya di Bina Prima Perdana (pemerintah memiliki 70 persen saham Bina Prima, perusahaan induk yang mewadahi kelompok tekstil Texmaco) serta tunggakan letter of credit Texmaco di BNI. Kalau begitu, Menteri Keuangan serta anggota tim pemberesan lain tentu tahu apa yang harus dilakukan untuk mendongkrak nilai Texmaco.

Thomas Hadiwinata, Syakur Usman, Setri Yasra, Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus