Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Berita Tempo Plus

Agama

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Agama
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pada tahun 1930-an, penyair Amir Hamzah pergi ke Pulau Bali, bersua dengan seorang perempuan yang memukaunya, dan menulis:

Hatiku yang terus hendak mengembara ini membawa daku ke tempat yang dikutuk oleh segala kitab suci di dunia, tapi engkau, hatiku, berkitab sendiri, tiada sudi mendengarkan kitab lain.

Siapa akan menyangka baris-baris itu datang dari Amir Hamzah? Penyair ini, seorang aristokrat Melayu, kita kenal lewat puisinya yang intens tentang Tuhan dan himpunan terjemahannya yang seakan-akan tak menengok ke "Barat": Setanggi Timur. Juga potretnya: pecinya rapi, parasnya alim dan bersih. Tak akan terduga bahwa Amir adalah sebuah keresahan untuk "terus hendak mengembara," begitu binal, bandel, dan berontak. Tak gamang memasuki tempat terkutuk. Tak sudi mendengarkan "segala kitab suci."

Penyair yang menakjubkan biasanya memang penyair yang tak jinak. Horatius, penulis puisi liris terkemuka di Roma abad ke-7 sebelum Masehi, berseru, "Sapere aude!" Beranilah menggunakan pengertian sendiri! Puisi yang hanya mengulang kaji akan mati sebelum sampai. Bagi Horatius, pada awalnya adalah mandiri.

Amir Hamzah hidup beratus tahun setelah itu, pada abad ke-20 yang rusuh. Ia bagian dari modernitas. Ia manusia dari masa tatkala kemandirian dinyatakan sebagai tanda "Pencerahan".

Tanda itu dicantumkan oleh Kant, ketika pemikir termasyhur ini menjawab pertanyaan berkala Berlinische Monatschrift pada bulan November 1784. Pencerahan, kata Kant, adalah pembebasan diri manusia dari selbst verschuldeten Unmündigkeit, dari ketergantungan pada bimbingan orang lain—ketidakdewasaan yang ditumbuhkan manusia sendiri dalam dirinya. Untuk jadi dewasa, sapere aude! Manusia "Pencerahan" adalah manusia yang "berkitab sendiri."

Para penulis sejarah Eropa kemudian mengaitkan zaman "Pencerahan" dengan awal maraknya sekularisme, semangat yang menyambut sekularisasi kehidupan. Sekularisasi tentu tak hanya bertolak dari rumusan Kant. Pemikir ini memang terkenal dengan thesisnya bahwa dalam diri manusia sendiri ada kapasitas untuk menyelesaikan masalah ethis, tanpa "segala kitab suci di dunia." Tapi Kant bukan orang yang memulai gairah modernitas. Di masanya, bintang tak lagi menentukan nasib, ikon Kristus tak lagi keramat, hantu habis, vampir tergusur, malaikat sirna. Tuhan tentu saja masih dipercaya, tapi Ia telah jadi sebuah konsep, misalnya sebagai "Sebab Pertama dari Yang Pertama." "Gerhana Tuhan," kata Martin Buber, telah mulai.

Tentang sejarah yang seperti itulah lahir teori tentang "sekularisasi". Teori ini adalah teori tentang perubahan masyarakat. Menurut telaah Max Weber yang termasyhur, perubahan itu bermula ketika rasionalitas kian membentuk cara manusia melihat hidup dan mengambil keputusan. Masyarakat tak lagi hanya bersandar pada iman. Ajaran agama, dengan wibawa Tuhan sekalipun, tak selalu memadai untuk menyelesaikan soal hidup yang kian kompleks. Perang dan perdagangan telah melahirkan pelbagai benda, teknik, keahlian, dan perilaku yang baru.

Di tengah kompleksitas ini, elite keagamaan pun susut wibawanya, ketika mereka tak sepenuhnya siap menjawab. Timbullah lembaga dan lingkaran lain yang mandiri. Ilmu tak bisa lagi mengikuti doktrin Gereja, seni tak lagi hanya melayani yang sakral, dan penilaian tentang yang "jangan" dan yang "harus" makin berjarak dari titah Tuhan, meskipun tak dengan sendirinya menampiknya.

Matikah agama sejak itu? Akan lenyapkah pesonanya ketika manusia berani mengembara bahkan ke "tempat yang dikutuk segala kitab"?

Ada yang menjawab: pasti. Dekat ke pertengahan abad ke-19 Auguste Comte menuliskan teorinya bahwa tiap masyarakat akan meninggalkan "keadaan theologis" dan akhirnya masuk ke "keadaan ilmiah dan positif". Menjelang akhir abad ke-19 Marx dan Engels yakin revolusi sosial akan menghapuskan agama, "candu" bagi kelas buruh itu. Di paruh kedua abad ke-20, Peter Berger memperkirakan pada abad ke-21 kehidupan sekuler akan begitu meluas, hingga orang beragama pun terpencil. Nasib si mukmin, katanya, akan seperti nasib "seorang ahli astrologi dari Tibet yang tinggal di sebuah kampus di Amerika": ganjil, mungkin menarik, dan bingung.

Kini abad ke-21, dan kita tahu Berger dan lain-lain salah. Agama tak mati-mati. Teori sekularisasi secara telak telah terbantah. Teman saya, Luthfie Assyaukani, memberi saya sejumlah risalah yang kini menyesali teori itu. Rodney Stark, pakar sosiologi agama itu, menyerukan agar "doktrin sekularisasi" dikubur. Pada tahun 1997 Peter Berger sendiri mengakui kekeliruannya: ternyata dunia tak berubah jadi sekuler, ternyata agama tampil lebih lantang.

Tapi jika teori sekularisasi mati, mati jugakah proses sekularisasi? Akan terhalaukah sekularisme, pandangan yang menjunjung surutnya peran agama dalam kehidupan sosial? Saya kira tidak; ia hanya berubah kulit, atau muncul di sela-sela retakan sosial zaman ini. Dalam sebuah esai pada tahun 1980, From Secularity to World Religions, Berger menunjukkan dinamika lain di masa kini: pluralisme. "Kepastian subyektif" (subjective certainty) dalam beragama tak ditopang lagi oleh satu kesatuan sosial yang padu sebagai penyangga. Dunia kini bak sebuah bazar. Ada pelbagai ekspresi iman, aneka agama, dan masing-masing bisa tampak bagaikan "satu intan dua cahaya," untuk memakai kiasan Amir Hamzah di sajak lain. Yang ada bukan sepasukan "jahiliah" yang utuh menghadapi sepasukan "mukminin" yang tunggal. Keretakan, atau beda, di mana-mana tampak. Meskipun orang mengatakan kini kita hidup di masa "pasca-sekuler", agama tetap tak mampu sepenuhnya membentuk tafsir kita tentang dunia.

Apa boleh buat. Sudah agak lama bermacam ragam Amir Hamzah mengembara, menjajal wilayah asing, bertanya, dan berbisik kepada Tuhan (Tuhan yang tak bisa lagi memaksakan Kata-Nya): Mangsa aku dalam cakar-Mu, bertukar tangkap dengan lepas....

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus