Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI dalam rumah berdinding bata kapur tak berplester, Marnah duduk bersimpuh menata adonan nastar. Dibantu anaknya, ia mengerjakan penganan Lebaran yang dipesan para tetangganya di Kampung Setu Asem, Mekarwangi, Kecamatan Tanah Sareal, Bogor, Jawa Barat, Kamis dua pekan lalu.
Lima tahun lalu, Marnah hanya memproduksi rempeyek dan berjualan ikan asin. Untuk memulai usaha itu, dia meminjam Rp 1 juta dari Amartha, perusahaan rintisan pembiayaan nonbank (peer-to-peer lending). "Sekarang bisa berkembang sedikit-sedikit," katanya.
Marnah sebelumnya sempat ditawari modal usaha oleh Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN). Beberapa petugas bank bahkan sudah mendatangi rumahnya. "Bank lain juga banyak yang survei, tapi tidak pernah mencairkan pinjaman," ujarnya. "Mungkin karena saya tidak punya jaminan."
Marnah bukan satu-satunya pengusaha kecil yang kesulitan memperoleh pinjaman perbankan. Wakil Ketua Asosiasi Fintech Indonesia Adrian Gunadi mengatakan ada banyak pengusaha kecil di negeri ini yang membutuhkan pembiayaan. Menurut perhitungan Asosiasi, terdapat kebutuhan pinjaman sebesar US$ 60 miliar atau setara dengan Rp 800 triliun untuk modal usaha warga Indonesia. Perbankan dan lembaga keuangan nonbank tidak bisa memenuhinya. "Pasar kreditnya masih sangat besar," kata Co-Founder Investree itu di kantornya di Wisma Barito, Jakarta, Senin dua pekan lalu. Investree adalah salah satu startup peer-to-peer lending seperti Amartha.
Berdasarkan data Bank Dunia 2014, hanya 35,9 persen penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun yang memiliki rekening bank. Co-Founder Modalku, Reynold Wijaya, mengatakan 85 persen penduduk Indonesia bahkan tidak bisa mendapatkan pinjaman perbankan. Itu sebabnya, "Kami tidak tertarik mengambil pasar perbankan. Kami masuk ke pasar yang 'tidak layak' itu saja," ujar Reynold di kantor Modalku di Rukan Puri Mansion, Jakarta Barat, Rabu dua pekan lalu.
Banyak pengusaha kecil tidak layak mendapat pinjaman bank karena tak memiliki jaminan. Selain itu, nominal pinjaman yang dibutuhkan relatif kecil. Contohnya Marnah, yang hanya butuh Rp 1 juta untuk modal usahanya.
Pada tahun pertama, Marnah hanya meminjam Rp 1 juta ke Amartha. Kini ia menaikkan pinjaman menjadi Rp 7 juta. Seperti ke bank keliling, Marnah mencicil utangnya ke Amartha tiap minggu sebesar Rp 186 ribu, dengan bunga yang jauh lebih rendah. "Sekarang masuk cicilan ke-34. Tinggal 16 minggu lagi beres," katanya.
Vice President Amartha, Aria Widyanto, mengatakan, berbeda dengan Investree dan Modalku, perusahaan rintisannya lebih berfokus memberi pinjaman ke pengusaha mikro. "Kami bermain di pasar yang sama dengan koperasi," kata Aria di FX Sudirman, Jakarta, Senin dua pekan lalu. Mereka membidik pasar mikro karena awalnya Amartha merupakan hasil eksperimen sosial berbentuk koperasi yang beroperasi di Bogor.
Bentuk semikoperasi itu dilakoni Amartha sejak 2010 hingga 2015. Mulai awal 2016, mereka bergeser menjadi peer-to-peer lending. "Volume kredit langsung meningkat menjadi Rp 10 miliar per bulan," ucap Aria. Karena bermain di segmen mikro, pinjaman Amartha paling banter Rp 10 juta.
Keputusan bermain di segmen mikro membuat Amartha tidak melulu mengandalkan inovasi teknologi. Amartha mempekerjakan 160 orang yang bertugas di lapangan. Mereka inilah yang memverifikasi calon peminjam, menarik cicilan per pekan dalam satu kelompok wilayah, sampai membimbing usaha peminjam. "Sebelum diberi pinjaman, calon peminjam dilatih bagaimana mengelola keuangan dan menjalankan usaha," kata Aria.
Kini Amartha telah mengoperasikan 25 cabang di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur dengan menyalurkan kredit Rp 92 miliar. Dana itu disalurkan kepada 34 ribu peminjam. "Ada 2.000 investor yang aktif dari 10 ribu yang terdaftar," ujar Aria. Rata-rata Amartha mengenakan bunga 15-30 persen. Sebagian pendapatan bunga menjadi keuntungan Amartha, sementara investor memperoleh return 15-17 persen.
Co-Founder Investree, Adrian Gunadi, mengatakan isu krusial industri kredit berbasis teknologi ini adalah soal kelayakan peminjam. Agar kredit aman, Investree awalnya berfokus pada calon peminjam yang sudah punya kepastian pendapatan. "Perusahaan katering atau production house itu biasanya sudah punya tagihan dari pemberi kontrak tapi butuh modal kerja segera," kata mantan Managing Director Retail Banking Bank Muamalat itu.
Para verifikator Investree, menurut Adrian, kemudian memeriksa data calon peminjam dan memastikannya kepada pemberi kontrak. "Tagihan itu memberikan rasa nyaman buat investor," ujarnya. Maksimal pinjaman yang disalurkan Investree sebanyak 80 persen dari nilai tagihan.
Berdasarkan pengalamannya, Adrian mengatakan, semakin banyak orang terlibat proses verifikasi, risiko fraud semakin tinggi. Itu sebabnya, menurut dia, 70 persen proses pinjaman Investree melalui online.
Berdiri sejak Mei tahun lalu, Investree kini telah menyalurkan pinjaman Rp 215 miliar kepada sekitar 700 usaha kecil-menengah. Pinjaman itu berasal dari 6.000 investor. Rata-rata bunga pinjaman yang dikenakan sebesar 12-20 persen per tahun. "Kami charge fee 3-5 persen dari kredit yang cair. Adapun investor bisa memperoleh return hingga 17 persen."
Investree kini juga mulai menyasar pendanaan untuk karyawan. "Istilahnya mendigitalkan koperasi karyawan," kata Adrian. Ada 40 perusahaan yang sudah bekerja sama dengan Investree.
Pesatnya pertumbuhan perusahaan teknologi keuangan membuat Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan Peraturan OJK tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, Desember tahun lalu. Menurut Deputi Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Dumoly Pardede, mengacu pada aturan main tersebut, perusahaan rintisan peer-to-peer lending diberi waktu sampai Juni lalu untuk mendaftarkan diri ke OJK. "Kalau tidak terdaftar, akan kami tertibkan dan bisa dikategorikan sebagai investasi ilegal," ucap Dumoly di kantornya di Jakarta, Selasa tiga pekan lalu. Peraturan itu salah satunya membatasi maksimal pinjaman Rp 2 miliar.
Co-Founder Modalku, Reynold Wijaya, menilai seharusnya OJK tidak membatasi pinjaman maksimal. Sebab, peer-to-peer lending menyasar pasar yang tidak bisa mendapat pinjaman perbankan. Perbedaan pasar yang mencolok itu, kata Reynold, tidak akan menggerus bisnis kredit perbankan. "Justru kami memperbesar ekosistem bank," ujarnya.
Reynold mengacu pada Cina. Pada 2011, volume pinjaman peer-to-peer lending di negara itu cuma US$ 1,2 miliar. Pada 2015, angka tersebut melonjak menjadi US$ 152 miliar. Perbankan ketiban dampaknya. Pada 2011, kredit perbankan Cina hanya US$ 11 triliun. Pada 2015, jumlahnya melompat menjadi US$ 22 triliun. "Kami ini memberi makan bank," kata Reynold. Modalku telah bekerja sama dengan Bank Sinarmas untuk menyalurkan modal kredit bank lewat platform mereka.
Sejak memulai bisnisnya di Indonesia pada Januari 2016, Modalku telah menyalurkan kredit sebanyak Rp 200 miliar. Para peminjam Modalku adalah usaha kecil-menengah dengan omzet minimal Rp 20 juta per bulan. "Mereka terlalu besar buat microfinance, terlalu kecil buat bank," ujarnya. Di Singapura, Modalku sudah menyalurkan kredit Rp 500 miliar. "Di semua negara pasti ada segmen masyarakat yang tidak layak di mata bank," katanya.
Salah satunya, ya, Marnah tadi. Ibu rumah tangga ini memulai usaha kulinernya dengan modal awal Rp 1 juta. Kini, berkat pinjaman Amartha, usaha Marnah mulai berkembang.
Pada Kamis dua pekan lalu, rumah berdinding bata kapur itu disesaki stoples plastik berisi nastar dan rempeyek kacang. Semuanya sudah siap dikirim. Belum selesai semua pesanan nastar dan rempeyek kacang dibikin, telepon seluler ibu dua anak itu berdering. "Ini banyak juga yang memesan ketupat. Satu pemesan meminta 40 ketupat," ujar Marnah, sambil menutup panggilan di ponselnya.
Khairul Anam, Sidik Permana (Bogor)
Partisipasi masyarakat Indonesia terhadap pasar modal rendah. Data Kustodian Sentral Efek Indonesia menyebutkan, per 20 Desember 2016, jumlah investor di Indonesia saat ini hanya 886 ribu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo