Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Maju Kena Mundur Kena

Pembatasan distribusi Premium dan solar ditunda. Pemerintah bingung menetapkan mekanismenya.

30 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ditunggu sejak zuhur hingga lepas isya, pengumuman yang dinanti rakyat itu tak muncul juga. Padahal pemerintah menyatakan bakal memutuskan pembatasan distribusi bahan bakar minyak bersubsidi di sidang kabinet, Selasa sore pekan lalu. Berbagai opsi sempat dikaji. Salah satunya pembatasan mobil pribadi dengan kapasitas mesin di atas 1.500 cc mulai 1 Mei.

"Siapa bilang 1 Mei? Jangan berspekulasi," kata Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Istana Presiden seusai sidang kabinet. Penerapan mekanisme pembatasan, katanya, menunggu momen yang tepat.

Pemerintah mesti jungkir balik menyiasati pembengkakan subsidi bahan bakar minyak tahun ini. Mekanisme pembatasan menjadi pilihan setelah keinginan menaikkan harga Premium dan solar dibendung politikus Senayan, akhir Maret lalu.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2012 membatasi kuota Premium dan solar 40 juta kiloliter dengan subsidi Rp 137,4 triliun. Ini dengan skenario terjadi kenaikan harga Premium Rp 1.500 menjadi Rp 6.000 per liter.

Lantaran tidak ada kenaikan harga BBM, alokasi subsidi paling tidak mencapai Rp 178 triliun. Jika tak ada penghematan atau pembatasan, ada kemungkinan kuota bakal habis pada Oktober mendatang. Menurut Hatta, total pembengkakan subsidi energi, termasuk listrik, bisa mencapai Rp 300 triliun.

Direktur Eksekutif Center for Petroleum and Energy Economics Studies Kurtubi mengatakan batalnya pengumuman pembatasan distribusi BBM bersubsidi menunjukkan ketidaksiapan pemerintah. "Presiden ragu," katanya kepada Tempo pekan lalu.

Secara substansi, kata Kurtubi, ide pembatasan Premium keliru. Pembatasan hanya menggiring rakyat pindah dari Premium ke Pertamax, yang melanggengkan ketergantungan terhadap emas hitam itu. "Dari minyak ke minyak saja," ujarnya.

Tanda-tanda tak ada kata putus soal pembatasan distribusi BBM bersubsidi sebetulnya terbaca sejak Selasa siang. Rencananya, siang itu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan kebijakan pengamanan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang lantas molor hingga pukul 16.00.

Presiden baru tampil di depan wartawan sore hari. Alih-alih mengumumkan kebijakan, ia hanya membeberkan alasan kebijakan tersebut dikeluarkan. Malam harinya, seusai sidang kabinet, Presiden tak tampak lagi. Hanya ada Hatta, Menteri Keuangan Agus Martowardojo, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik.

Sekretaris Komite Ekonomi Nasional Aviliani membantah Presiden Yudhoyono ragu mengumumkan rencana pembatasan Premium untuk kendaraan bermesin 1.500 cc. Menurut dia, sebelum Hatta muncul di depan wartawan, ada dua rapat sepanjang Selasa pekan lalu.

Rapat pertama pada pukul 14.00 dihadiri terbatas oleh personel Komite Ekonomi, para menteri, Presiden Yudhoyono, dan Wakil Presiden Boediono. Di sinilah komite yang dipimpin Chaerul Tanjung itu memberikan sejumlah rekomendasi kepada Presiden.

Salah satunya, Komite Ekonomi mendesak pemerintah segera mengumumkan rencana tak ada kenaikan harga BBM hingga akhir tahun ini. Kebijakan tersebut perlu untuk mencegah aksi spekulan yang menimbun BBM sekaligus menenteramkan investor.

Bila mengikuti rekomendasi Komite Ekonomi, Presiden Yudhoyono mengalami dilema. Andai rencana ini benar-benar diumumkan, itu sama saja menyetujui opsi usul PDI Perjuangan dan partai oposisi lain serta Partai Keadilan Sejahtera dalam Sidang Paripurna DPR pada 30 Maret.

Aviliani menuturkan, Presiden Yudhoyono seperti maju kena mundur kena. Komite Ekonomi melihat ada ongkos politik dan sosial yang harus ditanggung pemerintah jika menghapus opsi kenaikan harga. "Tarik-ulur politik kencang di sini," kata Aviliani.

Akhirnya keputusan rapat pada sore itu kembali ke skenario awal yang dirancang sejak Januari lalu: pembatasan Premium. "Meski rumit, harus tetap dilakukan daripada tak berbuat apa-apa," ujar Umar Juoro, anggota Komite Ekonomi yang lain, kepada Andi Perdana dari Tempo.

Komite Ekonomi merekomendasikan pembatasan, tapi teknis pelaksanaannya terserah pemerintah. Opsi yang diambil pembatasan untuk mobil berkapasitas mesin tertentu. Menurut Aviliani, opsi itu yang dibahas dalam sidang kabinet paripurna kedua sekitar pukul 16.00.

Sembari menanti waktu yang tepat dan sah menaikkan harga bahan bakar, pembatasan menjadi langkah mutlak. "Bila kuota jebol, defisit anggaran melebihi tiga persen," kata Umar Juoro. Jika demikian, kata dia, pemerintah mengingkari ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara.

Karena itu pula, pada Selasa malam, Hatta tampak tak yakin dengan rencana pembatasan premium berdasarkan mesin 1.500 cc. "Jangan katakan pemerintah batal menerapkan pembatasan. Yang benar belum menentukan tanggalnya," katanya.

Ketidakjelasan rencana pembatasan kian nyata karena tak ada koordinasi di lapangan dengan para distributor. "Sampai saat ini belum dihubungi pemerintah," kata Eri Purnomohadi, Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas).

Hingga Kamis pekan lalu, dia belum diajak Kementerian Energi berdiskusi tentang pembatasan BBM bersubsidi. Padahal, untuk program yang sama pada 2010 dan 2011, Hiswana Migas kerap tergabung dalam tim sosialisasi.

Demikian pula dengan PT Pertamina. Perusahaan minyak negara ini butuh ketegasan pemerintah. "Kami siap memasok Perta­max untuk Jakarta dan Jawa-Bali asalkan program pembatasan sudah jelas," kata juru bicara Pertamina, Mochamad Harun.

Rencana pembatasan distribusi BBM bersubsidi berdasarkan kapasitas mesin sebenarnya cerita usang. Skenario tersebut sudah bergaung sejak dua tahun lalu, dan menjadi salah satu hasil kajian Direktorat Jenderal Minyak dan Gas dengan Universitas Indonesia.

Namun Menteri Jero mengakui sulit menerapkan rencana pembatasan pada mobil pribadi berdasarkan kapasitas mesin. "Surat keputusannya mudah, pelaksanaannya yang sulit," katanya ketika ditemui di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan.

Kebijakan itu berpotensi memantik konflik. "Misalnya mobil kapasitas 1.500 cc dilarang. Padahal tak ada yang berkapasitas seperti itu, yang ada kapasitas 1.490 cc. Nanti ribut di lapangan," ujar Jero, yang menampik pemerintah batal menjalankan kebijakan itu.

Berbeda dengan Jero, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi Evita Legowo yakin pembatasan menurut kapasitas mobil tetap berlaku pada Mei. Menurut Evita, keputusan pembatasan BBM hampir final. Kementerian Energi perlu membicarakan masalah ini dengan instansi lain, seperti Kementerian Perindustrian. Masih perlu 2-3 pertemuan lagi agar tidak terjadi tumpang-tindih aturan.

Setelah diumumkan, pembatasan dilakukan untuk mobil dinas pemerintah dan perusahaan pelat merah. Sedangkan pada Agustus pembatasan berlaku di Jakarta dan sekitarnya serta Jawa-Bali. "Pengalihan dilaksanakan setelah tujuh hari diumumkan," tutur Evita.

Menteri Perindustrian Mohamad Sule­man Hidayat memastikan pembatasan tetap akan dilakukan berdasarkan kapasitas mesin mobil. "Iya, pembatasan akan dilakukan untuk kendaraan roda empat dengan kapasitas 1.500 cc ke atas," ujarnya.

Adapun Menteri Keuangan Agus Martowardojo berharap rencana pembatasan Premium segera diumumkan. Kalau dibiarkan berlarut-larut, subsidi makin membengkak. "Ada simulasi, subsidi bertambah Rp 5 triliun setiap penundaan satu bulan,"katanya.

Menurut dia, pemerintah tetap menghindari defisit anggaran lebih dari 2,23 persen. Penjualan mobil dan sepeda motor terus melonjak sehingga kuota Premium bisa jebol. "Tahun lalu saja membengkak hingga 41,73 juta kiloliter," ucapnya.

Kurtubi menyarankan pemerintah tak perlu pusing memikirkan rencana pembatasan. Lebih baik sigap mempercepat pembangunan infrastruktur bahan bakar gas. "Targetkan dalam enam bulan angkutan umum memakai gas," katanya.

Pemerintah, kata dia, tak perlu khawatir dengan sumber gas. Sebab, produksi lapangan gas alam cair Tangguh di Teluk Bintuni, Papua, ada yang menganggur. "Gas yang tadinya untuk Amerika Serikat belum dikirim, itu bisa dipasok ke dalam negeri," ujarnya.

Bobby Chandra, Akbar Tri Kurniawan, Ariyani Kristanti, Rosalina, Sundari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus