Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALUNAN irama seruling memenuhi auditorium Kompleks Tun Abdul Razak (Komtar), Penang, Malaysia. Sekitar 500 tamu—termasuk sastrawan, seniman, dan Ketua Menteri Penang Lim Guan Eng—duduk menyebar di meja-meja bundar menikmati nasi kebuli dan sirop merah. Anwar Ibrahim semestinya hadir (fotonya sudah dipajang besar-besar di panggung), tapi mendadak batal. Ia hanya memberi selamat lewat video pendek yang ditayangkan di layar.
Sabtu malam dua pekan lalu itu, ada perhelatan penting: "Malam Kemuncak Sambutan Ulang Tahun Kelahiran Ke-70 Sasterawan Negara Profesor Emeritus Muhammad Haji Salleh". Ada peluncuran buku puisi baru Salleh, Sehelai Surat Saujana, dan pidato kebudayaan Goenawan Mohamad: Belajar dari Pantun.
Salleh—orang Malaysia biasa memanggilnya "Prof"—adalah sastrawan terkemuka yang dihormati dalam masyarakat sastra Melayu di Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Selain menulis puisi, esai, serta kritik sastra dan budaya, ia menerbitkan majalah Tenggara—jurnal sastra Asia Tenggara. Doktor dari University of Michigan-Ann Arbor, Amerika Serikat, ini kini mengajar di Universiti Sains Malaysia di Penang.
Tema-tema utama puisinya (yang ditulis bilingual: bahasa Melayu dan Inggris) banyak berkisar tentang konflik antara kota dan desa, antara Malaysia dan budaya Barat. Sajak-sajaknya kerap kali bersumber dari mitos dan legenda dalam tradisi lisan Melayu.
Sastrawan Nirwan Dewanto, yang juga hadir di Penang malam itu, menyebutkan dua keunggulan Prof Salleh dibandingkan dengan penyair Malaysia lainnya. Pertama, Salleh menggunakan langgam dan kosakata bahasa Melayu dengan cara yang modern. Berbeda dengan penyair Malaysia yang umumnya berpegang pada langgam Melayu lama. Kedua, Salleh adalah akademikus yang banyak meneliti khazanah sastra Melayu, seperti pantun dan peribahasa. "Tulisan-tulisannya dapat dijadikan referensi sastra Melayu, di Malaysia ataupun Indonesia," katanya.
Memang, kata Nirwan, banyak juga penyair Indonesia—khususnya di Riau dan Sumatera Barat—yang terus-menerus menggali langgam Melayu lewat pantun dan peribahasa. Namun kelebihan Salleh adalah kerajinannya menulis dengan kualitas terjaga selama puluhan tahun. Hingga kini, ia sudah menerbitkan puluhan buku, antara lain Pulang Si Tenggang (1942 dan diterbitkan lagi 2010), Sajak-sajak Sejarah Melayu (1981), dan Kalau Aku dan Maka (1988). Ia juga menerjemahkan Hikayat Hang Tuah ke bahasa Inggris.
Goenawan Mohamad memuji pantun-pantun Salleh yang "segar, orisinal—walaupun tiap kata persis sama". Salah satu pantun Muhammad Haji Salleh yang dimuat dalam buku Sajak-Sajak Sejarah Melayu berjudul Ceretera ke Sembilan, misalnya demikian:
telur itik dari senggora,
pandan terletak dilangkahi
darahnya titik di singapura
badannya terlantar di langkawi
Salleh sendiri mengatakan sastra adalah inti suatu kebudayaan. "Bagaimana kita tahu kebudayaan suatu bangsa jika tiada yang menuliskannya?" katanya. Sajak-sajak yang terhimpun di kumpulan terbaru, Sehelai Surat Sujana, banyak merenungkan masalah manusia modern yang menjauhi alam. Seperti yang satu ini, yang mencatat hilangnya hutan:
maut tiba di hujung gigit gergaji
dan jerit yang menyerampang matahari...
rebahlah sekeluarga pohon yang berusia kurun
rebahlah segala yang indah dan bernaung bayang....
Andari Karina Anom (Penang, Malaysia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo