Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MODUS ANOMALI
Sutradara dan skenario: Joko Anwar
Pemain: Rio Dewanto, Hannah Alrashid, Surya Saputra, Marsha Timothy, Izzy Isman, Aridh Tritama, Jose Gamo, Sadha Triyudha
Produksi: Lifelike Pictures
Joko Anwar adalah nama unik dalam kumpulan menagerie sinema Indonesia Baru (ini sebutan bagi para sineas yang melahirkan karya setelah tahun 1998). Setelah Garin Nugroho pada awal 1990-an, lalu ada nama-nama Nan Achnas, Riri Riza, Nia DiNata, Rudi Soedjarwo, yang kemudian disusul oleh Hanung Bramantyo, Edwin, dan Joko Anwar, yang masing-masing memiliki sidik jari yang sudah dikenal penonton setianya. Sidik jari Joko Anwar adalah meneror penonton.
Modus Anomali dimulai dengan sebuah hutan di antah berantah yang memperlihatkan cahaya matahari yang meliuk di antara ratusan pohon pinus. Tetesan embun yang mengalir di atas daun hijau yang menjadi rumah belalang sembah, salamander, dan laba-laba itu seperti ingin memberikan rasa sejuk untuk ala kadarnya. Hanya beberapa detik. Tiba-tiba sebuah tangan muncul dari bawah tanah. Tak lama kemudian, tubuh dan kepalanya yang dilumuri tanah bersusah payah keluar dari permukaan kuburan. Sang lelaki (diperankan Rio Dewanto) tampaknya dikubur hidup-hidup. Celakanya, dia tak tahu siapa dirinya dan di hutan manakah dia terdampar.
Selanjutnya, Joko Anwar terus-menerus membangun teka-teki dan beberapa cuplikan serta kode agar penonton menyimpulkan sendiri. Lelaki itu menemukan sebuah gubuk dengan televisi yang menayangkan rekaman video istri dan anak-anaknya; dia menemukan jenazah di sana-sini dan genangan darah, pisau, dan parang. Dalam perjalanannya mencari keluarganya dan identitas dirinya, beberapa kali dia diburu anak panah. Tertatih-tatih dengan tubuh terluka, dia masih saja menyusuri hutan mencari diri. Hingga akhir babak kedua, kita masih juga tak tahu kegilaan apa yang sedang dihadapi sang lelaki. Yang kita tahu, dalam kegelisahan dan ketakutan sang lelaki yang malang itu, kita terteror berkali-kali oleh hutan yang lebih mirip neraka itu.
Film yang sepenuhnya mengandalkan suspens dan kepandaian menjalin cerita ini mengirim rasa tak nyaman seperti dalam film Funny Games (Michael Haneke, 1997 dan 2007, versi Austria dan Hollywood) dan The Game (David Fincher, 1997). Ada elemen permainan dan mempermainkan hidup orang lain; ada keinginan menjadi dalang dan nafsu menguasai nyawa, dan yang paling meneror adalah kenikmatan menyiksa dan membunuh terus-menerus.
Tapi Joko tak ingin membentangkan cerita yang jelas seperti halnya film Funny ÂGames, yang sudah menentukan karakter hitam dan putih sejak awal. Dalam film Modus Anomali, kita justru bolak-balik menebak dan tak pernah tahu siapa penjahat dan siapa korban. Warna hitam dan putih hanya baru terlihat pada babak akhir film. Setiap kode dan tanda yang sengaja diletakkan di beberapa bagian terkadang membantu kita menjalin keping, tapi tak jarang malah menyesatkan.
Persoalannya, seberapa jauh penonton bisa sabar untuk menebak dan dengan tekun mengumpulkan segala kode dan keping teka-teki yang ditebarkan Joko. Meski durasi hanya 87 menit, menyajikan sebuah film yang mengandalkan satu aktor, seberapa pun gantengnya dia, adalah sebuah tantangan berat (bagi sutradara, aktor, dan penontonnya). Pada saat kamera yang dipegang Gunnar Nimpuno terus-menerus menyorot sang lelaki yang berlari ketakutan, tersengal-sengal, kebingungan akan identitas diri lantas terjengkang lagi, Joko sengaja menginginkan penonton berada di tengah hutan (dengan tata bunyi yang luar biasa), ikut menderita dan turut merasakan sakit tokoh yang diperankan Rio Dewanto itu. Repetisi dan adegan yang berkepanjangan itu bisa melelahkan, meski kita tahu, semua sudah diperhitungkan oleh sang sutradara.
Babak ketiga adalah saat Joko mengayunkan kapak terornya. Babak inilah—saat lagu Bogor Biru dari kelompok Sore mengalun—adalah saat di mana Joko mengusap-usap seluruh luka dengan air cuka. Justru ketika seluruh kepingan itu lantas berpasang-pasangan dengan serasi, ketika sosok Rio Dewanto dan para pemain pendukung lainnya menjadi sosok yang jelas posisinya, saat yang temaram menjadi terang, kita malah gelagapan. Meski Joko tak perlu menampilkan adegan kilas balik, kita segera bisa menautkan semua kode dan kepingan itu dengan berat hati. Benarkah Joko sekeji itu terhadap tokoh-tokoh ciptaannya? Itulah sebabnya Joko adalah sineas yang unik di antara menagerie sinema Indonesia masa kini. Dia tak berniat membuat penonton bernyaman hati.
Leila S. Chudori
Di Balik Pepohonan Pinus Itu
November 2011
Hutan wisata Gunung Pancar di kawasan Sentul tiba-tiba saja menjadi sebuah hutan yang magis. Pepohonan pinus yang begitu tinggi menggapai langit dihiasi 25 buah lampion. Dari beberapa arah, sutradara Joko Anwar meminta asap buatan agar mengirim rasa asing dan kelabu. Sore itu, sutradara Joko Anwar tengah mempersiapkan beberapa adegan film Modus Anomali sebelum matahari menghilang.
"Ini adalah syuting hari terakhir," kata produser Sheila Timothy. Para pemain yang sudah menyelesaikan adegan syuting, seperti Surya Saputra, masih ikut duduk-duduk bersama kru untuk ikut merayakan wrap party (pesta hari akhir). Sebelumnya, menurut Surya, mereka terlibat dalam adegan yang penuh darah. Kini mereka mempersiapkan beberapa adegan akhir yang hanya menampilkan Rio Dewanto.
Joko bercerita bahwa film sepanjang 87 menit ini hampir semuanya menampilkan Rio Dewanto di dalam hutan. "Pemain-pemain lain juga penting, tapi Rio adalah tokoh yang membawa emosi film ini dari awal hingga akhir," kata Joko.
Ini adalah film layar lebar Joko yang keempat setelah Janji Joni (2005), Kala (2007), dan Pintu Terlarang (2008). Dua di antaranya terpilih sebagai Film Terbaik Versi Tempo, yakni Janji Joni dan Pintu Terlarang. Untuk ukuran sineas Indonesia, Joko termasuk sineas yang tidak produktif. "Mungkin karena itu saya tidak bisa kaya," katanya. Tentu saja Joko juga menulis skenario yang disutradarai orang lain, seperti Arisan! (2003), Jakarta Undercover (2007), dan Fiksi (2008), dan sempat melahirkan pertunjukan musikal Onrop (2010). Di antara itu, ia membuat iklan atau muncul sebagai cameo di beberapa film yang disutradarai kawan-kawannya. Tapi cintanya yang sejati hanyalah untuk menyutradarai film. Bagi Joko, seperti juga para sineas lain yang memiliki sidik jari yang khas dalam film-filmnya, tak mudah mencari produser yang cocok dengan keinginannya. Jika dia tak berjodoh dengan investor yang mampu memahami visinya untuk membuat film, Joko memilih menunda kelahiran filmnya daripada harus ikut-ikutan pasar. Kali ini adalah kolaborasinya yang kedua dengan Sheila Timothy dari Lifelike Pictures setelah Pintu Terlarang. Sheila mengaku tertarik bekerja sama lagi dengan Joko karena, "Cara Joko berkisah dalam film itu orisinal," katanya.
Film Modus Anomali, menurut Joko, diawali dengan sebuah program bernama Network of Asian Fantastic Films (NAFF), yang diselenggarakan Puchon International Fantastic Film Festival. "Ini adalah medium bertemunya para Âsineas dengan investor dan distributor," kata Joko.
Dengan semangat, Joko menulis skenario Modus Anomali, yang menurut pengakuannya "sudah melekat di kepala sejak 2006". Ditulis dalam bahasa Inggris karena naskah tersebut memang diikutsertakan dalam ajang internasional NAFF. Tapi Joko mengakui keputusannya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar karena kebutuhan cerita. "Saya sengaja ingin menampilkan sebuah rasa keterasingan, the feel of unknown...," kata Joko.
Dalam ajang itu, skenario Modus Anomali menang Bucheon Award for Most Outstanding Project dengan hadiah US$ 10 ribu (Rp 92 juta) untuk modal awal pembuatan film. "Tapi Sheila dan saya memutuskan untuk mencari investor di dalam negeri saja supaya tidak ribet."
MENURUT produser Sheila Timothy, seluruh anggaran film Modus Anomali sebesar Rp 4 miliar terhitung rendah dibanding film-film umumnya, termasuk produksi pertamanya, Pintu Terlarang, yang mencapai Rp 7 miliar. Dengan anggaran terbatas, Joko mengaku "justru tertantang". Misalnya dia meminta penata artistik Wencislaus menggantung 25 lampion di hutan Gunung Pancar untuk pengganti lighting sebagai bagian dari penyiasatan dana. Tapi efek cahaya lampion yang digantung sepanjang jalan setapak yang dilalui aktor Rio Dewanto itu justru magis. Sinar yang terburai-burai di antara pepohonan itu malah membuat visual menjadi artistik.
Mereka yang pernah bekerja sama dengan Joko tahu betul, Joko sangat terperinci dan teliti dalam mengatur adegan. Binatang-binatang yang muncul sebagai bagian dari ekosistem itu sudah tergambar di benaknya. "Kecuali laba-laba yang sudah banyak di hutan itu, kami membawa semua binatang dari Jakarta: lady bug, belalang sembah, dan salamander...," kata Joko tertawa.
Sore itu Joko mengawasi kru dan tim penata artistik yang tengah menggali sebuah lubang di tengah hutan sembari berkali-kali berbincang dengan Gunnar Nimpuno sebagai DOP (director of photography). Rio sudah siap mengenakan sepasang baju training biru dan masuk ke dalam karakternya. "Dia adalah aktor yang berbakat, rendah hati, dan sama sekali tidak manja. Saya senang aktor yang tidak bertingkah seperti diva," kata Joko memuji-muji pemain utamanya. Joko memberi pengarahan kepada Rio sembari bolak-balik memastikan kuping dan hidungnya ditutup, agar jangan sampai ada tanah yang mengalir masuk saat adegan direkam.
"Siap, sound..., camera..., action."
Rio menjatuhkan diri ke dalam lubang dan, bersamaan dengan itu, sekarung tanah meluncur menutupi tubuh dan wajahnya. Ini rekaman adegan paling sinting. Tidak ada darah. Tapi terasa ada kekejian karena tanah itu seperti menyumbat sebatang nyawa.
"Cut!"
Seluruh kru buru-buru mengangkut Rio dari timbunan tanah sembari tertawa-tawa seolah-olah adegan tadi bukan adegan horor. Adegan itu diulang sekali lagi hingga Joko merasa proporsinya tepat. Dan, akhirnya, kata-kata yang ditunggu seluruh kru itu keluar juga dari mulut sang sutradara, "It’s a wrap!"
Hutan pinus itu pun meledak oleh tepuk tangan dan sorak gembira. Satu film sudah selesai. Dan selanjutnya adalah perjalanan panjang menemui para penontonnya.
LSC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo