GUDANG Garam dan Djarum lagi-lagi terpukul. Baik cukai atas sigaret kretek tangan (SKT) maupun mesin (SKM) pokoknya yang diproduksi oleh pabrik besar per 1 April 1993, ditetapkan lebih tinggi daripada cukai pesaingnya. Tentu saja Gudang Garam dan Djarum dua terbesar dalam kerajaan kretek di Indonesia tidak mungkin lagi banting harga demi merebut pangsa pabrik kecil. Berdasarkan SK Menteri Keuangan, harga jual SKT maupun SKM yang diproduksi raja kretek ini naik menjadi Rp 60 dan Rp 65 per batang. Sedangkan rokok buatan kelas menengah besar dan menengah ditentukan lebih murah Rp 15 per batang. Bagi pabrik rokok besar, SK kenaikan harga ini tak ubahnya pukulan penutup, setelah dua tahun terakhir ini mereka terseok- seok digenjot BPPC. Dampaknya bisa dilihat dari angka penjualan pabrik rokok besar. Selama tiga tahun produksi Djarum turun tajam, dari 36,6 miliar batang (1991) menjadi 21,8 miliar (1992). Berarti selama tiga tahun omzet Djarum menukik serendah 42%. Omzet Gudang Garam memang sedikit naik, tapi belum tentu aman. Pabrik rokok besar menengah, seperti Sampoerna dan Bentoel, tampaknya sudah ambil ancang-ancang untuk memanfaatkan kesempatan yang jarang terjadi ini. Sampoerna, misalnya, tahun ini malah tidak akan menaikkan harga eceran SKT-nya. ''Selama ini pun harganya sudah di atas harga eceran minimum,'' kata Direktur Keuangan PT Hanjaya Mandala Sampoerna, Ekadharmajanto Kasih. Maka dari sekarang pihak Sampoerna berani memperkirakan omzet penjualannya tahun ini akan meningkat menjadi 9 miliar batang berarti ada kenaikan 7% dari omzet tahun lalu. Lalu perolehan labanya diperkirakan meningkat 20% menjadi Rp 60 miliar. Bagi Sampoerna, tahun ini memang tahun keberuntungan. Selain tertolong oleh ketentuan harga eceran, pada saat yang sama ia juga dimanjakan oleh tarif cukai baru. Sampoerna yang semula dikenai tarif 15% untuk SKT, kini cukup 12%. Sedangkan untuk rokok SKM, cukainya turun dari 35% menjadi 31%. Dari sini saja, menurut Ekadharmajanto, Sampoerna bisa mengirit cukai Rp 12 miliar. Si besar Djarum justru pusing karena harus menaikkan harga ecerannya. Menurut Wakil Direktur PT Djarum, Budi Santoso, pabriknya terpaksa menaikkan harga SKT dari Rp 550 menjadi Rp 600 per bungkus. Namun kenaikan itu tidak berlaku bagi rokok filternya (SKM) yang sudah di atas harga minimum. ''Kami akan menaikkan harga Mei depan,'' kata Budi. Tapi Djarum tidak gentar. Bahkan ia menetapkan kenaikan omzet penjualan hingga 20%. ''Kami akan genjot pemasaran,'' kata Budi. Tahun ini Djarum juga akan mengeluarkan produk baru, yang diharapkan bisa menjaring konsumen, sekaligus membendung larinya pelanggan ke rokok lain. Bagaimana Gudang Garam? Belum jelas apa rencananya. ''Dampak kenaikan itu memang ada, tapi tidak sama. Rokok kami kan banyak jenisnya,'' kata sumber TEMPO di Gudang Garam. Ketentuan harga baru itu tampaknya bertujuan menolong pabrik rokok kecil. Soalnya, pabrik rokok besar sering dituding serakah karena ikut-ikutan mengerubuti pasar si kecil. ''Makanya harga eceran ini disesuaikan dengan perkembangan produksi pabrik masing-maing,'' kata juru bicara Departemen Keuangan, Bacelius Ruru. Membantu pabrik kecil memang perlu, namun persoalannya: apakah hal itu tidak akan memukul pemerintah sendiri? Tahun 1992, dari Rp 2,29 triliun cukai yang diterima pemerintah, sebagian besar berasal dari pabrik rokok besar, 56% di antaranya hasil perolehan raja kretek Gudang Garam. Bambang Aji, Jalil Hakim, dan Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini