MENTERI Perdagangan Arifin Siregar tampaknya bisa menjadi gembala yang balk bagi para industriwan tekstil. Sabtu dua pekan lalu, ia memadamkan dua api, yang menyebabkan mereka terpaksa keluar dari kandang sejak awal 1986. Pertama, monopoli bahan baku industri pemintalan (serat kapas, staple poliester, dan rayon viskosa), dan iuran pungutan ekspor tekstil. Keputusannya yang tertuang dalam SK No. 165/Kp/VI/88 itu, tampaknya, merupakan tanggapan atas keluhan FITI (Federasi Industri Tekstil Indonesia). Awal Mei lalu, FITI menghadap Menteri Perdagangan Arifin Siregar, dan menyampaikan beberapa keluhan tentang hal-hal yang menyebabkan mereka belum bisa tenang. Keluhannya menyangkut masalah monopoli dan iuran pungutan itu tadi (TEMPO, 14 Mei 1988). Adanya pungutan-pungutan ekspor tekstil dan monopoli serat, sebenarnya, lahir dari kalangan industriwan tekstil sendiri, yakni API (Asosiasi Pertekstilan Indonesfa). API membentuk PT CBTI dan melakukan pungutan-pungutan, yang didukung menterl perdagangan terdahulu, dengan beberapa surat keputusan. Alasan API tampaknya memang bagus: menghimpun dana untuk membantu ekspor tekstil - sebagai pengganti fasilitas sertifikat ekspor dan kredit ckspor - dan juga untuk melakukan restrukturisasi industri tekstil. Kenyataannya kok lain. Iuran-iuran ekspor itu malah menjadi penghambat kegiatanusaha dan ekspor. Sebab, para eksportir belum bisa mendapatkan lampu hijau ekspor dari Kanwil Perdagangan jika belum menunjukkan bukti-bukti setoran ke API. Untuk mendapatkan bahan baku, para industri pemintalan pun diharuskan membayar semacam komisi kepada PT CBTI. Protes-protes dari kalangan pengusaha tekstil, mulai dari industri hulu pemintalan (Sekbertal) sampai di industri hilir produsen eksportir pakaian jadi (Sekberpak), menyebabkan hak monopoli CBTI dan iuran-iuran untuk API kemudian dibekukan sementara oleh Menteri Perdagangan Rachmat Saleh. Tapi pembekuan itu rupanya belum cukup menenteramkan mereka, apalagi untuk kembali ke pabriknya masing-masing dengan tenang. Setelah keluhan FITI dipelajari, keluarlah keputusan Menteri Perdagangan tanggal 10 Juni 1988 itu. Di situ jelas disebutkan: dalam rangka efisiensi industri tekstil pada umumnya, khususnya industri pemintalan. Akan halnya permintaan pertanggungjawaban iuran-iuran, Menteri Perdagangan Arifin Siregar mengembalikannya kepada kalangan industriwan untuk diselesaikan sendiri. Sebab, "Penerimaan dan penggunaan iuran ekspor tekstil dan produk tekstil itu sepenuhnya masalah API," demikian alasan yang diumumkan Departemen Perdagangan, dalam siaran pers yang dibagikan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Bakir Hasan, dan Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kumhal Djamil. H. Aminuddin, salah satu pimpinan FITI, menyambut baik keputusan 10 Juni 1988 dari Menteri Perdagangan itu. "Kami lega. Suasana ketidakpastian terhadap kemungkinan hidupnya kembali cara-cara monopoli melalui proyek API itu kini jadi hilang," ujarnya. Namun, ia berpendapat Departemen Perdagangan perlu juga memintakan audit atas pungutan-pungutan API. Menurut Aminuddin, "Permintaan audit itu tidak akan merugikan Departemen Perdagangan. Bahkan akan mengembalikan wibawa". Sebab, kesannya selama ini, "API telah memakai wibawa Departemen Perdagangan." Dua hari setelah keputusan dari Arifin Siregar, para pengurus API berkumpul di DPR, Senin lalu. Ternyata, organisasi itu mendapatkan kehormatan pertama dari DPR, untuk didengarkan pendapatnya dalam rangka persiapan pelaksanaan GBHN Repelita V mendatang. Kalau ada masyarakat yang ingin melihat pertanggungjawaban pungutan-punguta itu, "silakan lihat ke kantor API," kata Ketua API Frans Seda. Namun, diakuinya juga bahwa restrukturisasi yang direncanakan API, dengan memungut iuran ekspor tekstil, sejauh ini belum bisa dijalankan "Masih menunggu kebijaksanaan pemerintah, apakah kita boleh mengimpor mesin-mesin bekas," kata Seda, tenang. M.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini