ADALAH mengejutkan ketika PT Plaza Indonesia Realty (PIR) mengumumkan niatnya untuk go public, sementara perdagangan saham di Bursa Efek Jakarta dan Surabaya masih tetap lesu. Bahkan, prospektus ringkas Plaza Indonesia sudah dimuat di beberapa surat kabar terbitan Jakarta dan masa penawarannya berakhir Senin pekan ini. Penawaran 35 juta lembar saham dengan harga Rp 4.950 per saham tersebut diputuskan dalam rapat umum luar biasa pemegang saham (RUPS) 11 Februari silam. Para pemegang saham -- PT Bimantara Citra (40%), PT Supra Veritas (Sinar Mas Group, 25%), PT Ometraco (25%), dan PT Dana Suara Utama (Rajawali Group, 10%) sebelumnya sudah meningkatkan modal dasar perseroan, dari semula Rp 150 milyar menjadi Rp 300 milyar, dengan nilai nominal Rp 1.000. Setelah go public, persentase pemilikan saham menjadi: masyarakat 30,4%, Bimantara 27,8%, Supra Veritas 17,4%, Ometraco 17,4%, dan Dana Suara 7,4%. Dewasa ini, PIR adalah satu-satunya perusahaan berafiliasi ke Bimantara Citra yang go public. Keputusan untuk menjual saham ke masyarakat itu tak lain didorong kebutuhan untuk membayar utang. Hal ini diungkapkan Boyke Ghozali, salah seorang direktur PIR. Perusahaan yang berdiri sejak 1984 dan beroperasi mulai 1985 ini memikul utang jangka panjang (8-12 tahun) per 1991 sebanyak Rp 389,79 milyar dan utang jangka pendek (harus dilunasi dalam jangka kurang dari setahun) Rp 14,9 milyar. Penjualan 35 juta saham kepada masyarakat akan menghasilkan dana Rp 173,5 milyar. Menurut Ghozali, sekitar 90% dana murah yang terkumpul akan digunakan untuk membayar utang. Sisanya untuk memperkuat struktur modal. Ghozali menjanjikan bahwa jika pada tahun ini perusahaan memperoleh laba bersih di atas Rp 30 milyar, dividen yang akan dibagikan adalah 30% dari keuntungan bersih itu. Namun, jika laba kurang dari Rp 30 milyar, dividen yang dibagikan hanya 20% dari nilai itu. Tampaknya, alternatif kedua yang bakal terwujud, mengingat manajemen PIR menargetkan laba bersih tahun ini "hanya" Rp 22,9 milyar (dari pendapatan Rp 122,891 milyar). Kembali ke masalah go public, sumber TEMPO di salah satu penjamin emisi mengatakan bahwa 60% dari saham Plaza Indonesia kini sudah bisa dipastikan pembelinya. Ini berarti, saham yang dilempar kepada masyarakat tinggal 40%. Belum lagi minat dari beberapa investor di Hong Kong, Singapura, dan AS. Bahwa saham sudah 60% terjual sebelum diterbitkan di bursa, tentu sangat menarik. Lebih menarik lagi bahwa dua BUMN, yakni Astek dan Taspen dikabarkan akan memborong saham yang 60% itu. Memang, kedua BUMN ini kaya dan sanggup menyimpan dana besar (dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia) di Bank Sentral, masing-masing Rp 490 milyar (Astek) dan Rp 4,2 trilyun (PT Taspen). Namun, adakah dana tidur itu akan dicairkan sebesar Rp 104,1 milyar (60% dari Rp 173,5 milyar) untuk membeli saham PIR, masih merupakan tanda tanya. Konfirmasi tentang ini dari kedua BUMN tersebut ataupun Menteri Keuangan Sumarlin belum diperoleh. Apapun "kiat" yang akan dimainkan Plaza Indonesia Realty, tampaknya hampir pasti mendatangkan kemujuran. Dahulu, ketika membangun dan harus mendatangkan sejumlah barang modal dari mancanegara, Plaza Indonesia memperoleh keringanan pajak impor (kabarnya malah bebas pajak). Ketika sudah beroperasi selama lima tahun dan memperoleh laba Rp 4,198 milyar, pajak yang dibayarnya Rp 0. Pada tahun 1991, dalam laporan keuangannya tak ada angka yang menunjukkan jumlah pembayaran pajak. Hanya pada 1989 Plaza Indonesia mencatat pembayaran pajak sebesar Rp 4 juta. Jadi, selalu mujur. Nanti, kalau semua sahamnya terjual habis, mayoritas fee dari hasil penjualan itu pun tidak akan lari ke mana-mana. Mengapa? Salah satu perusahaan pelaksana emisi (PT Jardine Fleming Nusantara) merupakan perusahaan yang berafiliasi ke Plaza Indonesia. Seperti diketahui, Peter Sondakh dan Boyke Ghozali -- keduanya direktur PIR masing-masing adalah presiden komisaris dan komisaris PT Jardine Fleming Nusantara. Kemudian, dari empat penjamin emisi (PT G.K. Goh Ometraco, PT OCBC Sikap Securities, PT Makindo Securities, PT Sinar Mas Eka Graha), dua di antaranya mempunyai hubungan dengan emiten. PT Ometraco, salah satu pemegang saham PIR, adalah pemilik 15% saham PT Goh Ometraco. PT Supra Veritas, juga memiliki 50% saham PT Sinar Mas Eka Graha. Kendati digayut utang, bisnis Plaza Indonesia tampak lancar. Pada tahun 1989, para penyewa toko sudah melunasi 30% dari ongkos sewa sebagai uang muka, sedangkan yang 70% dicicil selama tiga tahun. Jika yang 30% itu didepositokan, perolehannya dapat masuk sebagai laba. Terhitung sejak 1990, 90% ruangan pertokoannya pun sudah tersewa. Keuntungan hotel mewah yang berlokasi di Plaza Indonesia juga diproyeksikan naik terus. Tingkat huniannya rata-rata 73% per tahun. Pokoknya, kata Boyke Ghozali, "Masa depan hotel bintang lima dan pusat pertokoan mewah di Indonesia tetap cerah." Hasil penilaian PT Artanila Permai (asosiasi dengan Jones Lang Wootton) Januari 1992 menyebutkan bahwa nilai Plaza Indonesia Realty total US$ 465 juta. Apakah pada 25 Mei depan saham PIR akan mengalami oversubscribed alias kelebihan permintaan? Belum tentu. Banyak faktor yang akan memengaruhi proses go public, seperti juga banyak hal yang akan menentukan harga sahamnya nanti, setelah pencatatan di bursa 15 Juni depan. Becermin pada pengalaman yang sudahsudah, perkembangan harga saham di negeri ini tidak melulu ditentukan oleh kalkulasi atau informasi dari pihak emiten. Mohamad Cholid dan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini