ANDA mau menjadi importir film? Pertanyaan ini dilontarkan sambil berkelakar oleh Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film, Alex Leo Zulkarnain, kepada TEMPO dua pekan lalu. Departemen Penerangan memang tengah mempersiapkan dua izin baru, yang terbuka untuk mereka yang berminat menjadi importir film Amerika. Kedua izin tersebut merupakan dampak dari perjanjian perdagangan internasional yang diteken Menteri Perdagangan Arifin Siregar dan Duta Besar Amerika Serikat John Monjo, 8 Mei lalu, di Jakarta. Inti kesepakatan ArifinwMonjo itu ada dua. Pertama, pemerintah Amerika akan memberikan tambahan kuota ekspor tekstil dan produk tekstil (ETPT) rata-rata 35%. Sebaliknya (ini yang kedua), pemerintah RI harus segera menambah dua perusahaan importir film dan tiga importir video. Soal izin impor film dan video adalah wewenang Departemen Penerangan. Sehari sebelum kesepakatan Arifin-Monjo diteken, Direktur Jenderal Alex Leo ternyata sudah menunjuk tiga importir video. Mereka adalah PT Primera Multi Video, PT Kreasivideo Hedkuarter Mas, dan PT Tobana Mustika Film & Video. Tapi, dua izin baru untuk importir film Amerika membutuhkan proses lama. "Kita mengejar waktu. Tapi, tak mungkin tahun ini juga," ujar Alex. Sebagian besar kalangan pengusaha bioskop dan industri perfilman di Indonesia menduga, jika kedua izin itu turun, tak mungkin terlempar jauh dari kelompok berlogo "D" milik Sudwikatmono. Masalahnya, Pak Dwi sudah merajai film impor sekaligus menguasai jaringan bioskop. Padahal, dari 3.000 bioskop yang ada di Indonesia, cuma 25% bernaung di bawah kelompok "D" yang terkenal dengan sinepleks 21. Tapi sebagai importir merangkap pemilik bioskop, Sudwikatmono leluasa mendikte pemasaran film. Tak jarang, bioskop memutar film impor loakan yang tak bermutu, sementara filmfilm Indonesia pun tidak mendapat perlakuan terhormat di kelompok 21. Bila kini industri film nasional mengalami lesu berat, sebagian penyebabnya di situ. "Sebelum ini rata-rata produksi film nasional 60 judul per tahun. Bisa Anda bayangkan bahwa tahun 1992 ini, baru delapan film yang dibuat," kata Eros Djarot, seorang produser film nasional. Ia tak bisa menerima kalau dikatakan film Indonesia tak bisa bersaing dengan film impor. "Masalahnya, kita disuruh bersaing, tapi larangannya terlalu banyak," tutur sutradara film Tjoet Nyak Dien itu. Tampaknya Pemerintah ingin meredam kritik. Mungkin karena itu, dua calon importir film akan dikenakan syarat, "Dia harus mampu memasok film-film yang baik, mampu mengedarkannya, dan jangan sampai menggencet film produksi nasional," ujar Alex tegas. Mungkinkah kedua izin akan jatuh lagi pada kelompok 21? "Yaaa, lihat-lihat dululah perkembangannya. Kita harus hati-hati dengan orang Amerika. Sekarang dia minta ini, nanti minta itu, dan akhirnya minta semua," Alex bicara ketus. Semua kerepotan di sektor film itu merupakan harga yang harus dibayar pihak Indonesia untuk perjanjian tekstil Arifin-Monjo. Indonesia akan mendapatkan tambahan kuota ekspor tekstil rata-rata 35%. "Ini menyangkut 120 kategori ETPT, mulai dari benang katun (kategori 300) sampai dengan jas wool (kategori 433)," kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Kamarulzaman Algamar. Secara makro, tambahan 35% berarti bonus pemasukan devisa sekitar US$ 245 juta yang bisa dianggap besar, mengingat sejak dua tahun lalu, tambahan itu cuma 6% per tahun. Max Wangkar, G. Sugrahetty Dyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini