Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mencetak Sawah Itu Sulit

Pencetakan sawah baru digalakkan, ada petani yang enggan di Tasikmalaya, ada yang gagal & terbengkalai di Pinongsari, Tapanuli Tengah, 4 kecamatan Karawang gagal, desa Tanjungharjo mencetak sawah sendiri.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA petani Desa Pinangsori II merasa tertipu. Sekitar 300 hektar kebun sayur dan buah-buahan mereka hancur dibabat. Rencananya di bekas kebun mereka akan dicetak sawah baru. Tapi lahan yang dimaksud tak kunjung jadi. Padahal sebelumnya mereka hidup senang dari hasil kebun mereka berupa pisang, durian, mangga, kelapa, kopi, cengkih, jengkol, petai, singkong dan sayur-mayur. Tapi sekarang, sebagian besar dari 260 keluarga penduduk Desa Pinangsori 11, 35 km dari Sibolga di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara itu tak lagi dapat memetik buah-buahan dan sayur-mayur mereka. Sebagian kini terpaksa menjadi buruh pembangunan irigasi atau pembuatan jalan. Anehnya tak seorang pun yang mengadukan halnya kepada kepala desa atau bupati. Barangkali mereka takut, sebab sekitar 30% di antaranya pernah menjadi anggota BTI/PKI, meski hanya ikut-ikutan saja. Pencetakan sawah baru yang terbengkalai itu mula-mula ditawarkan Desember tahun lalu. Mula-mula para petani menolak, sebab mereka merasa sudah cukup bahagia dengan hasil kebun mereka. Tapi, setelah beberapa petugas mengancam akan mengalihkan pemilikan kebun itu kepada orang lain, mereka terpaksa menyetujuinya. "Soalnya para petani juga menyadari, ini tanah konsesi yang digarap sejak 1958," kata Kalimun, salah seorang petani itu. Dalam perjanjian antara petani dan pelaksana proyek antara lain disebutkan bahwa pencetakan sawah baru itu kelak berupa sawah siap tanam--lengkap dengan irigasinya. Selain itu juga akan diberikan sertifikat. Tapi sampai ketika pemborongnya meninggalkan proyek tersebut, Agustus lalu, pencetakan sawah belum selesai. Lahan terbengkalai itu penuh dengan tunggul-tunggul kayu tebangan. Irigasi juga belum rampung. Kepala Unit Pelaksana Proyek Pencetakan Sawah Tapanuli Tengah, Ir. S. Tarigan, tak mau proyeknya disebut gagal. Diakuinya, dari target 485 hektar yang harus dicetak, baru 150 hektar di Pinangsori itu yang diselesaikan. Hal itu antara lain karena kurang dana. "Mana mungkin mencetak sawah dengan biaya Rp 340.000/ha. Bandingkan dengan pencetakan sawah di Labuhan Batu, Sumatera Utara, yang biayanya Rp 1,2 juta/ha," kata Tarigan. Tapi mengapa irigasinya juga belum selesai? Tarigan menyatakan "Itu tanggung jawab PU." Tapi menurut Kepala PU Seksi Pengairan Tapanuli Tengah, Laung Sibarani, irigasi di desa tersebut --sesuai dengan jadwal--baru akan selesai Desember kelak. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, juga ada kasus yang serupa dengan Pinangsori. Petani sejak semula enggan kebunnya dicetak menjadi sawah baru. Sebab selama ini sudah menghasilkan salak yang sangat menguntungkan. "Camat Tasik sendiri juga mcnolaknya. Dan kalau petani menolak, kita mau apa?" ujar Pimpinan Proyek Perluasan Areal Pertanian Departemen Pertanian Ir. Otje S.P. Bratamid]aja. Barangkali itu pula sebabnya dalam sidang kabinet awal bulan ini Presiden minta agar tanaman hortikultura lehih diperhatikan. Sementara itu di Jawa Barat juga, pencetakan sawah ribuan ha sawah baru di empat kecamatan Kabupaten Karawang dikhawatirkan gagal. "Hal itu karena kurang koordinasi dan penelitian yang menyeluruh," kata R. Macklin Purawinekas, Kerua Tim Asistensi HKTI Jawa Barat. Sawah-sawah tersebut merupakan bekas sawah bera di pesisir utara Jawa Barat yang setiap tahun tergenang air. H. Ahmad Ghozali, Ka. Humas Pemda Karawang, membantah proyek rehabilitasi sawah bera itu gagal. Tahun 1979/1980 berhasil direhahihtasi sawah bera seluas 2.000 hektar dan tahun berikutnya 4.500 ha. Tapi pihak Pemda Kabupaten tidak membantah keterlambatan pengerjaannya. Sebab di antara ribuan sawah-sawah itu ada yang tidak jelas statusnya. Ada pula yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Padahal untuk merehabilitasi tanah tersebut harus diketahui jelas siapa pemiliknya. Usaha mencetak sawah baru biasanya selalu dibantu dengan kredit dari pemerintah. Tapi di Desa Tanjungharjo, Kabupaten Kulon Progo, di Daerah Istimewa Yogyakarta, para petani berusaha mencetak sendiri sawah baru di atas tanah berbukit dan berbatu-batu itu. Terutama sejak 1975, ketika irigasi Sungai Kalibawang di Kulon Progo mulai berfungsi. "Meskipun belum ada kredit, pencetakan sawah jalan terus. Dan 5 tahun lagi mungkin bisa mencapai 100 hektar," kata Hardjopawiro, Kepala Bagian Kemakmuran Desa Tanjungharjo. Para petani di lereng Pegunungan menoreh itu tampaknya tidak mudah putus asa. Misalnya Dalimin yang menggarap sawah 5.000 meter persegi. Ia berusaha menggarap sawah dengan meminjam uang Rp 200.000 dari pamannya. Sejak 3 tahun lalu Dalimin sudah panen empat kali. Irigasi memang merupakan syarat utama bagi pencetakan sawah baru. Irigasi Lodagung (Lodoyo - Tulungagung) yang berasal dari waduk Karangkates dan Wlingi di Jawa Timur juga memungkinkan pencetakan sawah baru sejak 1979 di Tulungagung dan Blitar. Daerah timur dan selatan Tulungagung dulu sangat kritis. "Tapi sampai bulan lalu sudah dicetak 1.500 hektar sawah baru untuk 4.000 petani," kata seorang petugas Dinas Pertanian Tulungagung. Kini sudah banyak petani yang meninggalkan kebiasaan makan gaplek. Mereka sudah bisa panen dua kali setahun ditambah panen palawija sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus