PARA petani Desa Pinangsori II merasa tertipu. Sekitar 300
hektar kebun sayur dan buah-buahan mereka hancur dibabat.
Rencananya di bekas kebun mereka akan dicetak sawah baru. Tapi
lahan yang dimaksud tak kunjung jadi. Padahal sebelumnya mereka
hidup senang dari hasil kebun mereka berupa pisang, durian,
mangga, kelapa, kopi, cengkih, jengkol, petai, singkong dan
sayur-mayur.
Tapi sekarang, sebagian besar dari 260 keluarga penduduk Desa
Pinangsori 11, 35 km dari Sibolga di Tapanuli Tengah, Sumatera
Utara itu tak lagi dapat memetik buah-buahan dan sayur-mayur
mereka. Sebagian kini terpaksa menjadi buruh pembangunan irigasi
atau pembuatan jalan. Anehnya tak seorang pun yang mengadukan
halnya kepada kepala desa atau bupati. Barangkali mereka takut,
sebab sekitar 30% di antaranya pernah menjadi anggota BTI/PKI,
meski hanya ikut-ikutan saja.
Pencetakan sawah baru yang terbengkalai itu mula-mula ditawarkan
Desember tahun lalu. Mula-mula para petani menolak, sebab mereka
merasa sudah cukup bahagia dengan hasil kebun mereka. Tapi,
setelah beberapa petugas mengancam akan mengalihkan pemilikan
kebun itu kepada orang lain, mereka terpaksa menyetujuinya.
"Soalnya para petani juga menyadari, ini tanah konsesi yang
digarap sejak 1958," kata Kalimun, salah seorang petani itu.
Dalam perjanjian antara petani dan pelaksana proyek antara lain
disebutkan bahwa pencetakan sawah baru itu kelak berupa sawah
siap tanam--lengkap dengan irigasinya. Selain itu juga akan
diberikan sertifikat. Tapi sampai ketika pemborongnya
meninggalkan proyek tersebut, Agustus lalu, pencetakan sawah
belum selesai. Lahan terbengkalai itu penuh dengan
tunggul-tunggul kayu tebangan. Irigasi juga belum rampung.
Kepala Unit Pelaksana Proyek Pencetakan Sawah Tapanuli Tengah,
Ir. S. Tarigan, tak mau proyeknya disebut gagal. Diakuinya, dari
target 485 hektar yang harus dicetak, baru 150 hektar di
Pinangsori itu yang diselesaikan. Hal itu antara lain karena
kurang dana. "Mana mungkin mencetak sawah dengan biaya Rp
340.000/ha. Bandingkan dengan pencetakan sawah di Labuhan Batu,
Sumatera Utara, yang biayanya Rp 1,2 juta/ha," kata Tarigan.
Tapi mengapa irigasinya juga belum selesai? Tarigan menyatakan
"Itu tanggung jawab PU." Tapi menurut Kepala PU Seksi Pengairan
Tapanuli Tengah, Laung Sibarani, irigasi di desa tersebut
--sesuai dengan jadwal--baru akan selesai Desember kelak.
Di Tasikmalaya, Jawa Barat, juga ada kasus yang serupa dengan
Pinangsori. Petani sejak semula enggan kebunnya dicetak menjadi
sawah baru. Sebab selama ini sudah menghasilkan salak yang
sangat menguntungkan. "Camat Tasik sendiri juga mcnolaknya. Dan
kalau petani menolak, kita mau apa?" ujar Pimpinan Proyek
Perluasan Areal Pertanian Departemen Pertanian Ir. Otje S.P.
Bratamid]aja. Barangkali itu pula sebabnya dalam sidang kabinet
awal bulan ini Presiden minta agar tanaman hortikultura lehih
diperhatikan.
Sementara itu di Jawa Barat juga, pencetakan sawah ribuan ha
sawah baru di empat kecamatan Kabupaten Karawang dikhawatirkan
gagal. "Hal itu karena kurang koordinasi dan penelitian yang
menyeluruh," kata R. Macklin Purawinekas, Kerua Tim Asistensi
HKTI Jawa Barat. Sawah-sawah tersebut merupakan bekas sawah bera
di pesisir utara Jawa Barat yang setiap tahun tergenang air.
H. Ahmad Ghozali, Ka. Humas Pemda Karawang, membantah proyek
rehabilitasi sawah bera itu gagal. Tahun 1979/1980 berhasil
direhahihtasi sawah bera seluas 2.000 hektar dan tahun
berikutnya 4.500 ha. Tapi pihak Pemda Kabupaten tidak membantah
keterlambatan pengerjaannya. Sebab di antara ribuan sawah-sawah
itu ada yang tidak jelas statusnya. Ada pula yang sudah lama
ditinggalkan pemiliknya. Padahal untuk merehabilitasi tanah
tersebut harus diketahui jelas siapa pemiliknya.
Usaha mencetak sawah baru biasanya selalu dibantu dengan kredit
dari pemerintah. Tapi di Desa Tanjungharjo, Kabupaten Kulon
Progo, di Daerah Istimewa Yogyakarta, para petani berusaha
mencetak sendiri sawah baru di atas tanah berbukit dan
berbatu-batu itu. Terutama sejak 1975, ketika irigasi Sungai
Kalibawang di Kulon Progo mulai berfungsi.
"Meskipun belum ada kredit, pencetakan sawah jalan terus. Dan 5
tahun lagi mungkin bisa mencapai 100 hektar," kata
Hardjopawiro, Kepala Bagian Kemakmuran Desa Tanjungharjo. Para
petani di lereng Pegunungan menoreh itu tampaknya tidak mudah
putus asa. Misalnya Dalimin yang menggarap sawah 5.000 meter
persegi. Ia berusaha menggarap sawah dengan meminjam uang Rp
200.000 dari pamannya. Sejak 3 tahun lalu Dalimin sudah panen
empat kali.
Irigasi memang merupakan syarat utama bagi pencetakan sawah
baru. Irigasi Lodagung (Lodoyo - Tulungagung) yang berasal dari
waduk Karangkates dan Wlingi di Jawa Timur juga memungkinkan
pencetakan sawah baru sejak 1979 di Tulungagung dan Blitar.
Daerah timur dan selatan Tulungagung dulu sangat kritis. "Tapi
sampai bulan lalu sudah dicetak 1.500 hektar sawah baru untuk
4.000 petani," kata seorang petugas Dinas Pertanian
Tulungagung. Kini sudah banyak petani yang meninggalkan
kebiasaan makan gaplek. Mereka sudah bisa panen dua kali setahun
ditambah panen palawija sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini