Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sekolah Yang Melawan Arus

Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial praktek kerja di desa atau lembaga sosial. YB. Mangunwijaya, dosen UGM menilai praktek kerja SMPS lebih berhasil dari KKN mahasiswa, karena langsung kerja & informal.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK September lalu di beberapa kampung di Yogya ada gairah baru. Di Kampung Ledok Terban, misalnya, anak-anak SD dan SMP tiap habis maghrib belajar bersama. Dua gadis remaja, sekitar 20 tahun, membimbing mereka cara belajar yang baik dan teratur. Di siang hari, muda-mudi di kampung itu belajar memasak makanan yang terjangkau ekonomi mereka tapi sehat dan bergizi. Yang menyolok, sejak beberapa minggu ini penduduk Ledok Terban itu -- yang hampir semuanya buruh kasar dan tukang becak--tak lagi mengambil air minum dari Kali Code. Berkat para remaja itu pula mereka kini mempunyai sumber air bersih, sebuah sumur pompa. Itulah hasil praktek kerja Cecilia Daryanti dan Mursiti Wahyuningsih, dua siswa SMPS (Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial) Tarakanita Yogyakarta. Sebetulnya rencana kedua gadis ini banyak. Antara lain juga kegiatan olahraga dan kursus mencukur rambut. Tapi karena waktu praktek hanya tiga bulan, "rencana kami akan kami serahkan kepada teman yang praktek berikumya," kata Daryanti. Mandi Di Kali Itu bukan kegiatan baru bagi SMPs Tarakanita, yang berdiri pada 1961 itu. Juga bagi SMPS Negeri maupun swasta yang ada di beberapa kota di tanah air ini. Toh SMPS tak begitu populer. Ny. Ermi Djoehari SH, Kepala Sekolah SMPS Negeri Jakarta, sering menerima tamu yang akan memasukkan anaknya ke sekolahnya --padahal si anak baru lulus SD. "Mereka mengira sekolah ini setingkat SMP," katanya. Sekolah yang lama pendidikannya 4 tahun itu, yang sebelum 1976 bernama SPSA (Sekolah Pekerjaan Sosial Atas), memang setingkat SLA. Ia menaruh praktek kerja sebagai programnya yang terpenting -- terutama dl daerah pelosok. Di Desa Ngembesan, desa kecil di lereng Gunung Merapi, misalnya, satu-satunya SD di situ adalah berkat praktek kerja SMPS Tarakanita Yogya di akhir tahun 60-an. Juga salah sebuah sekolah di Desa Ngandong, di daerah yang sama. Jadi selama ini praktek kerja memang kebanyakan dilakukan di desa. Itulah mengapa dipilihnya kampung miskin di kota, di Yogya, untuk praktek kerja tahun ini, begitu menarik perhatian--seakan orang baru tahu apa SMPS. Seorang dosen Fak. Teknik Universitas Gajah Mada, yang juga seorang penulis, begitu tertarik. Y.B. Mangunwijaya, orang itu, menganggap praktek kerja para siswa itu lebih berhasil dari ICKN mahasiswa. Di Kampung Wingit, di pinggir Sungai Winongo, tiga siswa SMPS Tarakanita ditugasi membina sembilan kepala keluarga (29 jiwa) terdiri dari tukang becak, pencari kertas bekas, pemungut puntung dan semacamnya. Baru-baru ini ketika daerah itu dilanda angin puyuh, banyak gubuk yang rubuh. Dan tanpa canggung tiga remaja itu membantu mendirikan kembali gubuk-gubuk bambu itu. Agaknya cara para siswa itulah mereka tinggal di rumah penduduk, ikut mandi di kali, misalnya--yang mengesankan. Ada dua hal yang mengesankan pada masyarakat di situ: semangat kerja bagi para orang tua dan semangat belajar bagi anak-anak. "Anak-anak di sini kini belajarnya teratur," kata Sukaeran Siswosuharjo, 40 tahun, penduduk Kampung Ledok Terban. Dan menurut Sarimin Hadiwinoto, 52 tahun, ketua RT, kalau selama ini banyak "penduduk saya yang malas bekerja, kini rajin berusaha mencari kerja." Pun Nona Diann Mc Cabe, ketua ICA (Institute of Cultural Affairs), sebuah badan sosial dari Amerika Serikat, menganggap para siswa itu "banyak membantu". ICA yang sejak 1978 menggarap Kampung Bontoa, di Desa Marannu, Kabupaten Maros. Sulawesi Selatan, memang banyak dibantu para siswa SMPS Negeri Ujungpandang. Dan dari pengalaman selama ini, ketua ICA rupanya mendapatkan ken ataan bahwa siswa SMPS yang masih remaja itu mudah mendekati para remaja di tempat praktek. Lebih-lebih karena cara yang ditempuh para siswa praktek itu umumnya bukan ceramah. Tapi langsung kerja, dan ini pun dilakukan dengan informal, utur Nona Diann pula. Itu diakui oleh seorang guru taman kanak-kanak di Desa Marannu. "Kami senang belajar pada adik-adik itu. Caranya luwes, membuat kami tak malu-malu," kata Daeng Bau, guru itu. Ia sendiri menjadi guru TK secara sukarela-dan hanya bermodal tekad, tak pernah menerima pendidikan formal. Sayang juga, ya, sekolah yang mendidik langsung calon pekerja sosial ini jumlahnya tak banyak. Yang negeri hanya delapan buah: di akarta, Semarang, Surakarta, Malang, Palembang, Medan, Banjarmasin dan Ujungpandang. Yang swasta hanya enam. Di antara tahun-tahun pendidikan, setahun digunakan untuk praktek lapangan. Itu bisa dibagi dua, tiga atau empat tahap, tergantung kebutuhan. Dan sejak dulu jenis sekolah ini hanya punya dua jurusan: Pelayanan Sosial dan Pengembangan Masyarakat. Yang pertama lebih banyak berkecimpung di badan-badan sosial macam panti asuhan atau lembaga rehabilitasi sosial. Prakteknya pun biasanya dilakukan lewat lembaga tersebut. Jurusan kedualah yang banyak langsung berhubungan dengan masyarakat. Jumlah siswa yang negeri rata-rata 200-an tiap sekolah. Yang swasta hampir sama. Tapi memang tak banyak yang lulus sampai akhir. Maklum: dilihat dari lapangan pekerjaan, tak begitu mengherankan kalau SMPS tak begitu populer--meski yang di Malang, misalnya, telah berdiri pada 1949. Selama ini, baik prakteknya maupun para lulusannya kebanyakan memang mengambil lapangan pekerjaan di desa atau di lembaga sosial. Sedang arus yang kuat dari umumnya sekolah dewasa ini ialah, sadar atau tak sadar, mencetak orang-orang "kantoran". Di kora, kalau bisa nanti ke Ibukota. Mentereng, 'kan? Tanpa kerampilan kerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus