Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Antara Kakus Dan Balong

Seminar pembangunan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah seAsia Pasifik, berlangsung di Cianjur & Bandung. Desa Solokpandan dijadikan contoh pemukiman yang padat, tidak sehat & tidak teratur.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKAMPUNGAN itu sangat padat. Setiap jengkal tanah dimanfaatkan untuk tempat berteduh. Hampir tak ada lagi pekarangan untuk anakanak bermain. Rumah-rumah bilik berdinding papan atau gedek itu bcrdempetan dan letaknya tidak teratur. Sebagian berupa rumah panggung --setiap rumah rata-rata dihuni dua atau tiga keluarga atau sekitar enam sampai sepuluh jiwa. Karena letak rumah-rumah tidak teratur, gang-gangnya pun melingkar-lingkar seperti jalan tikus. Gang-gang yang suram dan sumpek itu sangat sempit, hingga untuk berpapasan saja rasanya hampir tak mungkin. Itulah gambaran sekilas pemukiman penduduk di Kampung Jawa, Kelurahan Solokpandan, Kecamatan dan Kabupaten Cianjur (Jawa Barat). Hampir seluruh rumah yang jumlahnya 200 buah tidak memiliki tempat untuk mandi, mencuci dan buang air. Beberapa penduduk memanfaatkan kolam yang berwarna hijau butek di depan rumahnya untuk keperluan tersebut. 'Karena lingkungannya seperti itu, penduduk Kampung Jawa paling sering dilanda wabah muntaber dan penyakit kulit seperti gatal-gatal, kudis dan koreng," ujar Lurah Solokpandan, Abdulkadir Rozi. Tak Punya Kakus Di tahun 50-an, di kampung yang luasnya hanya 2 ha itu baru ada 10 rumah, yang dihuni sekitar 50.jiwa. Dalam tempo 30 tahun penduduk berkembang menjadi 2.000 jiwa lebih. Dari jumlah itu 80% di antaranya pendatang dari Jawa Barat bagian timur dan Jawa Tengah. Sebagian besar pedagang kecil, seperti pedagang bakso atau tempe, dengan penghasilan rata-rata Rp 750/hari. Perkampungan lain yang hampir sama padat dan sumpeknya di kota Kabupaten Cianjur ialah Kampung Cikidang di Keluahan Sayang. Kampung yang luasnya juga hanya 2 ha ini dihuni 350 keluarga atau sekitar 1.800 jiwa. Tapi rumah-rumah di situ rata-rata teratur. Barangkali karena letaknya tak begitu jauh dari pusat kota. Namun, seperti halnya Kampung Jawa, penduduk Cikidang juga sering diserang wabah muntaber dan penyakit kulit. Dan Desa Solokpandan dan Sayang belakangan menarik perhatian, karena ditampilkan sebaai contoh dalam Seminar Pembangunan Perumahan Rakyat Berpenghasilan Rendah se-Asia Pasifik yang berlangsung di Cianjur dan Bandung selama seminggu sejak 19 November ini. Seminar ke IV ini diselenggarakan Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan Ditjen Cipta Karya PU bekerjasama dengan Negeri Belanda. Diikuti sembilan ahli perumahan dari Indonesia dan 18 peserta dari Fiji, India, Malaysia, Nepal, Papua Nugini, Filipina, Sri Lanka dan Muangthai. Kedua kelurahan tersebut dijadikan contoh, sebab mempunyai persoalan yang sama, yaitu letak perumahan yang tidak teratur, fasilitas lingkungan (kakus, saluran air, gang) yang kurang dan penduduk yang padat. Cianjur sendiri dijadikan tempat studi, sebab seperti diungkapkan Direktur Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, Ir. H. Karman Somawidjaja, kota ini relatif kecil tapi prospek perkembangannya cukup tinggi. "Letaknya juga strategis, antara Jakarta dan Bandung, selain merupakan kota yang cukup terkendalikan perkembangan dan kebersihannya," kata Somawidjaja. Untuk mengatur perumahan di kedua kelurahan tersebut selama ini memang sulit. Mungkin karena sebagian besar penduduknya pendatang dan berpenghasilan sangat rendah. "Sangat sulit mengubah sikap mental penduduk agar mau memelihara lingkungannya," kata Ketua Bappeda Cianjur, Memed Hamdani SH. Dan hambatan untuk mengubah tata pemukiman yang tidak teratur itu, menurut Memed, adalah kurangnya dana juga. Karena itu Pemda Cianjur dengan gembira menerima bantuan perbaikan kampung dari Bank Dunia, yang dilaksanakan paling lambat akhir tahun anggaran 1981/82 ini. Untuk tahap pertama akan diperbaiki perkampungan seluas 10 ha di Solokpandan dengan biaya Rp 2,8/juta/ha. Selain itu pemda juga membantu biaya pemugaran rumah Rp 50.000 setiap rumah. "Kalau lingkungannya sudah baik dan rumah-rumah sudah teratur, langkah berikutnya melakukan pemutihan surat izin bangunan dan pemberian sertifikat," kata Bupati Cianjur Ir. Adjat Sudradjat. Pilihan lain juga ditawarkan kepada penduduk. Bertransmigrasi atau pindah ke kompleks Perumnas Hegarmanah di pinggir kota. Tak kurang 1.000 rumah akan dibangun pada akhir tahun ini di atas tanah 20 ha. Tentu saja banyak penduduk yang memilih pindah ke Perumnas. "Kalau pemerintah mau memperbaiki kampung ini, saya sangat berterimakasih," kata Sanawi, pedagang tempe di Kampung Jawa. Rumah Sanawi, memang berdinding tembok, tapi tak punya kakus. Rumah tanpa kakus memang masih banyak terdapat di beberapa daerah. Di Jawa Barat, penduduk desa biasa berak di balong, kolam ikan, sekaligus menghadiahkan kotoran untuk makanan ikan. Yang jadi soal sekarang kalau penduduk di pedesaan dibiasakan buang air besar di kakus, bagaimana memberi makan ternak ikan air tawar?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus