PERKAMPUNGAN itu sangat padat. Setiap jengkal tanah dimanfaatkan
untuk tempat berteduh. Hampir tak ada lagi pekarangan untuk
anakanak bermain. Rumah-rumah bilik berdinding papan atau gedek
itu bcrdempetan dan letaknya tidak teratur. Sebagian berupa
rumah panggung --setiap rumah rata-rata dihuni dua atau tiga
keluarga atau sekitar enam sampai sepuluh jiwa.
Karena letak rumah-rumah tidak teratur, gang-gangnya pun
melingkar-lingkar seperti jalan tikus. Gang-gang yang suram dan
sumpek itu sangat sempit, hingga untuk berpapasan saja rasanya
hampir tak mungkin.
Itulah gambaran sekilas pemukiman penduduk di Kampung Jawa,
Kelurahan Solokpandan, Kecamatan dan Kabupaten Cianjur (Jawa
Barat). Hampir seluruh rumah yang jumlahnya 200 buah tidak
memiliki tempat untuk mandi, mencuci dan buang air. Beberapa
penduduk memanfaatkan kolam yang berwarna hijau butek di depan
rumahnya untuk keperluan tersebut. 'Karena lingkungannya
seperti itu, penduduk Kampung Jawa paling sering dilanda wabah
muntaber dan penyakit kulit seperti gatal-gatal, kudis dan
koreng," ujar Lurah Solokpandan, Abdulkadir Rozi.
Tak Punya Kakus
Di tahun 50-an, di kampung yang luasnya hanya 2 ha itu baru ada
10 rumah, yang dihuni sekitar 50.jiwa. Dalam tempo 30 tahun
penduduk berkembang menjadi 2.000 jiwa lebih. Dari jumlah itu
80% di antaranya pendatang dari Jawa Barat bagian timur dan Jawa
Tengah. Sebagian besar pedagang kecil, seperti pedagang bakso
atau tempe, dengan penghasilan rata-rata Rp 750/hari.
Perkampungan lain yang hampir sama padat dan sumpeknya di kota
Kabupaten Cianjur ialah Kampung Cikidang di Keluahan Sayang.
Kampung yang luasnya juga hanya 2 ha ini dihuni 350 keluarga
atau sekitar 1.800 jiwa. Tapi rumah-rumah di situ rata-rata
teratur. Barangkali karena letaknya tak begitu jauh dari pusat
kota. Namun, seperti halnya Kampung Jawa, penduduk Cikidang juga
sering diserang wabah muntaber dan penyakit kulit.
Dan Desa Solokpandan dan Sayang belakangan menarik perhatian,
karena ditampilkan sebaai contoh dalam Seminar Pembangunan
Perumahan Rakyat Berpenghasilan Rendah se-Asia Pasifik yang
berlangsung di Cianjur dan Bandung selama seminggu sejak 19
November ini. Seminar ke IV ini diselenggarakan Direktorat
Penyelidikan Masalah Bangunan Ditjen Cipta Karya PU bekerjasama
dengan Negeri Belanda. Diikuti sembilan ahli perumahan dari
Indonesia dan 18 peserta dari Fiji, India, Malaysia, Nepal,
Papua Nugini, Filipina, Sri Lanka dan Muangthai.
Kedua kelurahan tersebut dijadikan contoh, sebab mempunyai
persoalan yang sama, yaitu letak perumahan yang tidak teratur,
fasilitas lingkungan (kakus, saluran air, gang) yang kurang dan
penduduk yang padat. Cianjur sendiri dijadikan tempat studi,
sebab seperti diungkapkan Direktur Direktorat Penyelidikan
Masalah Bangunan, Ir. H. Karman Somawidjaja, kota ini relatif
kecil tapi prospek perkembangannya cukup tinggi. "Letaknya juga
strategis, antara Jakarta dan Bandung, selain merupakan kota
yang cukup terkendalikan perkembangan dan kebersihannya," kata
Somawidjaja.
Untuk mengatur perumahan di kedua kelurahan tersebut selama ini
memang sulit. Mungkin karena sebagian besar penduduknya
pendatang dan berpenghasilan sangat rendah. "Sangat sulit
mengubah sikap mental penduduk agar mau memelihara
lingkungannya," kata Ketua Bappeda Cianjur, Memed Hamdani SH.
Dan hambatan untuk mengubah tata pemukiman yang tidak teratur
itu, menurut Memed, adalah kurangnya dana juga.
Karena itu Pemda Cianjur dengan gembira menerima bantuan
perbaikan kampung dari Bank Dunia, yang dilaksanakan paling
lambat akhir tahun anggaran 1981/82 ini. Untuk tahap pertama
akan diperbaiki perkampungan seluas 10 ha di Solokpandan dengan
biaya Rp 2,8/juta/ha. Selain itu pemda juga membantu biaya
pemugaran rumah Rp 50.000 setiap rumah. "Kalau lingkungannya
sudah baik dan rumah-rumah sudah teratur, langkah berikutnya
melakukan pemutihan surat izin bangunan dan pemberian
sertifikat," kata Bupati Cianjur Ir. Adjat Sudradjat.
Pilihan lain juga ditawarkan kepada penduduk. Bertransmigrasi
atau pindah ke kompleks Perumnas Hegarmanah di pinggir kota. Tak
kurang 1.000 rumah akan dibangun pada akhir tahun ini di atas
tanah 20 ha. Tentu saja banyak penduduk yang memilih pindah ke
Perumnas.
"Kalau pemerintah mau memperbaiki kampung ini, saya sangat
berterimakasih," kata Sanawi, pedagang tempe di Kampung Jawa.
Rumah Sanawi, memang berdinding tembok, tapi tak punya kakus.
Rumah tanpa kakus memang masih banyak terdapat di beberapa
daerah. Di Jawa Barat, penduduk desa biasa berak di balong,
kolam ikan, sekaligus menghadiahkan kotoran untuk makanan ikan.
Yang jadi soal sekarang kalau penduduk di pedesaan dibiasakan
buang air besar di kakus, bagaimana memberi makan ternak ikan
air tawar?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini