MAJALAH The Reader's Digest, banyak dicemooh orang sebagai
menghina intelijensi manusia, majalah khusus bagi orang yang
malas membaca buku dan risalah dalam bentuk aslinya, yang
kadang-kadang memang terlalu sulit dibaca orang awam. Ballkan di
Amerika sana, majalah itu pernah dituduh sebagai majalah
kapitalis borjuis, majalah ambtenaar, dan lain serupa itu.
Tapi saya bukan ingin cerita mengenai majalah itu, tapi mengenai
sebuah artikelnya, yang menumt saya agak nakal, yang terdapat
dalam Edisi Asia bulan Agustus 1981. Artikel itu, Mclear Power
in Perspective tulisan Ralph Kinney Bennett, agaknya dimaksudkan
untuk melakukan conditioning serta memasyarakatkan ide bahwa
PLTN (Pusat Listrik Tenaga Nuklir) jauh lebih sip (baik polusi
maupun bahaya radiasinya) serta jatuh harganya jauh lebih murah
dibandingkan dengan PL-PL lainnya.
Pak Bennett ini tentu boleh saja berpendapat demikian. Tapi
sialnya, dia juga membanding-bandingkan, (agaknya memang
terpaksa harus demikian), dengan polusi yang ditimbulkan sebuah
PLTU yang memakai bahan bakar batu bara. Bayangkan, katanya,
setiap PLTU bahan bakar batubara dengan kapasitas 1.000 Mega
Watt, akan menghasilkan polusi sebagai berikut:
500 Ibs. CO2 per detik,
1.000 Ibs. abu per menit,
1 ton senyawa sulfur per 5 menit banyak. asap yang mengandung
partikel racun seperti arsen dan senyawa penyebab kanker seperti
benzopyrene.
Terbang semangat saya membaca ini. Terutama ketika saya
hubungkan dengan proyek PLTU Suralaya kita, yang konon jika
sudah berjalan sepenuhnya dengan kapasitas 3.000 MW (sumber
Kompas 27 Oktober 1981 sumber lain bahkan menyebut angka 10.000
MW!) akan mengkonsumsi 1,5 juta ton batubara, agaknya per
tahun.
Secara iseng, dengan kalkulator saya yang "bodoh" (menurut
seorang mahasiswa IPB, karena cuma 8 digit dengan fungsi-fungsi
+ - x: dan % saja), saya coba membuat perhitungan per tahun
berdasarkan angka 3.000 MW itu, dan menghitung I Ib = 450 gram.
Ini yang saya peroleh:
CO2 : 21.300 juta kilogram 21,3 milyar, Iho!).
abu : 710 juta kilogram senyawa sulfur. 788. 400 ton
asap : tiga kali lebih banyak, tentu saja, dengan arsen dan
benzopyrene-nya sekalian.
Akan kita apakan sampah + racun sebanyak itu? Mestinya Pak
Bennett ini bercanda, atau barangkali bahkan berbohong? 'Kan PLN
sudah mempunyai jawaban yang mantap atas masalah ini? Saya yakin
dan percaya. Kalau tidak, tentunya kita tidak akan ngotot mau
melaksanakan Proyek Suralaya tersebut, sampai-sampai ada suara
yang mengatakan bahwa kita akan gampang mengimpor batubara dari
Australia segala!
Namun hati saya yang awam ini masih jauh lebih mengagumi dua
pemuda Solo yang menciptakan PLKA (Pusat Listrik Kincir Apung),
walaupun berita-berita mengenai hal itu sekarang ini rasanya
sudah tenggelarn seperti batu jatuh ke lubuk.
Negeri tercinta ini penuh dengan sungai, dan di sepanjang tepi
sungai itu bergelantungan desa-desa dan kota-kota. Tak peduli
apakah sungai itu berair jernih penuh ikan, atau berpolusi
pekat, selama ia masih mengalir, ia masih terus dapat memutar
kincir. Dan siapa berani bilang kincir demikian menimbulkan
polusi? Siapa bilang listrik untuk penerangan rumah penduduk
seperti itu perlu dialirkan dari sentral yang jauh? Pak Bennett
sendiri pun pasti tidak berani.
Itulah masalahnya. Polusi itu. Karena, setelah saya pikir
berlama-lama, di antara sekian banyak sisa buang PLTU Suralaya
itu, cuma abu yang 710 juta kg/tahun itu saja yang dapat saya
lihat manfaatnya. Itu pun kalau di dekat situ didirikan pabrik
karung plastik yang kuat.
Abu itu kita masukkan ke dalam karung, yang dengan ukuran sak
semen akan menghasilkan hampir 18 juta karung/ tahun (k.l.
48.000 karung/hari), kemudian kita cemplungkan ke Selat Sunda.
Barangkali, dalam waktu yang tidak terlalu lama kita akan sudah
dapat menghubungkan Jawa dengan Sumatera melalu sepasang jalan
raya semulus Jagorawi.
Tapi, terlepas dari angan-angan bodoh itu, saya rasa adalah
kewajiban kita untuk menulis uraian yang lengkap dengan
data-data, untuk membantah Pak Bennett dalam The Reader's Digest
terbitan Agustus 1981 itu. Sekurang-kurangnya agar tidak ada
anggapan bahwa dengan memilih PLTU Suralaya ini, kita seperti
kata pepatah kuno "Pilih-pilih tebu," yang terpilih ruasnya
melulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini