Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

PLTU: Pilih-Pilih Tebu ?

Karya Ralph Kinney Bennett "Nuclear Power in Perspective" dalam majalah the Reader's Digest menyatakan PLTU bahan bakar batu bara dengan kapasitas 1000 mw berpolusi 500 lbs co2/detik, 1000 lbs abu/menit.

21 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAJALAH The Reader's Digest, banyak dicemooh orang sebagai menghina intelijensi manusia, majalah khusus bagi orang yang malas membaca buku dan risalah dalam bentuk aslinya, yang kadang-kadang memang terlalu sulit dibaca orang awam. Ballkan di Amerika sana, majalah itu pernah dituduh sebagai majalah kapitalis borjuis, majalah ambtenaar, dan lain serupa itu. Tapi saya bukan ingin cerita mengenai majalah itu, tapi mengenai sebuah artikelnya, yang menumt saya agak nakal, yang terdapat dalam Edisi Asia bulan Agustus 1981. Artikel itu, Mclear Power in Perspective tulisan Ralph Kinney Bennett, agaknya dimaksudkan untuk melakukan conditioning serta memasyarakatkan ide bahwa PLTN (Pusat Listrik Tenaga Nuklir) jauh lebih sip (baik polusi maupun bahaya radiasinya) serta jatuh harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan PL-PL lainnya. Pak Bennett ini tentu boleh saja berpendapat demikian. Tapi sialnya, dia juga membanding-bandingkan, (agaknya memang terpaksa harus demikian), dengan polusi yang ditimbulkan sebuah PLTU yang memakai bahan bakar batu bara. Bayangkan, katanya, setiap PLTU bahan bakar batubara dengan kapasitas 1.000 Mega Watt, akan menghasilkan polusi sebagai berikut: 500 Ibs. CO2 per detik, 1.000 Ibs. abu per menit, 1 ton senyawa sulfur per 5 menit banyak. asap yang mengandung partikel racun seperti arsen dan senyawa penyebab kanker seperti benzopyrene. Terbang semangat saya membaca ini. Terutama ketika saya hubungkan dengan proyek PLTU Suralaya kita, yang konon jika sudah berjalan sepenuhnya dengan kapasitas 3.000 MW (sumber Kompas 27 Oktober 1981 sumber lain bahkan menyebut angka 10.000 MW!) akan mengkonsumsi 1,5 juta ton batubara, agaknya per tahun. Secara iseng, dengan kalkulator saya yang "bodoh" (menurut seorang mahasiswa IPB, karena cuma 8 digit dengan fungsi-fungsi + - x: dan % saja), saya coba membuat perhitungan per tahun berdasarkan angka 3.000 MW itu, dan menghitung I Ib = 450 gram. Ini yang saya peroleh: CO2 : 21.300 juta kilogram 21,3 milyar, Iho!). abu : 710 juta kilogram senyawa sulfur. 788. 400 ton asap : tiga kali lebih banyak, tentu saja, dengan arsen dan benzopyrene-nya sekalian. Akan kita apakan sampah + racun sebanyak itu? Mestinya Pak Bennett ini bercanda, atau barangkali bahkan berbohong? 'Kan PLN sudah mempunyai jawaban yang mantap atas masalah ini? Saya yakin dan percaya. Kalau tidak, tentunya kita tidak akan ngotot mau melaksanakan Proyek Suralaya tersebut, sampai-sampai ada suara yang mengatakan bahwa kita akan gampang mengimpor batubara dari Australia segala! Namun hati saya yang awam ini masih jauh lebih mengagumi dua pemuda Solo yang menciptakan PLKA (Pusat Listrik Kincir Apung), walaupun berita-berita mengenai hal itu sekarang ini rasanya sudah tenggelarn seperti batu jatuh ke lubuk. Negeri tercinta ini penuh dengan sungai, dan di sepanjang tepi sungai itu bergelantungan desa-desa dan kota-kota. Tak peduli apakah sungai itu berair jernih penuh ikan, atau berpolusi pekat, selama ia masih mengalir, ia masih terus dapat memutar kincir. Dan siapa berani bilang kincir demikian menimbulkan polusi? Siapa bilang listrik untuk penerangan rumah penduduk seperti itu perlu dialirkan dari sentral yang jauh? Pak Bennett sendiri pun pasti tidak berani. Itulah masalahnya. Polusi itu. Karena, setelah saya pikir berlama-lama, di antara sekian banyak sisa buang PLTU Suralaya itu, cuma abu yang 710 juta kg/tahun itu saja yang dapat saya lihat manfaatnya. Itu pun kalau di dekat situ didirikan pabrik karung plastik yang kuat. Abu itu kita masukkan ke dalam karung, yang dengan ukuran sak semen akan menghasilkan hampir 18 juta karung/ tahun (k.l. 48.000 karung/hari), kemudian kita cemplungkan ke Selat Sunda. Barangkali, dalam waktu yang tidak terlalu lama kita akan sudah dapat menghubungkan Jawa dengan Sumatera melalu sepasang jalan raya semulus Jagorawi. Tapi, terlepas dari angan-angan bodoh itu, saya rasa adalah kewajiban kita untuk menulis uraian yang lengkap dengan data-data, untuk membantah Pak Bennett dalam The Reader's Digest terbitan Agustus 1981 itu. Sekurang-kurangnya agar tidak ada anggapan bahwa dengan memilih PLTU Suralaya ini, kita seperti kata pepatah kuno "Pilih-pilih tebu," yang terpilih ruasnya melulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus