Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menendang Kapal-Kapal Tua

Beberapa tanggapan dari pengusaha angkutan laut, atas kebijaksanaan pembesituaan kapal berusia 30 tahun keatas. (eb)

7 April 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAKIN mendekati 1 Mei, saat kapal tua berusia 30 tahun ke atas tidak boleh dioperasikan lagi, hati Bettrianto, Direktur Utama PT Salam Sejahtera, semakin risau. Sebab, lima di antara delapan kapal miliknya, yang rata-rata sudah berusia 30 tahun lebih, jelas bakal terkena ketentuan itu. Untuk memulihkan kekuatan armadanya, dia kini belum memiliki cukup dana. "Hanya Tuhan yang tahu kelangsungan hidup perusahaan saya, jika kebijaksanaan tadi benar dilaksanakan," katanya. Tentu bukan cuma Bettrianto yang gelisah. Tapi, apa boleh buat, kebijaksanaan yang terasa pahit bagi pengusaha lemah modal itu, konon, dikeluarkan justru untuk meningkatkan efisiensi dan pelayanan perusahaan pelayaran. Menurut Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, J.E. Habibie, kapal-kapal tua itu biasanya lamban berlayar, sering mogok, hingga bisa mengganggu arus peredaran barang. Beberapa bulan lewat, ambil contoh, sebuah kapal tua mogok dalam pelayaran membawa semen ke Irian Jaya. "Ini 'kan merugikan pemilik barang, dan juga bisa mengganggu jalannya pembangunan di sana," kata Habibie. Habibie menjamin kelancaran angkutan laut tidak akan guncang, sekalipun 205 kapal berusia 30 tahun ke atas dari 432 kapal pelayaran nusantara kelak dikeluarkan dari jajaran armada nasional. Juga kelak, pada awal Januari 1985, menyusul lagi 98 kapal berusia 25 tahun ke atas tidak diperbolehkan beroperasi lagi. Habibie beranggapan, 111 kapal tua itu tidak mungkin direparasi atau diganti dengan mesin baru (reengined), mengingat biayanya lebih mahal dibandingkan bila membeli kapal baru. Dia lalu menunjukkan sebuah surat permintaan rekomendasi dari sbuah perusahaan pelayaran yang berniat menjual kapal tuanya karena menganggap jika harus mengganti mesin lebih besar biayanya. Tapi anggapan itu dengan sengit disanggah Bettrianto. Biaya membangun kembali (rebuild) dan memasang mesin baru tiga kapal tuanya ternyata masih lebih murah dibandingkan membeli kapal baru - sekali pun menghabiskan ratusan juta rupiah. Katanya, mobilitas kapal tua pun, jika perawatannya baik, tidak kalah dengan kapal baru. Sebuah kapa tua miliknya, kendati sudah berusia 38 tahun, katanya masih sanggup mengangkut pupuk 500 ton dari Jakarta ke Padang sebanyak lima rit dalam satu bulan. Sjamsudin Martowidjojo Direktur Utama PT Bahar yang juga Ketua Asosiasi Pemilik Kapal Nasional Indonesia (INSA) unsur Nusantara bahkan menyebut pula bahwa banyak kapal tua yang masih ekonomis jika dioperasikan: bukankah nilai bukunya sudah nol? Tapi, katanya, apakah mau begitu terus - seperti pedagang buah Betawi yang dari dulu masih jualan pakai keranjang, sementara para pendatang baru sudah mulai buka warung tetap? "Saya rasa, pembaruan kapal memang perlu," katanya. Dengan kebijaksanaan itu pula, menurut Subekti Ismaun, Direktur Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo), usaha menyeimbangkan jumlah tonase kapal (suplai) dengan volume muatan (permintaan) sesungguhnya bisa dilakukan. Berlebihnya tonase kapal, yang menyebabkan suplai ruangan tersedia melimpah, memang disebut sebagai penyebab "munculnya persaingan harga kurang sehat dalam menetapkan tarif angkut," katanya. Pihak Departemen Perhubungan kini dikabarkan sedang mempelajari kemungkinan boleh tidaknya kapal yang sudah dibesituakan tadi diganti kapal baru. Kalau toh pihak pelayaran diperbolehkan menggantinya dengan kapal baru, mereka jelas membutuhkan dana cukup besar. Sebab harga kapal untuk ukuran sampai 3.000 ton kini rata-rata sudah mencapai US$ 2.000 per ton. Dana sebesar ini tentu sulit diperoleh jika perusahaan hanya mengandalkan sumbernya dari hasil penjualan kapal tuanya. Bagi PT Pelni, badan usaha milik negara misalnya, yang diharuskan menjual 14 kapai tuanya (25.000 ton) tahun ini ke PT Krakatau Steel dengan harga Rp 50 per kg, hasil penjualan itu jelas sangat kecil. Pendeknya, "kami tidak mungkin beli kapal baru hanya dari hasil penjualan kapal tua itu," ujar Sudharno Mustafa, Direktur Utama Pelni. Kredit bank? Untuk pembiayaan pengadaan kapal, dari tahun ini sampai 1985 mendatang, Bapindo cuma mengalokasikan US$ 25 juta, yang diperolehnya dari Bank Dunia. Dan itu pun, menurut Sjamsudin dari Bahari, bunganya kini besar: 18%. Di samping itu, harus membiayai sendiri 35% dari harga kapal. Karena alasan itulah Sjamsudin beranggapan bahwa sistem sewa beli melalui PT PANN, lembaga keuangan nonbank yang khusus menyediakan pembiayaan pengadaan kapal, lebih menarik. Tapi, kini bunga kredit berjangka 10 tahun itu tidak 10% karena dana murah dari pemerintah tidak lagi diberikan pada PANN.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus