Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Risiko Keuangan Akibat Ketergantungan pada Batu Bara

Ketergantungan akan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit listrik membuat PT PLN (Persero) menghadapi risiko kesulitan keuangan. 

28 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan
Perbesar
Pembangkit Listrik Tenaga Uap Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

JAKARTA Menurut riset yang dilakukan Center of Economic and Law Studies (Celios), PT PLN (Persero) berpotensi menghadapi kesulitan keuangan apabila masih bergantung pada batu bara sebagai sumber energi primer listrik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Volatilitas harga batu bara di pasar internasional membuat PLN sangat bergantung pada subsidi listrik yang pada tahun ini sudah mencapai Rp 56,4 triliun,” ujar Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, dalam diskusi publik pada Rabu, 26 Oktober lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Menurut Bhima, hal tersebut dikhawatirkan membuat PLN harus menanggung selisih antara biaya pembangkit listrik dan tarif subsidi pemerintah. Peningkatan harga batu bara di pasar juga akan memicu cash flow margin PLN menipis. Hal ini dapat menimbulkan risiko gagal bayar terhadap utang-utang perseroan.

Pada 2016, cash flow margin PLN sebesar 10,53 persen dan meningkat menjadi 18,64 persen pada 2021. “Tapi aliran kas operasi yang didapatkan dari penjualan tergolong masih rendah karena pendapatan subsidi yang berasal dari pemerintah dalam bentuk piutang dilunasi secara bertahap,” kata Bhima.

PLN juga memiliki beban lain, yakni kontrak jual-beli tenaga listrik dengan produsen tenaga listrik swasta atau independent power producer (IPP) yang menggunakan skema take or pay. Artinya, PLN tetap harus membayar listrik kepada IPP sesuai dengan harga yang disepakati kendati penggunaannya rendah.

Padahal, kata Bhima, sebagian besar IPP merupakan pembangkit listrik tenaga batu bara. Hal tersebut dapat menyebabkan ancaman over supply listrik dalam jangka panjang, sehingga risiko keuangan perseroan meningkat.

Pekerja memeriksa pasokan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. TEMPO/Tony Hartawan

Peneliti Celios, Akbar Fadzkurrahman, menambahkan, potensi risiko keuangan tersebut juga dapat berdampak pada para pemegang obligasi (surat utang) PLN. “Risiko yang dihadapi investor adalah penurunan peringkat utang PLN, mengingat semakin intensnya komitmen terhadap implementasi ESG (environmental, social, and corporate governance) secara global,“ ujarnya.

Saat ini, proporsi utang PLN mencapai US$ 12,8 miliar dari penerbitan obligasi atau 38,5 persen dari total utang jangka panjang perseroan. Kondisi ini, kata Akbar, memperlihatkan ketergantungan PLN terhadap penerbitan surat utang untuk menutup gap keuangan. “Hal ini juga sangat bergantung pada minat investor dalam membeli surat utang PLN.”

Selain itu, PLN dinilai menghadapi rasio utang terhadap modal (debt to ratio) yang semakin meningkat karena PLN membutuhkan dana investasi besar, yakni Rp 71,4 triliun untuk pembangunan sejumlah PLTU baru. Berdasarkan RUPTL 2021-2030, kebutuhan investasi PLN tersebut akan dipenuhi dari dana internal, pinjaman, dan penyertaan modal negara (PMN/ekuitas).

Jika pembangunan PLTU baru dipaksakan di tengah kesulitan mencari pinjaman, kata Akbar, situasi PLN akan semakin sulit. Ada juga faktor geopolitik yang membuat harga batu bara menjadi tidak stabil. “Harga batu bara diprediksi terus meningkat apabila perang Ukraina versus Rusia yang menyebabkan krisis energi dunia tidak menunjukkan tanda-tanda berakhir.”

Terlebih, mulai tahun depan, pemerintah berencana melepas harga batu bara dengan mekanisme pasar. Kondisi ini akan menyebabkan harga batu bara yang dibeli PLN menjadi lebih mahal. “Semakin tinggi harga batu bara, semakin tinggi juga biaya pokok penyediaan tenaga listrik. Utang jangka pendek PLN bisa meningkat dan menurunkan nilai rasio working capital,“ kata dia.

PLN sendiri belum menanggapi hasil riset Celios tersebut. Hingga berita ini ditulis, manajemen PLN belum merespons pertanyaan Tempo.

MUHAMAD IDHAM VIRYAWAN (MAGANG)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus