KISAH "sungai susu" diharapkan tidak lagi akan muncul sebagai drama dalam Pelita IV. Bulan depan, tiga pabrik pembuat susu kering hendak dibangun, untuk menampung susu segar yang selama ini banyak terbuang karena tak tersedot industri pengolahan susu. Tiga pabrik yang akan dibangun di Pengalengan (Jawa Barat), Bawen (Jawa Tengah), dan Purwasari (Jawa Timur) diharapkan juga akan melepas ketergantungan industri pengolahan susu akan impor bahan baku. Menurut Direktur Jenderal Peternakan Daman Danuwidjaja, sampai kini, industri pengolahan susu yang ada masih belum bisa menampung susu segar produksi dalam negeri. Walaupun kapasitas penampungan yang ada pada enam pabrik besar - FSI/ Nestle, FFI/Cap Bcndera, Sari Husada, Ultra Jaya, Indomilk, dan Dafa - sudah 326.000 liter per hari, ternyata pada Februari lalu sekitar 13.000 liter dari 313.000 liter susu segar eks peternak tidak tersedot. Daman khawatir bila kapasitas industri pengolahan susu itu tidak akan segera diperbesar, karena produksi susu segar diperkirakan bakal mencapai 410.000 liter per hari pada Juni mendatang. Atas imbauan Menteri Koperasi Bustanil Arifin beberapa waktu lalu, industri pengolahan susu memang telah menyiapkan mesin, yang bisa mengentalkan susu segar (evaporator) berkapasitas besar. FFI/Nestle, misalnya, mempunyai mesin evaporator berkapasitas 450.000 liter per hari di Surabaya. Tapi pabrik itu sampai sekarang hanya mampu menampung sekitar 160.000 liter sehari. Kini pemerintah tak mau terlalu bergantung pada pabrik. Setelah Dirjen Peternakan berdiskusi dengan sejawatnya di Departemen Perindustrian dan Departemen Pertanian, tercetuslah kesepakatan untuk membangun tiga pabrik baru itu, sebagai penghasil susu kering, bahan baku bagi industri pengolahan susu. Industri pengolahan susu yang ada sekarang, menurut Direktur Jenderal Aneka Industri Sotion Arjanggi, belum ada artinya bagi perkembangan industri susu terintegrasi di Indonesia. "Mereka masih menyusu ke luar negeri," katanya setengah bercanda. Kenapa terjadi demikian? Sejak timbul drama pembuangan susu segar yang tak tertampung, 1982, pemerintah menentukan bahwa pabrik-pabrik harus menggunakan susu bubuk impor dan susu segar dalam perbandingan 7:1. Selanjutnya, setiap tahun perbandingan itu diatur menuju keseimbangan yakni menjadi 5:1 tahun lalu, dan untuk 1984 ini telah ditentukan 31/2:1. Diharapkan, ketika kebutuhan susu pada akhir Pelita IV, 1989, sekitar 1 juta ton, perbandingannya bakal menjadi 1:1. Dampak dari kebijaksanaan memperbanyak pemakaian susu segar eks peternak itu mulai menampakkan hasilnya: pemakaian devisa yang digunakan untuk-mengimpor preparat susu menurun. Menurut laporan Bank Indonesia, devisa yang dikeluarkan untuk impor preparat turun dari US$ 54 juta (1980) menjadi sekitar US$ 15 juta tahun lalu. Pembangunan pabrik susu kering itu ternyata disambut hangat kalangan pengusaha susu. Ultra Jaya, yang sama sekali tak membutuhkan bahan baku susu kering, sejauh ini kewalahan menampung 100.000 Iiter susu per hari yang disuplai koperasi susu di daerah Bandung. Perusahaan itu hanya mampu menampung 30%. "Kami berharap masalah penampungan susu segar dapat segera teratasi," kata Abdullah Syahbana, Direktur Utama PT Ultra Jaya. Sementara ini, menurut Dirjen Aneka Industri dan Dirjen Peternakan, beberapa industri pengolahan susu telah berlomba menawarkan keinginan untuk ikut menanam modal. Investasi yang diperlukan setiap pabrik itu sekitar Rp 6 milyar. Penyertaan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) dan koperasi primer, yang masing-masing akan meliputi 25%, akan dibantu pemerintah dengan kredit. Sisanya, 50%, sedang ditawarkan kepada pengusaha susu kalangan swasta nasional. "Friesche Flag Indonesia sudah menyanggupi membangun sebuah pabrik, yang siap berproduksi dalam tempo enam bulan, sedangkan Indomilk minta waktu setahun," tutur Sotion. Namun, timbul juga kekhawatiran dari PT Sari Husada bahwa harga produksi pabrik itu akan jatuh lebih mahal mengingat harga susu segar eks peternak itu dijual Rp 325 per liter. Padahal, susu impor dalam takaran yang sama hanya Rp 165. "Tapi mudah-mudahan harganya bisa lebih murah mungkin dengan subsidi pemerintah, sehingga tidak memberatkan konsumen," kata Direktur Utama PT Sari Husada, Drs. Rukma. Sementara itu, direksi PT FFI/Nestle yang diwakili manajer akuntan, Iskandar mengatakan, "Kita tak perlu lagi impor susu bubuk, asal pemerintah konsekuen menyetop kuota impor."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini