"BISNIS eceran" bisa juga mendatangkan keuntungan besar. Bermodalkan dagangan anyaman bakul hingga batik, sabun mandi hingga pakaian jadi, perlengkapan kosmetik hingga peralatan elektronik, kelompok Sarinah Jaya merayakan hari jadinya yang kesepuluh, Selasa pekan silam, dengan kebanggaan penuh. Abdul Latif, 44, : sang perintis, menyebut dirinya sebagai Raja Pedagang Eceran. Toko bertingkat lima di pojok pusat perdagangan Blok M, dan sebuah toko lainnya di Pluit, sudah dimilikinya. Belum lagi pabrik pengolahan di Kawasan Industri Pulogadung. Kabarnya, bekas pemandian di Manggarai sudah pula diincarnya. Begitu pula beberapa tempat menggelar dagangan lainnya di Medan dan Surabaya. Ketika memulai usahanya dengan PT Indonesia Product Centre Sarinah Jaya, Latif menyewa Lantai III Gedung Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta. Di sana, tokoh pendiri Hipmi itu menjajakan barang-barang kerajinan tangan. Modalnya dikumpulkan sendiri, ditambah kredit komersial dari BDN sebesar Rp 30 juta, diktat kuliah selama ia duduk di bangku perguruan tinggi, serta pengalaman berdagang bawang dan telur. Pada tahun 1975, Latif melangkah dengan usaha Pasar Raya Sarinah Jaya, PT Tosersa Jaya, yang disebutnya sebagai toko serba ada "bergaya Indonesia." Sementara itu, setahun kemudian, Latif berada di Singapura membuka Sarinah Jaya Singapore PTE, Ltd., di Tanlin Road dan Lucky Plaza. Di negeri itu Latif berdagang kerajinan tangan dan pakaian jadi asal negaranya. Tidak cuma itu, ternyata. Latif mencoba memutarkan modalnya dengan membeli dan menyewakan beberapa toko di Lucky Plaza yang ketika itu sedang dibangun. Nilai jual toko-toko itu melambung 300% ketika pusat perdagangan itu diresmikan. Latif pun lantas melepas semua miliknya di situ dan mengantungi hampir US$ 6 juta. Hasil itu dipakainya, antara lain, untuk mendirikan toko berlantai lima di Blok M. Sebenarnya, Latif ditawari untuk mendirikan industri batik di Singapura: Java Batik. Kesempatan ini dengan berat hati dilepasnya. "Rasa nasionalisme saya tidak mengizinkan," ujarnya mantap. Berturut-turut, kemudian, Latif mendirikan PT Tata Disantara (Tata Distribusi Sistem Nusantara), PT Medina Bhakti (perkebunan), PT Pola Diteksa Satria (buku), PT Promosindo Maju (periklanan), Pasarprima PT Paspri Al Marda (eceran), PT Asuransi Dara Kemala (asuransi), dan Yayasan Alam (pendidikan). Kesemuanya menyerap hampir 1.400 karyawan. Setelah sukses dengan jajaan kerajinan tangan, kini Latif mencoba bisnis pakaian jadi (garment). "Kalau rekonstruksi industri tekstil dan garment di Republik ini sudah berjalan, tidak mustahil kita bisa menjadikan Jakarta sebagai pusat fashion menggantikan Hong Kong," kata Latif. Ia sudah mulai mengadakan kerja sama dengan beberapa perancang mode terkemuka, seperti Harry Dharsono dan Ghea Sukasah. Usaha itu didukung sebuah riset yang katanya menelan ongkos Rp 1 milyar. Diam-diam Latif juga menyiap penjelajahannya yang baru: di bidang mebel dan industri makanan serta minuman. Latif berprinsip tidak terlalu mengandalkan modal pinjaman untuk bberapa usahanya yang baru. Katanya, untuk kredit investasi ia cuma berharap 50%, sedang untuk modai kerja, ia cuma ingin 30%. Namun, tidak jelas berapa jumlah pinjamannya. Sebab, untuk ini, ia enggan mengungkapkannya. Go public? Itu pun sudah direncanakannya. Hanya saja, ia masih menunggu hingga sistem penjualan dagangan eceran yang dikembangkannya mapan. Memang, bisnis eceran, seperti yang diakuinya sendiri, tergantung langsung kepada daya beli masyarakat. Agaknya, kesiapannya "membaca daya beli masyarakat" itu membuatnya menjadi Raja Pedagang Eceran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini