Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengharapkan yang baru dari minyak

Produksi minyak Indonesia mulai membaik. Indonesia berusaha mengamankan pasaran minyaknya. jepang sepakat tetap mempertahankan pembelian minyaknya dari Indonesia. (eb)

15 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRODUKSI minyak Indonesia diam-diam mulai membaik. Kalau pada bulan Maret lalu vroduksi rata-rata sehari baru mencapai sekitar 1,2 juta barrel, maka bulan berikutnya sudah bisa naik menjadi sekitar 1,4 juta barrel. Bulan berikutnya, sampai Juni, terjadi kenaikan serba sedikit. Tapi yang menarik adalah produksi minyak di bulan Juli dan Agustus, yang meloncat menjadi 1,54 juta barrel rata-rata sehari. "Sungguh suatu prestasi, keadaannya sudah seperti dulu," kata seorang pengusaha minyak asing di Jakarta kepada TEMPO pekan lalu. Perlu dicatat, produksi yang mulai kembali stabil itu sudah termasuk jenis condensate, yang oleh organisasi pengekspor minyak (OPEC) dianggap sebagai bukan minyak mentah tulen. OPEC dalam setiap sidangnya tak jemu-jemunya mengingatkan agar anggotanya, yang suka mengatrol produksi minyaknya di atas kuota, membatasi diri. Itu pula yang antara lain dikemukakan oleh Saeed Mana Al Otaiba, ketua panitia monitoring harga minyak OPEC, ketika bersidang di Wina pertengahan September lalu. Sulitnya, kesepakatan OPEC itu hanya sampai di meja perundingan. Dalam praktek, beberapa anggota, seperti Iran, Nigeria, dan terakhir juga Arab Saudi, telah memproduksikan di atas kuota masing-masing. Sehingga, menurut Al-Otaiba kuota total OPEC yang 17,5 juta barrel sehari terakhlr tercatat naik menjadi 1 juta barrel - berlebih 500.000 barrel sehari. (TEMPO 1 Oktober). Negara yang memproduksikan di atas kuota, seperti Iran dan Arab Saudi, dikabarkan telah merasuki pasaran Jepang untuk menawarkan kelebihan minyaknya. Mereka juga bersedia memberikan potongan harga yang menarik. Ini tentu menyulitkan posisi Indonesia yang mempunyai pasaran tradisional, dan terbesar, di Jepang. Lagi pula, sekitar 60 persen ekspor minyak dari Indonesia ke Jepang biasanya digunakan untuk pembangkit tenaga listrik, bukan untuk diolah menjadi minyak tanah (kerosin). Seperti diketahui, sudah beberapa waktu lalu, berbagai perusahaan listrik sedang menghadapi kesulitan, karena permintaan akan kebutuhan tenaga listrik belum bertambah. Perusahaan listrik di Jepang juga banyak yang membeli LNG (gas alam cair) dari Indonesia, yang sudah dikontrak untuk masa 20 tahun oleh lima perusahaan di sana yang tergabung dalam Jilco (Japan Indonesia LNG Company). Maka, untuk menembus pasaran yang agak kendur itu, direktur utama Pertamina Joedo Sumbono bertolak ke Tokyo akhir September lalu. Joedo, atas pertanyaan TEMPO awal minggu ini, belum bersedia memberi komentar tentang hasil kunjungannya. Tapi beberapa sumber menduga, pihak Jepang sudah sepakat mempertahankan pembelian 15 persen minyak dari Indonesia, dari kebutuhan total mereka. Koresponden TEMPO di Jepang, Seichi Okawa, melaporkan bahwa Joedo Sumbono telah bertemu dengan PM Jepang Yasuhiro Nakasone pada 1 Oktober lalu di Tokyo Mereka berunding selama setengah jam, dan Nakasone berjanji akan tetap mempertahankan persi pembeliannya dari Indonesia sebanyak 15 persen itu. "Tak akan ada negara Jepang tanpa minyak dari Indonesia," kata Nakasone seusai pertemuan. Menurut statistik yang dikeluarkan MITI (Departemen Perdagangan dan Industrl Internasional Jepang), minyak Indonesia yang dibeli Jepang antara Januari dan Juni tahun ini rata-rata mencapai 14,65 persen dari seluruh kebutuhan minyak negeri itu. Selama Januari, bagian minyak Indonesia yang masuk ke Jepang tercatat 14,80 persen, bulan berikutnya turun menjadi 13,16 persen, tapi meningkat sampai 16,70 persen pada Maret. Angka itu turun lagi menjadi 14,94 persen, pada Arpil lalu naik menjadi 15,54 persen di bulan Mei. Tapi, Juni lalu, porsi minyak Indonesia yang dibeli Jepang merosot menjadi hanya 12,79 persen (lihat Tabel). Indonesia tentu menginginkan ekspor minyaknya ke Jepang mencapai rekor seperti di tahun 1981. Waktu itu, menurut statistik MITI, seluruh minyak yang masuk ke Jepang mencapai 230 juta kilo liter. Sebanyak 36 juta kilo liter atau 15,8 persen datang dari Indonesia. Di tahun 1982, kebutuhan total minyak Jepang menurun sedikit, menjadi 212 juta kilo liter. Dan porsi Indonesia ketika itu masih bertahan sebesar 15,4 persen, atau 32,60 juta kilo liter. Maka, untuk mengatasi kesulitan ekspor minyak dan menghadapi saingan dari negara lain, Indonesia, untuk sementara, memberikan keringanan harga, antara lain kepada pembcei di Jepang. Salah satu cara adalah dengan menempuh mekanisme yang disebut swap: pihak pembeli di Jepang menetapkan harga pada saat minyak itu ditandatangani kontraknya untuk jangka waktu tertentu. Itu dimaksudkan untuk menghindari pembeli rugi karena perbedaan kurs yen terhadap dollar AS yang sering turun naik belakangan ini. Cara lain, menurut seorang pejabat dari Far East Oil Trading Co. di Tokyo - pembeli tetap minyak Indonesia - adalah dengan memberikan keringanan harga di bawah harga patokan yang US$ 29,53 per barrel (1 barrel = 159 liter). "Jumlahnya tak banyak, 40.000 - 50.000 barrel sehari dengan keringanan harga US$ 0,80 - 1 per barrel tergantung jenisnya," katanya. Penjualan dengan harga ekstra itu jumlahnya diduga terbatas antara 150 dan 200 ribu barrel rata-rata sehari. Selain ke Jepang, juga diekspor ke pasaran di AS dan Singapura. Beberapa pembeli di Jepang memperkirakan, angin baik untuk minyak Indonesia akan bertiup ketika Jepang memasuki musim dingin di kuartal keempat tahun ini. Itu pula yang menjadi harapan OPEC. Ketua panitia monitoring, Al-Otaiba, ketika di Wina juga berharap seluruh minyak OPEC yang bisa ditampung, pasaran akan mencapai 20 juta barrel rata-rata sehari selama kuartal terakhir tahun ini. Dalam kuartal pertama dan kedua, produksi total OPEC, teorinya, dibatasi sekitar 15 juta barrel sehari. Apakah penduduk di negeri industri akan menggigil dalam musim dingin ini, baik kita tunggu. Tapi banyak eksportir minyak kini semakin mengerling ke AS. Sekalipun neraca perdagangan negeri itu diduga akan menderita defisit besar tahun ini, dan suku bunga banknya tetap tinggi, tingkat pertumbuhan di AS akhir kuartal kedua tahun 1983 telah mencatat rekor 9,2 persen. Dewan Ekonomi Time, seperti dilaporkan majalah itu 26 September lalu, meramalkan tingkat pertumbuhan yang mengesankan itu akan turun sedikit, tapi akan tetap kuat, dengan tingkat inflasi yang tergolong sedang, di bawah enam persen. Tingkat pengangguran pun diduga akan berangsur turun. Kalau ramalan itu benar, Indonesia, yang punya pasaran minyak di sana, pasti tak akan diam, meskipun - seperti kata seorang pejabat - harus menawarkan harga yang lebih ringan untuk sebagian ekspor minyaknya. Paling tidak untuk memperbaiki neraca pembayaran tahun fiskal ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus