PRODUKSI minyak Indonesia diam-diam mulai membaik. Kalau pada
bulan Maret lalu vroduksi rata-rata sehari baru mencapai sekitar
1,2 juta barrel, maka bulan berikutnya sudah bisa naik menjadi
sekitar 1,4 juta barrel. Bulan berikutnya, sampai Juni, terjadi
kenaikan serba sedikit.
Tapi yang menarik adalah produksi minyak di bulan Juli dan
Agustus, yang meloncat menjadi 1,54 juta barrel rata-rata
sehari. "Sungguh suatu prestasi, keadaannya sudah seperti dulu,"
kata seorang pengusaha minyak asing di Jakarta kepada TEMPO
pekan lalu.
Perlu dicatat, produksi yang mulai kembali stabil itu sudah
termasuk jenis condensate, yang oleh organisasi pengekspor
minyak (OPEC) dianggap sebagai bukan minyak mentah tulen. OPEC
dalam setiap sidangnya tak jemu-jemunya mengingatkan agar
anggotanya, yang suka mengatrol produksi minyaknya di atas
kuota, membatasi diri. Itu pula yang antara lain dikemukakan
oleh Saeed Mana Al Otaiba, ketua panitia monitoring harga minyak
OPEC, ketika bersidang di Wina pertengahan September lalu.
Sulitnya, kesepakatan OPEC itu hanya sampai di meja perundingan.
Dalam praktek, beberapa anggota, seperti Iran, Nigeria, dan
terakhir juga Arab Saudi, telah memproduksikan di atas kuota
masing-masing. Sehingga, menurut Al-Otaiba kuota total OPEC yang
17,5 juta barrel sehari terakhlr tercatat naik menjadi 1 juta
barrel - berlebih 500.000 barrel sehari. (TEMPO 1 Oktober).
Negara yang memproduksikan di atas kuota, seperti Iran dan Arab
Saudi, dikabarkan telah merasuki pasaran Jepang untuk menawarkan
kelebihan minyaknya. Mereka juga bersedia memberikan potongan
harga yang menarik. Ini tentu menyulitkan posisi Indonesia yang
mempunyai pasaran tradisional, dan terbesar, di Jepang. Lagi
pula, sekitar 60 persen ekspor minyak dari Indonesia ke Jepang
biasanya digunakan untuk pembangkit tenaga listrik, bukan untuk
diolah menjadi minyak tanah (kerosin).
Seperti diketahui, sudah beberapa waktu lalu, berbagai
perusahaan listrik sedang menghadapi kesulitan, karena
permintaan akan kebutuhan tenaga listrik belum bertambah.
Perusahaan listrik di Jepang juga banyak yang membeli LNG (gas
alam cair) dari Indonesia, yang sudah dikontrak untuk masa 20
tahun oleh lima perusahaan di sana yang tergabung dalam Jilco
(Japan Indonesia LNG Company).
Maka, untuk menembus pasaran yang agak kendur itu, direktur
utama Pertamina Joedo Sumbono bertolak ke Tokyo akhir September
lalu. Joedo, atas pertanyaan TEMPO awal minggu ini, belum
bersedia memberi komentar tentang hasil kunjungannya. Tapi
beberapa sumber menduga, pihak Jepang sudah sepakat
mempertahankan pembelian 15 persen minyak dari Indonesia, dari
kebutuhan total mereka.
Koresponden TEMPO di Jepang, Seichi Okawa, melaporkan bahwa
Joedo Sumbono telah bertemu dengan PM Jepang Yasuhiro Nakasone
pada 1 Oktober lalu di Tokyo Mereka berunding selama setengah
jam, dan Nakasone berjanji akan tetap mempertahankan persi
pembeliannya dari Indonesia sebanyak 15 persen itu. "Tak akan
ada negara Jepang tanpa minyak dari Indonesia," kata Nakasone
seusai pertemuan.
Menurut statistik yang dikeluarkan MITI (Departemen Perdagangan
dan Industrl Internasional Jepang), minyak Indonesia yang dibeli
Jepang antara Januari dan Juni tahun ini rata-rata mencapai
14,65 persen dari seluruh kebutuhan minyak negeri itu. Selama
Januari, bagian minyak Indonesia yang masuk ke Jepang tercatat
14,80 persen, bulan berikutnya turun menjadi 13,16 persen, tapi
meningkat sampai 16,70 persen pada Maret. Angka itu turun lagi
menjadi 14,94 persen, pada Arpil lalu naik menjadi 15,54
persen di bulan Mei. Tapi, Juni lalu, porsi minyak Indonesia
yang dibeli Jepang merosot menjadi hanya 12,79 persen (lihat
Tabel).
Indonesia tentu menginginkan ekspor minyaknya ke Jepang mencapai
rekor seperti di tahun 1981. Waktu itu, menurut statistik MITI,
seluruh minyak yang masuk ke Jepang mencapai 230 juta kilo
liter. Sebanyak 36 juta kilo liter atau 15,8 persen datang dari
Indonesia. Di tahun 1982, kebutuhan total minyak Jepang menurun
sedikit, menjadi 212 juta kilo liter. Dan porsi Indonesia ketika
itu masih bertahan sebesar 15,4 persen, atau 32,60 juta kilo
liter.
Maka, untuk mengatasi kesulitan ekspor minyak dan menghadapi
saingan dari negara lain, Indonesia, untuk sementara, memberikan
keringanan harga, antara lain kepada pembcei di Jepang. Salah
satu cara adalah dengan menempuh mekanisme yang disebut swap:
pihak pembeli di Jepang menetapkan harga pada saat minyak itu
ditandatangani kontraknya untuk jangka waktu tertentu. Itu
dimaksudkan untuk menghindari pembeli rugi karena perbedaan kurs
yen terhadap dollar AS yang sering turun naik belakangan ini.
Cara lain, menurut seorang pejabat dari Far East Oil Trading Co.
di Tokyo - pembeli tetap minyak Indonesia - adalah dengan
memberikan keringanan harga di bawah harga patokan yang US$
29,53 per barrel (1 barrel = 159 liter). "Jumlahnya tak banyak,
40.000 - 50.000 barrel sehari dengan keringanan harga US$ 0,80 -
1 per barrel tergantung jenisnya," katanya.
Penjualan dengan harga ekstra itu jumlahnya diduga terbatas
antara 150 dan 200 ribu barrel rata-rata sehari. Selain ke
Jepang, juga diekspor ke pasaran di AS dan Singapura. Beberapa
pembeli di Jepang memperkirakan, angin baik untuk minyak
Indonesia akan bertiup ketika Jepang memasuki musim dingin di
kuartal keempat tahun ini.
Itu pula yang menjadi harapan OPEC. Ketua panitia monitoring,
Al-Otaiba, ketika di Wina juga berharap seluruh minyak OPEC yang
bisa ditampung, pasaran akan mencapai 20 juta barrel rata-rata
sehari selama kuartal terakhir tahun ini. Dalam kuartal pertama
dan kedua, produksi total OPEC, teorinya, dibatasi sekitar 15
juta barrel sehari.
Apakah penduduk di negeri industri akan menggigil dalam musim
dingin ini, baik kita tunggu. Tapi banyak eksportir minyak kini
semakin mengerling ke AS. Sekalipun neraca perdagangan negeri
itu diduga akan menderita defisit besar tahun ini, dan suku
bunga banknya tetap tinggi, tingkat pertumbuhan di AS akhir
kuartal kedua tahun 1983 telah mencatat rekor 9,2 persen.
Dewan Ekonomi Time, seperti dilaporkan majalah itu 26 September
lalu, meramalkan tingkat pertumbuhan yang mengesankan itu akan
turun sedikit, tapi akan tetap kuat, dengan tingkat inflasi yang
tergolong sedang, di bawah enam persen. Tingkat pengangguran pun
diduga akan berangsur turun.
Kalau ramalan itu benar, Indonesia, yang punya pasaran minyak di
sana, pasti tak akan diam, meskipun - seperti kata seorang
pejabat - harus menawarkan harga yang lebih ringan untuk
sebagian ekspor minyaknya. Paling tidak untuk memperbaiki neraca
pembayaran tahun fiskal ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini