Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Menhub Klaim Pendapatan Sopir Ojol Naik Berkat Motor Listrik, SPAI Ungkap Sebaliknya

Pengemudi ojol terbebani biaya sewa motor listrik yang harus dibayar setiap harinya.

30 Juli 2023 | 01.36 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pengemudi ojek online (ojol) menunggu penumpang di kawasan Stasiun Manggarai, Jakarta, Senin 21 September 2020. Minimnya pengawasan, pengemudi ojol masih banyak ditemukan berkerumun saat menunggu penumpang. Padahal, Pemprov DKI Jakarta telah membuat larangan ojol dan ojek pangkalan berkumpul lebih dari lima orang serta menjaga jarak sepeda motor minimal dua meter. TEMPO/Subekti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati merespons klaim Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi bahwa pendapatan sopir ojek online atau ojol naik berkat adanya motor listrik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Lily, pernyataan tersebut tidak benar lantaran para pengemudi ojol terbebani biaya sewa motor listrik yang harus dibayar setiap harinya. "Fakta yang terjadi justru sebaliknya, karena pengemudi ojol terpaksa bekerja tanpa libur untuk membayar sewa motor listrik ke aplikator," kata Lily dalam keterangannya kepada Tempo, Sabtu malam, 29 Juli 2023. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia mengungkapkan para sopir ojol terdesak untuk bekerja dari pagi buta hingga larut malam karena mereka setiap hari diwajibkan menyetor biaya sewa sebesar Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu. Alhasil, sopir ojol tetap harus membayar sewa motor listrik meski saat tidak bisa bekerja karena sakit. 

Kondisi ini dinilai sangat memberatkan, terlebih bagi pengemudi ojol perempuan yang sedang haid atau hamil. Alih-alih mendapatkan cuti haid atau cuti hamil, tutur Lily, sopir ojol perempuan dipaksa untuk mengeluarkan biaya sewa motor listrik.

Karena itu, Lily menilai pernyataan Budi merupakan wujud ketidakhadiran negara bagi para pengemudi ojek online. Menurutnya, klaim Menhub tersebut juga menunjukkan tidak berpihaknya pemerintah pada kepentingan pengemudi ojol. 

Lebih lanjut, ia menekankan kondisi kerja yang tidak layak ini disebabkan oleh status kerja sopir ojol. Seperti diketahui, sopir ojol masih dianggap sebagai mitra oleh aplikator sehingga tidak bisa menuntut hak-haknya seperti karyawan. 

Status mitra ini, menurut SPAI, juga diperburuk dengan adanya aturan yang tertuang di dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019. Dalam beleid itu disebutkan bahwa hubungan aplikator dengan pengemudi ojol adalah hubungan kemitraan. "Aturan ini sangat tidak berdasar dan berpihak kepada aplikator," kata Lily. 

Dengan demikian, SPAI menuntut agar Budi Karya Sumadi membatalkan aturan tersebut. Pasalnya, penentuan status hubungan kerja bukan wewenang Menhub. Selain itu, Lily menggarisbawahi aturan itu bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Alasannya, dalam undang-undang tersebut, status pengemudi ojol adalah pekerja yang mendapatkan upah, mendapatkan perintah dan pekerjaan dari aplikator.

SPAI menilai pemerintah hingga saat ini masih belum berani menetapkan pengemudi ojol sebagai pekerja. Seharusnya sesuai ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, pengemudi ojol berhak atas status pekerja. 

Dengan status pekerja, pengemudi ojol berhak mendapatkan upah minimum setiap bulannya, upah lembur, jam kerja 8 jam, hari istirahat, jaminan sosial hingga membentuk serikat pekerja.

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Reporter di Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus