Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menjaring WP Baru

Petugas pajak mulai menjaring pemilik toko, pemilik kartu kredit, penghuni rumah mewah, dan pemilik mobil seharga Rp 200 juta lebih sebagai wajib pajak. Hasilnya lumayan untuk menambal defisit APBN.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA tentu tidak boleh kalah dari Batam. Akhir Juli lalu, pulau kecil yang bertetangga dengan Singapura itu berhasil menambah wajib pajak (WP) sebanyak 5.084 orang. Penerimaan pajaknya untuk semester I tahun 2001 juga melampaui target—dari Rp 508 miliar menjadi Rp 512 miliar. Padahal, baik jumlah petugas pajak maupun prasarananya jauh dari memadai. Gebrakan menambah jumlah wajib pajak kini menggema di mana-mana. Dan hal itu erat kaitannya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2001, yang mengandalkan 70 persen penerimaannya dari pajak. Di Jakarta, gebrakan itu menghasilkan 6.800 WP baru akhir bulan lalu. Jumlah ini pasti bertambah karena penyisiran (canvassing) WP itu baru dilakukan di Pusat Pertokoan Glodok, Roxy, dan Manggadua. Tak mengherankan bila Era Hendrayani, seorang pedagang di Pasarminggu, Jakarta Selatan, belum "terjaring" petugas pajak. Penghasilannya sehari rata-rata Rp 1 juta. Tak jelas berapa keuntungannya. Tapi tiap bulan ia harus membayar seorang pegawai, iuran pengusaha pasar Rp 160 ribu, telepon, dan listrik. Pajak? "Enggak ada," jawabnya, jujur. Pedagang-pedagang bebas pajak seperti Era inilah yang diincar Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Departemen Keuangan. Gagasan menjaring wajib pajak dari pedagang pengecer terilhami oleh pedagang elektronik di Glodok, Jakarta Barat. Mereka selama ini tidak terkena pajak penghasilan (PPh) ataupun pajak pertambahan nilai (PPN). Padahal, "Pedagang yang memiliki toko 3 kali 4 meter punya omzet miliaran rupiah," kata Rozikun, konsultan pajak. Karena tak terkena pajak, harga barang-barang elektronik yang dijual bisa lebih murah. Untuk itu, dibuatlah perhitungan pajak tersendiri. Pasalnya, pedagang kecil tidak mencatat kegiatan usahanya seperti perusahaan besar. "Masuk kantong kiri, keluar kantong kanan," kata Direktur Jenderal Pajak, Hadi Purnomo. Pedagang yang mempunyai satu toko dikenai pajak penghasilan antara 5 persen dan 35 persen tiap tahun. Kalau rugi dan kerugian itu bisa dibuktikan, pedagang tidak usah membayar pajak. Adapun pedagang yang mempunyai toko lebih dari satu dikenai pajak satu persen dari omzet penjualannya, yang dibayar tiap bulan. Mungkin juga sang pedagang memiliki usaha lain di samping berdagang di toko. Maka, semua penghasilannya dijumlah dan dikurangi pajak pertambahan nilai dari tokonya yang sudah dibayar tiap bulan. Tentu saja, kekhawatiran selalu ada. "Kalau toko kecil kena, aparatnya saja yang over action," ucap Rozikun. Selain itu, moral petugas pajak juga patut dipertanyakan. Bisa jadi, mereka akan memakai Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 untuk memeras pedagang. Kalau itu terjadi, tutur Rozikun, program itu tidak akan efektif dan akan jadi bumerang bagi pajak dalam kondisi yang serba sulit ini. Namun, Dirjen Pajak Hadi Purnomo menyangkal kemungkinan seperti itu. Menurut Hadi, pedagang sayur di pasar tradisional tidak dipajaki. Jauh-jauh hari, pihaknya memang sudah memperkirakan bahwa program ini akan mengalami kesulitan. Untuk itu, pajaknya hanya ditarik satu persen. "Kalau sudah berjalan dengan baik, persentasenya baru kita tingkatkan," kata Taufik Herman, Direktur Pajak Pertambahan Nilai Ditjen Pajak. Menjaring pedagang bukanlah satu-satunya cara menambah wajib pajak. Sebelumnya, Ditjen Pajak berhasil "menuntun" sejumlah pejabat agar mengisi nomor pokok wajib pajak (NPWP). Selain itu, jaring pajak juga diarahkan ke permukiman mewah, seperti Pondokindah di Jakarta Selatan. Mendongkrak jumlah wajib pajak juga di- lakukan dengan mewajibkan pemilik kartu keluarga dan pemilik kartu kredit—dengan nominal kredit Rp 10 juta—memiliki NPWP. NPWP juga wajib dimiliki oleh mereka yang ingin mendapatkan paspor, membeli mobil seharga lebih dari Rp 200 juta, membangun rumah senilai Rp 1 miliar, dan mereka yang berpenghasilan di atas penghasilan tidak kena pajak atau di atas Rp 2,8 juta per tahun. Berbagai kiat itu akhirnya membuahkan hasil. Jumlah WP meningkat dari 1,3 juta menjadi 1,9 juta WP pribadi. Sedangkan penerimaan pajak selama tujuh bulan ini sebesar Rp 98,2 triliun rupiah, lebih besar dari perkiraan Rp 97,7 triliun. Sementara itu, target penerimaan pajak untuk tahun 2001 sebesar Rp 156,6 triliun. Tambahan itu setidaknya bisa menekan defisit APBN yang Rp 57 triliun lebih atau 3,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). Masalahnya, bagaimana petugas pajak yang selama 32 tahun Orde Baru tidak pernah agresif—dalam melakukan intensifikasi ataupun ekstensifikasi pajak—tiba-tiba dituntut bekerja keras? Bahkan, mereka juga tidak bisa lagi bekerja sebatas target karena kebiasaan ini membuat banyak pembayar pajak potensial lolos. Lebih dari itu, kini petugas pajak diharapkan mampu memasok kas negara sebanyak-banyaknya, hidup sederhana, dan jangan lagi ber-KKN. Memang berat nian, tapi bukankah hal-hal semacam itu sudah sejak dulu wajib dilakukan? Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus