Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Inikah Akhir Sengketa PLN Vs OPIC?

Mantan Menteri Keuangan Rizal Ramli menandatangani perjanjian pembayaran klaim OPIC senilai US$ 260 juta. Karena Rizal sudah mengundurkan diri dan persetujuan itu tidak didukung DPR, keabsahannya layak dipertanyakan.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASA jabatan Rizal sebagai Menteri Keuangan memang sangat pendek, cuma 40 hari. Tapi, dalam masa yang teramat pendek itu, Rizal sempat mengambil keputusan yang sangat kontroversial. Pada Selasa, 31 Juli silam, bersama Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert Gelbard, Rizal meneken persetujuan pembayaran klaim kepada Overseas Private Investment Corporation (OPIC) senilai US$ 260 juta atau sekitar Rp 2,5 triliun. Padahal saat itu kabinet sudah berstatus demisioner dan para menteri tak lagi berwenang membuat keputusan penting. Lebih dari itu, Rizal sendiri sudah mengundurkan diri pada Minggu, 22 Juli lalu. Apa pun alasan Rizal, penandatanganan itu jelas memberatkan Indonesia. Pembayaran klaim memang dilakukan dengan skema Paris Club, yang tergolong ringan (bunga 6 1/8 persen per tahun, grace period 3 tahun, dan jangka pembayaran 14 tahun). Tapi, bagi Indonesia, yang sedang terpuruk, hal itu lebih tepat disebut penghamburan yang tidak perlu. Teman dekat Rizal mengungkapkan, sang Menteri demisioner meneken persetujuan itu tak lain karena secara prinsip sudah disetujui oleh Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo, yang digantikannya. "Prosesnya normal dan kita ingin segera menyelesaikannya. Sebab, jika tidak dibayar, masalah utang tidak akan segera beres," kata sumber ini, menirukan ucapan Rizal. Rizal tampaknya lupa bahwa Prijadi belum menandatangani persetujuan klaim OPIC karena belum mendapat lampu hijau dari DPR. Persetujuan DPR mutlak diperlukan karena pembayaran klaim OPIC akan menggunakan anggaran negara. Sukowaluyo Mintohardjo dari Komisi IX, yang dihubungi TEMPO, mengaku belum mengetahui soal itu. Yang dia tahu pasti ialah, DPR belum memberikan persetujuan ke pemerintah untuk membayar klaim tersebut. "DPR akan meminta BI agar tidak membayar klaim itu karena keputusan tersebut diambil Rizal ketika kabinet sudah demisioner," Sukowaluyo menegaskan. Sumber TEMPO di Bank Indonesia juga menyatakan, pihaknya tidak akan mengeluarkan uang sepeser pun. "Kita tidak ingin disalahkan. Sebelum ada persetujuan dari presiden dan DPR, kita tidak akan membayarnya meskipun Rizal sudah menekennya," katanya. Adapun sumber TEMPO di Departemen Keuangan mengungkapkan, Rizal terdesak waktu. Semasa menjabat Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Rizal sudah bersepakat dengan OPIC dan pemerintah AS tentang persyaratan pembayaran klaim tersebut. Ketika itu juga disepakati bahwa sengketa ini akan diselesaikan sebelum 31 Juli 2001. Ternyata, arus politik bergerak lebih cepat. Sidang Istimewa MPR dipercepat dan Presiden Abdurrahman Wahid digantikan Megawati Sukarnoputri pada 23 Juli 2001. Itulah realitas politik. Anehnya, perubahan yang begitu penting itu tidak membuat Rizal mengkaji sikapnya kembali. Dia pun mengambil-alih wewenang yang seharusnya ada di tangan Menteri Keuangan yang baru. Tentang perilakunya ini, Rizal tutup mulut. Menteri Perekonomian (demisioner) Burhanuddin Abdullah, yang juga menjabat Ketua Tim Keppres 133, tak mau berkomentar tentang ini. "Itu masalah operasional. Tanya saja kepada Pak Rizal. Saya juga tak merasa di-langkahi," katanya. Urusan klaim OPIC ini memang berat karena menyangkut kepentingan pemerintah AS. Berkali-kali Bob Gelbard mengancam akan menyita aset pemerintah atau PLN jika tidak membayar klaim OPIC. Pemerintah AS juga terlibat secara intensif. Setiap langkah OPIC selalu mendapat dukungan dari pemerintah AS, termasuk ketika perusahaan asuransi milik pemerintah AS itu mengancam akan menyelesaikan masalah ini secara sepihak jika tidak selesai 1 Mei lalu. Kabarnya, pemerintah AS juga mengancam tak akan meneken perjanjian penjadwalan utang dalam Paris Club jika Indonesia tak mau membayar klaim OPIC tersebut. Adapun sumber TEMPO di Departemen Keuangan menceritakan, Selasa sore itu Konsul Ekonomi Kedubes AS, Sahri Vilarosa, mendatangi Rizal dan menyerahkan sepucuk surat berisi final agreement (kesepakatan akhir) yang sudah ditandatangani oleh Chief Executive Officer (CEO) OPIC, Peter Watson. Isinya berkisar tentang kesanggupan pemerintah Indonesia membayar klaim OPIC. Rizal Ramli lalu menandatanganinya, kendati sudah berstatus demisioner. Tentang ini, Konsul Urusan Public Affair Kedutaan AS di Jakarta, Greta N. Morris, tak bersedia menjawab pertanyaan TEMPO. "No Comment," katanya pendek. Selain klaim OPIC, dalam persetujuan itu Indonesia juga diharuskan membayar utang MidAmerican Energy (investor PLTP Dieng dan Patuha) kepada tiga kreditor: Credit Suisse First Boston, BNP Paribas, dan MBIA Insurance Corporation. Pembayaran ini akan dilakukan oleh perusahaan patungan Pertamina dan PLN yang dibentuk Jumat pekan lalu. Secara teoretis, perusahaan ini akan membayar utang itu dalam jangka 20 tahun dengan harga jual listrik ke PLN US$ 0,042 per kWh. "Repotnya, Pertamina juga mengklaim sudah menginvestasikan US$ 85 juta untuk sumur gasnya," kata sumber TEMPO tersebut. Jika urusan ini ikut dihitung, perusahaan patungan itu baru bisa balik modal setelah beroperasi 30 tahun. Runyamnya, pasokan gas untuk Dieng diperkirakan habis setelah 15 tahun. Jadi, perusahaan patungan ini hanya bekerja sukarela untuk membayar utang kepada MidAmerican Energy. Kasus klaim OPIC bermula dari investasi yang dilakukan MidAmerican Energy (dulu Cal Energy) untuk membangun PLTP di Dieng (Jawa Tengah) dan Patuha (Jawa Barat). Karena tak punya dana, pemerintah kemudian menunda proyek Dieng dan membatalkan Patuha. MidAmerican meradang dan menggugat PLN ke Arbitrase Internasional. Setelah melewati sejumlah sidang, Arbitrase Internasional memutuskan PLN harus membayar ganti rugi US$ 572 juta kepada MidEnergy (lihat infografik). PLN tak tinggal diam. BUMN ini mengajukan kasus tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pertamina pun ikut menggugat karena aset miliknya dianggap milik MidAmerican. Di luar dugaan, Presiden Abdurrahman Wahid malah meminta PLN mencabut gugatan itu. Padahal PLN memiliki senjata pamungkas yang membuka peluang bagi BUMN ini untuk keluar sebagai pemenang. Ada sejumlah fakta yang tak sempat diajukan ke pengadilan, antara lain menyangkut hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 8 Agustus 1999. BPKP antara lain menyimpulkan bahwa proyek ini sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme, dari tidak adanya tender sampai penggelembungan nilai proyek. Berdasarkan audit internal PLN, nilai wajar Dieng mestinya cuma US$ 140 juta. Tapi klaim yang diajukan MidAmerican mencapai hampir US$ 400 juta. Proyek Patuha lebih gila lagi. Proyek yang baru dibangun 10 persen itu dinilai US$ 180 juta. Selain itu, MidAmerican secara sepihak juga menaikkan kapasitas PLTP Dieng dari 20 MW menjadi 60 MW. Yang lebih gawat, seperti dikatakan pengacara PLN, Maqdir Ismail, MidAmerican Energy melakukan pembayaran dividen di muka bagi pemegang saham lokal (Himpurna/Himpunan Purnawirawan ABRI) sebesar US$ 5.000 setiap bulan, jauh sebelum proyek beroperasi. Tapi, Presiden Abdurrahman Wahid sudah menjatuhkan pilihan. Meski peluang menang cukup besar, PLN dipaksa nrimo. Padahal, jika dilanjutkan dan PLN bisa membuktikan adanya penyuapan, klaim OPIC tak perlu dibayar. Sebaliknya, MidAmerican Energy yang akan dihukum karena melanggar The Foreign Corrupt Practices Act. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Dan Rizal Ramli telah "memasaknya" dengan sempurna, ketika negeri sedang rawan dan kabinet tak lagi berwenang. M. Taufiqurohman, Dewi Rina Cahyani, Rommy Fibri
Kronologi Kasus Dieng-Patuha Desember 1994 PLN meneken perjanjian pembelian listrik dari PLTP Patuha (Patuha Power). Desember 1996 PLN meneken perjanjian pembelian listrik dari PLTP Dieng (Himpurna Cal Energy). Maret 1997 Pemerintah menunda PLTP Dieng dan membatalkan PLTP Patuha. Agustus 1998 Himpurna Cal Energy dan Patuha Power mengajukan PLN ke Arbitrase Internasional. Sidang arbitrase pertama: Oktober 1998-April 1999. 4 Mei 1999 Arbitrase Internasional menetapkan PLN membayar ganti rugi US$ 391,7 juta kepada Dieng dan US$ 180,6 juta kepada Patuha. Akhir Mei 1999 Himpurna dan Patuha mengajukan arbitrase kedua dengan pemerintah RI c.q. Departemen Keuangan sebagai tergugat. 9 Juni 1999 PLN menggugat Himpurna dan Patuha ke PN Jakarta Pusat. Pertamina ikut menggugat karena asetnya dianggap milik Himpurna dan Patuha. 19 Juli 1999 PN Jakarta Pusat mengeluarkan keputusan provisi yang melarang pelaksanaan arbitrase kedua sampai kasus Pertamina berkekuatan tetap. 26 September 1999 Arbitrase Internasional menolak keputusan PN Jakarta Pusat. 5 Oktober 1999 Pemerintah menggugat Arbitrase Internasional di PN Jakarta Selatan karena mereka menolak keputusan PN Jakarta Pusat. 15 November 1999 MidAmerican Energy (pemegang saham Himpur-na dan Patuha) mengklaim ke OPIC, dan perusahaan asuransi milik pemerintah AS ini membayar ganti rugi US$ 290 juta. Akhir November 1999 OPIC ganti menagih kepada pemerintah Indonesia. 22 Desember 1999 Presiden Abdurrahman Wahid memerintahkan penyelesaian di luar pengadilan. 3 Februari 2000 PLN mencabut semua gugatan kepada Himpurna, Patuha, dan Paiton I. 7 Maret 2000 Menkeu Bambang Sudibyo di depan Komisi VIII DPR RI menyatakan tidak akan membayar tagihan OPIC. Hadir di sana Menko Ekuin Kwik Kian Gie dan Meneg Penanaman Modal/PBUMN Laksamana Sukardi. 16-25 Juli 2000 PLN beruding dengan OPIC di Washington. Akhir Juli 2000 Bambang Sudibyo berkata akan membayar klaim OPIC setelah ada persetujuan DPR. 22 November 2000 PN Jakarta Pusat memenangkan gugatan Pertamina dan keputusan itu membatalkan keputusan Arbitrase Internasional. 24 April 2001 Menkeu Prijadi Praptosuhardjo meminta agar pembayaran klaim OPIC harus disetujui DPR 26 April 2001 Konsul Ekonomi Kedutaan Besar AS di Indonesia, Judith R. Fergin mengirim surat kepada Direktur Utama PLN, Eddi Widiono. Isinya: dia bersepakat dengan OPIC agar kasus ini diselesaikan sebelum 1 Mei 2001. 1 Mei 2001 Menteri Perekonomian Rizal Ramli sebagai Ketua Tim Keppres 133 memutuskan Indonesia akan membayar klaim OPIC senilai US$ 260 juta dengan bunga 6 1/8 persen dengan grace periods 3 tahun dan jangka waktu 14 tahun. 22 Juli 2001 Menkeu Rizal Ramli mengundurkan diri dari jabatannya. 23 Juli 2001 Megawati terpilih menjadi presiden, dan kabinet demisioner. 31 Juli 2001 Rizal bersama Duta Besar AS untuk Indonesia, Robert Gelbard, meneken perjanjian pembayaran utang kepada OPIC senilai US$ 260 juta dengan skema Paris Club, tanpa persetujuan dari DPR. 3 Agustus 2001 PLN dan Pertamina membentuk perusahaan patungan untuk menggarap Dieng. Perusahaan ini wajib membayar utang Dieng US$ 140 juta kepada tiga kreditor MidAmerican Energy. Sumber: dari berbagai sumber

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus