Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mengungkap kendala penyaluran bantuan sosial (Bansos) yang dialami pemerintah pada tahun 2023. Menurut dia, kendala itu berhubungan dengan proses pemeriksaan data penerima yang tidak sesuai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari ini Risma dan tiga menteri lain diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa pemilihan presiden. Penyaluran Bansos menjelang masa pemilihan presiden dipersoalkan karena dianggap telah dipolitisasi dan menyebabkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka unggul dibanding pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dalam sidang lanjutan sengketa pemilihan presiden (Pilpres) di Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Risma membeberkan sejumlah persoalan akurasi data dalam penyaluran Bansos tersebut. Antara lain terkait temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai sejumlah penerima Bansos yang justru berprofesi sebagai Aparatur Sipil Negara atau ASN.
"Misalkan ditemukan oleh BPK, PNS jadi penerima. Nah, kami butuh waktu memastikan apakah iya dia PNS atau bukan. Jadi, itu salah satu penyebab kenapa 2023 itu agak mundur," kata Risma, Jumat, 5 April 2024.
Kemudian, Risma juga menyampaikan adanya data yang tak akurat, seperti calon penerima bansos yang terdata sebagai komisaris di dalam Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM, tetapi ternyata bekerja sebagai petugas kebersihan.
"Dia masuk di datanya AHU Kementerian Kumham. Di situ ditulis sebagai komisaris perusahaan A, tapi ternyata setelah kita cek lapang, dia hanya cleaning service," tuturnya.
Dalam kasus itu, Risma menyampaikan, pihaknya bersama BPK dapat memastikan bahwa calon penerima itu berasal dari kelompok miskin.
Lebih lanjut, Risma menyebut masalah lain yang ditemukan, seperti kurangnya fasilitas penunjang seperti ATM dan pos di beberapa daerah sehingga mempersulit penyaluran Bansos.
"Setelah kami dalami, ternyata orang di daerah, misalnya kayak Aceh, yang harus menyeberang, karena tidak ada ATM dan pos," ujarnya.
Ongkos menyeberang wilayah itu, Risma menjelaskan kerap membuat masyarakat harus mengeluarkan biaya yang besar.
"Yang diterima itu paling banyak Rp 450 ribu, nyebrangnya itu butuh Rp 600 ribu," ucapnya.