Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Meradang Garuda karena Avtur

Pertamina dituding menjual avtur lebih mahal ketimbang harga luar negeri. Komisi Pengawas Persaingan Usaha menelisik dugaan monopoli.

13 Oktober 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUH-kesah maskapai penerbangan dalam negeri mengenai mahalnya harga avtur diam-diam sampai ke Jalan H Juanda 36, Jakarta Pusat, tempat Komisi Pengawas Persaingan Usaha berkantor. Kendati tak ada laporan resmi yang masuk, lembaga ini menggunakan hak inisiatif untuk menyelidiki persoalan harga yang membelit bahan bakar pesawat terbang itu.

Direktur Pengkajian, Kebijakan, dan Advokasi KPPU Taufik Ahmad mengatakan Komisi telah memanggil dua pihak, Garuda Indonesia dan Pertamina, untuk dimintai keterangan, September lalu. "Kami ingin tahu mengapa avtur di Indonesia lebih mahal," katanya Selasa pekan lalu.

Garuda menjadi salah satu maskapai yang paling terkena dampak dari mahalnya harga avtur di Indonesia. Terlebih lagi dengan kian melemahnya nilai tukar rupiah saat ini, yang sudah menembus Rp 12 ribu per dolar Amerika Serikat. Garuda membeli avtur dengan dolar, tapi pendapatannya dalam rupiah. Akibatnya, pada semester pertama lalu, maskapai ini mencatat kerugian sampai US$ 211,73 juta atau naik dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 10,71 juta.

Vice President Corporate Communications Garuda Indonesia Pujobroto mengatakan, dalam situasi normal, komponen biaya avtur menyumbang 25 persen terhadap biaya operasional. Persentase ini bisa melonjak seiring dengan nilai tukar dolar yang terus menguat. "Kalau sekarang, bisa sampai 40 persen," katanya.

Terbang ke 24 kota di luar negeri membuat Garuda merasakan langsung perbedaan harga avtur antara di Jakarta dan ketika mengisi di Singapura, Tokyo, atau Amsterdam. Menurut Pujobroto, di kota-kota itu avtur dijual maksimal 5 persen dari harga yang tercantum dalam market oil prices, yang selama ini menjadi acuan harga avtur di seluruh dunia. "Semua rata-rata segitu," katanya.

Sedangkan di Jakarta, avtur yang dijual Pertamina bisa sampai 15 persen di atas harga pasar. "Di Indonesia timur, seperti di Sorong dan Manokwari, Papua, perbedaannya bisa lebih dari 15 persen," ujarnya.

Perbedaan itu amat berpengaruh bagi Garuda, yang bisa menghabiskan 1,8 miliar liter avtur dalam setahun. Artinya, dengan jumlah sebesar itu, kata Pujobroto, perbedaan sekian sen dolar saja berpengaruh signifikan terhadap keuangan perusahaan. Apalagi, dari jumlah konsumsi avtur tersebut, 70 persennya berasal dari domestik, yakni membeli dari Pertamina.

Tentu saja Pertamina tak mau dituduh sebagai biang masalah. Vice President Corporate Communications Pertamina Ali Mundakir mengatakan harga avtur yang dijual Pertamina tidak bisa dibandingkan dengan di Singapura atau kota-kota lain. "Tergantung suplai, avturnya dipasok dari mana," kata Ali.

Harga avtur di Bandara Changi di Singapura tidak banyak memakan ongkos transportasi karena letak kilangnya yang dekat dengan bandara, sehingga untuk distribusi cukup disalurkan melalui pipa. Sedangkan Bandara Soekarno-Hatta, yang letaknya di Tangerang, Banten, harus dipasok dari kilang Pertamina yang berada di Cilacap, Jawa Tengah.

Selain di Cilacap, Pertamina punya dua kilang pemasok avtur lain, yakni di Dumai, Riau, dan Balikpapan. Namun nyatanya jarak bukanlah satu-satunya faktor yang membentuk komponen harga avtur Pertamina. Meskipun letaknya dekat dengan kilang, Bandara Sepinggan di Balikpapan toh tetap tidak bisa memperoleh harga avtur yang lebih murah. "Kalau itu, saya mesti cerita banyak," kata Ali berkilah. Sebagai pembanding, avtur di Jakarta dijual US$ 3,3 per galon, sedangkan di Makassar, yang berada di timur Balikpapan, harganya US$ 3,6 per galon.

Ali bercerita, kilang Pertamina awalnya didesain untuk mengolah minyak mentah Indonesia menjadi Premium, solar, dan kerosin, tiga jenis bahan bakar minyak yang banyak memperoleh subsidi. Minyak mentah Indonesia yang jenisnya light sweet tersebut membutuhkan biaya pengolahan yang jauh lebih mahal. "Enggak bisa kilangnya kami ubah begitu saja," katanya.

Karena itu, selain faktor jarak dari kilang ke bandara, teknologi kilang menjadi alasan Pertamina menjual avtur lebih mahal. Kilang di Singapura mengolah minyak mentah dari Timur Tengah, dengan kandungan belerang yang lebih tinggi. "Kami mengakui biaya produksi kilang di Singapura bisa lebih murah. Kalau minyak Indonesia, bahan bakunya lebih mahal," katanya.

Soal lain, Ali menambahkan, Pertamina harus memasok avtur untuk 62 bandara di seluruh Indonesia. Sedangkan di Singapura yang diurus hanya satu bandara. Pemerintah Singapura juga mempunyai kebijakan membebaskan sejumlah pajak dan pungutan di Changi. Adapun di Indonesia ada fee yang harus disetor ke Angkasa Pura sebagai pengelola bandara dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), yang masing-masing besarnya 0,3 persen. "Jadi enggak bisa digebyah-uyah," katanya.

Tidak selamanya juga, kata dia, avtur Pertamina dijual lebih mahal. Di Bandara Paya Lebar, Singapura, bandara khusus pesawat pribadi, avtur dibanderol US$ 4,4 per galon. Adapun di Kuala Lumpur, avtur dijual lebih murah dibanding Jakarta, yakni US$ 3,03 per galon.

Pujobroto mengatakan, ketika mengisi di kota-kota luar negeri, Garuda sudah terbiasa melakukan tender yang melibatkan paling tidak tiga perusahaan penyedia avtur. Sedangkan di Indonesia, Pertamina menjadi satu-satunya penyedia avtur. Dengan kondisi seperti itu, Garuda hanya bisa menegosiasikan besaran diskon dengan Pertamina. "Tapi tetap saja lebih mahal," katanya.

Anggota Komite BPH Migas, Ibrahim Hasyim, membantah bila penjualan avtur dikatakan dimonopoli Pertamina. BPH Migas sudah membuka pasar bisnis avtur ini bagi pelaku usaha lain. Sayangnya, seperti halnya pada elpiji, belum ada yang tertarik masuk ke bisnis penjualan avtur. "Shell dulu pernah bekerja sama tiga-empat tahun. Tapi keluar juga, kan? Tentu itu karena pertimbangan bisnis mereka," kata Ibrahim.

Menurut Taufik Ahmad, dalam prakteknya, liberalisasi pasar avtur ini memang tidak mudah. "Jangan-jangan memang tidak ada yang tertarik," katanya. Ibrahim mengatakan perusahaan lain akan berpikir berulang kali menyalurkan avtur di luar Jakarta karena harus ada tambahan ongkos angkut, penyimpanan, dan infrastruktur distribusi. "Pasarnya dibuka, tapi belum ada yang masuk. Kami enggak bisa memaksa. Kalau enggak untung, mau bagaimana?"

Pertamina pun tidak rela bila nanti ada pemain baru yang hanya mengincar bandara besar di Jakarta atau Surabaya. "Kok, mau sak enake dewe, ini negara kan ada aturannya," kata Ali Mundakir. Pertamina menginginkan adanya aturan main yang sama, sehingga bila ada pemain baru juga harus memasok avtur di bandara-bandara kecil dan membangun infrastruktur di pelosok Indonesia.

Sedangkan menurut Ibrahim, jika memang ada yang masuk, pemain baru itu mau tidak mau harus bekerja sama dengan Pertamina, yang lebih dulu punya fasilitas di sejumlah bandara di Indonesia. Dalam aturan BPH Migas, siapa pun yang akan berjualan avtur harus memanfaatkan fasilitas yang sudah ada. Sifatnya open access, tujuannya agar ada efisiensi dan optimalisasi pelayanan penerbangan. "Jadi Pertamina jualan di Hong Kong, Jeddah, datang ke sana, bekerja sama dengan perusahaan di sana, memanfaatkan fasilitas di sana, lalu berunding hitung-hitungannya bagaimana," katanya.

Pertamina juga tidak mau dituduh melakukan monopoli. "Tidak ada yang mau jualan, kok, Pertamina yang disalahkan?" kata Ali.

Iqbal Muhtarom, Bernadette Christina Munthe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus