LONCENG besar itu dipukul bertalu-talu, tepat jam 11 siang.
Sesaat kemudian ratusan buruh wanita, kebanyakan masih muda,
keluar dari dalam pabrik. Di dekat pintu keluar tegak seorang
wanita muda pula. Tapi yang ini punya tugas khusus melakukan
pemeriksaan. Maka diraba-rabalah sekujur tubuh para buruh itu.
Demikianlah adegan yang terlihat di pabrik rokok Grendel di
pinggir utara Malang, 18 Oktober lalu. Hari itu adalah hari ke
18 dibukanya kembali salah satu dari tiga unit pabrik Grendel,
setelah menderita sakit keras selama 5 bulan. Sebuah unit lain
juga di Malang dan satu lagi di Blitar masih tutup.
Perusahaan rokok Grendel itu tadinya termasuk tiga besar di
Indonesia, setelah Gudang Garam dan Bentoel, yang semuanya
berkumpul di Jawa Timur. Tapi selama kepemimipinan Dir-Ut
Hariyanto -- yang menggantikan Tan Sie Dong, ayahnya yang
berobat lama di Amerika -- Grendel itu kemudian dilanda hutang,
antara lain dengan Bank Bumi Daya yang membuat Grendel disegel
(TEMPO 20 Mei).
Di luar dugaan, perusahaan rokok yang dikabarkan sudah tidak
berday itu, rupanya bangun lagi. Tapi pemiliknya sudah
berpindah ke tangan Hoediyono Wangsa Wijaya, 35 tahun, bersama
Pracoyo, tadinya pensuplai tembakau dari Muntilan. Dalam keadaan
masih lengkap peralatan dan bahan baku, pabrik itu mereka beli
seharga Rp 1,25 milyar.
Kedua orang itu kemudian membentuk PT Karya Niaga Bersama, di
singkat Karnia," Jadi ini perusahaan baru, tapi nama rokok
Grendel tetap kami pakai," kata Hoediyono kepada wartawan TEMPO
Dahlan Iskan. Berkantor di sebuah ruangan yang sederhana, Dir-Ut
Hoediyono tadinya adalah pensuplai kertas dari Surabaya. Para
pensuplai itu umumnya mempunyai tagihan kepada Grendel berkisar
antara Rp O,5 sampai Rp 1 milyar.
Sungguh pandai Hoediyono ini. Selain mempertahankan merek yang
sudah beken, dia juga tetap mempekerjakan Hariyanto sebagai
manajer produksi. "Supaya bentuk dan rasa rokok Grendel tidak
berubah," katanya. "Cuma harganya terpaksa naik, dari Rp 110
menjadi Rp 125 sebungkus."
Produksinya juga belum besar. Ini terlihat dari para buruh yang
sudah pulang jam sebelas. Dengan jumlah tenaga seluruhnya
sekitar 900 orang, produksi sekarang baru 750 ribu batang
sehari. Sedang dulu, di zaman Hariyanto, biasa sampai 2 juta
batang.
Tapi Suwarsih, 18 tahun yang melinting seribu batang sehari
optimis sebentar lagi akan memperoleh order dua kali lipat.
Wanita itu pernah memburuh di Grendel selama 5 tahun dan
diberhentikan dengan pesangon Rp 25.000 April lalu. Kini dia
aktif lagi, meski dengan upah cuma Rp 160 sehari.
Tapi omong-omong apa ihwalnya hutang PT Grendel kepada BBD
Bekas Dir-Ut Hariyanto tak bersedia bicara pagi itu. Tapi
kabarnya pemuda yang berusia 33 tahun itu telah berhasil
membujuk orang-orang BBD. Bahkan menurut Iwan Boediyono SH,
Humas Pengadilan Negeri di Malang, hutang yang Rp 2,3 milyar
kepada BBD itu "sudah lunas dua bulan lalu." Sungguh ulet
Grendel ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini