Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Lonceng Berbunyi Lagi

Perusahaan rokok grendel yang disegel BBD karena dilanda hutang, dibeli oleh hoediyono Wangsa Wijaya dan Pracoyo dari PT Karya Niaga Bersama. Unit pabrik di Malang mulai berproduksi lagi. (eb)

28 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LONCENG besar itu dipukul bertalu-talu, tepat jam 11 siang. Sesaat kemudian ratusan buruh wanita, kebanyakan masih muda, keluar dari dalam pabrik. Di dekat pintu keluar tegak seorang wanita muda pula. Tapi yang ini punya tugas khusus melakukan pemeriksaan. Maka diraba-rabalah sekujur tubuh para buruh itu. Demikianlah adegan yang terlihat di pabrik rokok Grendel di pinggir utara Malang, 18 Oktober lalu. Hari itu adalah hari ke 18 dibukanya kembali salah satu dari tiga unit pabrik Grendel, setelah menderita sakit keras selama 5 bulan. Sebuah unit lain juga di Malang dan satu lagi di Blitar masih tutup. Perusahaan rokok Grendel itu tadinya termasuk tiga besar di Indonesia, setelah Gudang Garam dan Bentoel, yang semuanya berkumpul di Jawa Timur. Tapi selama kepemimipinan Dir-Ut Hariyanto -- yang menggantikan Tan Sie Dong, ayahnya yang berobat lama di Amerika -- Grendel itu kemudian dilanda hutang, antara lain dengan Bank Bumi Daya yang membuat Grendel disegel (TEMPO 20 Mei). Di luar dugaan, perusahaan rokok yang dikabarkan sudah tidak berday itu, rupanya bangun lagi. Tapi pemiliknya sudah berpindah ke tangan Hoediyono Wangsa Wijaya, 35 tahun, bersama Pracoyo, tadinya pensuplai tembakau dari Muntilan. Dalam keadaan masih lengkap peralatan dan bahan baku, pabrik itu mereka beli seharga Rp 1,25 milyar. Kedua orang itu kemudian membentuk PT Karya Niaga Bersama, di singkat Karnia," Jadi ini perusahaan baru, tapi nama rokok Grendel tetap kami pakai," kata Hoediyono kepada wartawan TEMPO Dahlan Iskan. Berkantor di sebuah ruangan yang sederhana, Dir-Ut Hoediyono tadinya adalah pensuplai kertas dari Surabaya. Para pensuplai itu umumnya mempunyai tagihan kepada Grendel berkisar antara Rp O,5 sampai Rp 1 milyar. Sungguh pandai Hoediyono ini. Selain mempertahankan merek yang sudah beken, dia juga tetap mempekerjakan Hariyanto sebagai manajer produksi. "Supaya bentuk dan rasa rokok Grendel tidak berubah," katanya. "Cuma harganya terpaksa naik, dari Rp 110 menjadi Rp 125 sebungkus." Produksinya juga belum besar. Ini terlihat dari para buruh yang sudah pulang jam sebelas. Dengan jumlah tenaga seluruhnya sekitar 900 orang, produksi sekarang baru 750 ribu batang sehari. Sedang dulu, di zaman Hariyanto, biasa sampai 2 juta batang. Tapi Suwarsih, 18 tahun yang melinting seribu batang sehari optimis sebentar lagi akan memperoleh order dua kali lipat. Wanita itu pernah memburuh di Grendel selama 5 tahun dan diberhentikan dengan pesangon Rp 25.000 April lalu. Kini dia aktif lagi, meski dengan upah cuma Rp 160 sehari. Tapi omong-omong apa ihwalnya hutang PT Grendel kepada BBD Bekas Dir-Ut Hariyanto tak bersedia bicara pagi itu. Tapi kabarnya pemuda yang berusia 33 tahun itu telah berhasil membujuk orang-orang BBD. Bahkan menurut Iwan Boediyono SH, Humas Pengadilan Negeri di Malang, hutang yang Rp 2,3 milyar kepada BBD itu "sudah lunas dua bulan lalu." Sungguh ulet Grendel ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus