IBARATNYA, menelan obat juga harus menelan promosi. Maka, lebih dari dua pertiga obat-obatan yang beredar di Indonesia tak bisa dibilang murah. Ya, biaya promosi ternyata paling menentukan struktur harga: bisa mencapai 60% harga obat. Dan, tanpa diprotes pasien, para dokter gampang memben resep untuk obat-obat mahal, seperti yang dipesan detailmen pabrik obat dengan berbagai cara kepadanya. Tentu saja dengan imbalan cukup besar. Namun, pihak pabrik obat kini harus berpikir dua kali. Sebab, "Bagi mereka yang melanjutkan promosi tidak wajar akan kami tertibkan," ujar Suwardjono Surjaningrat, Menteri Kesehatan, seusai melapor kepata Presiden di Bina Graha, pekan lalu. Langkah awalnya dimulai bulan ini. Para dokter di Jakarta aktn dikirimi daftar 62 jenis obat generik yang tergolong murah. Sehingga, menurut Menteri Kesehatan, jangan sampai terjadi pasien yang menderita infeksi ringan diharuskan membeli obat mahal. "Seperti menembak burung dengan meriam," katanya. Daftar itu, sebenarnya, masih bisa diperpanjang sampai 80 jenis dari 2.000 obat yang tergolong murah. Itulah daftar hasil kerja Panitia Pengkajian Rasionalisasi Penggunaan Obat yang baru dibentuk sebulan ini. Anggota panitia itu adalah Ikatan Dokter Indonesia, Persatuan Dokter Gigi Indonesia, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, Gabungan Pengusaha Farmasi, dan Direktorat Pengawasan Obat Ditjen POM (Pengawasan Obat dan Makanan). Dengan mengkaji struktur harga obat dan arus distribusinya, menurut Midian Sirait, Dirjen POM, panitia ini diharapkan bisa menekan harga belasan persen. "Tapi semua itu tidak hanya bergantung kepada pemerintah," ujarnya. Tapi harapan bisa menekan harga obat bisa jadi hanya tinggal kenangan. Sebab, gara-gara devaluasi nilai rupiah terhadap dolar AS sampai 45%, tak pelak lagi obat murah naik harganya -- lebih-lebih obat mahal. Harapan Departemen Kesehatan lagi, kenaikan itu tidak akan lebih dari 20%. Namun, untuk obat generik kenaikannya bisa lebih besar ketimbang obat paten. Soalnya, menurut Eddie Lembong, Presdir PT Pharos Indonesia, komponen impor obat generik memang lebih besar -- sekitar 60% -- sehingga kenaikan harganya bisa mencapai 25%. Hanya saja, kenaikan ini masih relatif murah karena tidak perlu banyak promosi. Harga obat mahal, tampaknya, tak bisa dihindari lagi. Ini pun disadari PT Ciba Geigy yang memproduksi 30 jenis obat untuk pasaran di sini. "Tapi, persoalannya tidak sesederhana itu," ujar Frans-Tshai scorang direkturnya. Sebab, tambahnya, bahan baku yang diperoleh dari perusahaan induknya di Swiss amat mahal. "Bahan baku itu hasil riset," katanya. Untuk riset semacam itu, di sana cukup royal mengeluarkan biaya, sebesar 1.674 juta franc Swiss atau 10% dari omset Ciba di sana. Belum ditambah kemasannya yang, bila dijumlahkan dengan bahan baku saja, mencapai 50% dari harga jual pabrik. Harga jual obat dari pabrik di sini, menurut Frans, bila dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, memang tergolong tinggi. Sebab, katanya, di kedua negara itu langsung impor obat dari Ciba di Swiss. Harga eceran tertinggi (HET) pun bisa lebih murah. Ia membandingkan, di Indonesia HET bisa mencapai 175% dari harga jual pabrik, tapi di Singapura dan Malaysia hanya mencapai 130%. "Padahal, rantai pemasarannya sama panjangnya," katanya. Menurut si raja obat yang punya 19 perusahaan -- antara lain Dupa dan Darya Varia -- Wim Kalona, mahalnya obat di sini itu wajar saja. "Toh, orang tidak selalu sakit," katanya. Sebab, tambahnya, tentunya ingin lekas sembuh, sehingga ketika diberi obat mahal tidak protes. Padahal, tidak semua obat yang lebih dari 6.000 jenis beredar di sini, harganya mahal. Ia pun mengakui bahwa dari 60 jenis obat yang diproduksi pabrik-pabriknya tergolong obat mahal. "Kalau harga ditambahi biaya riset, bagaimana bisa murah?" ujarnya. Sementara itu, Penjabat Ketua Umum GP Farmasi, Amir Basir, punya argumentasi lain mengenai mahalnya obat ini. "Ada yang perlu dimengerti bersama, mulai dari produksinya hingga di tangan pasien," ujarnya. Misalnya harga bahan baku impor, yang biasa dibeli dalam mata uang dolar yang tertindih yen dan DM, sehingga impor dari Jepang atau Jerman mau tak mau harus dibayar lebih tinggi. Dilihat rantai tata niaganya, distributor ditentukan menjual 22,5% lebih tinggi dari harga jual pabrik. Seperti PT Tempo, untuk menjual di berbagai daerah dengan harga yang sama, ia harus menanggung risiko kerusakan dan biaya transportasinya. Sedangkan apotek, yang menjual obat 75% di atas harga jual pabrik, ternyata omsetnya pun tak banyak. Menurut Eddie Lembong, dari omset obat di Indonesia sekitar US$ 500 juta setahun, hanya setengahnya yang terjual di 2.000 apotek seluruh Indonesia. Artinya tiap apotek rata-rata omsetnya sekitar Rp 12 juta (kurs lama) sebulan. Soal promosi, masih kata Eddie Lembong, ini sulit diterka. Soalnya, untuk produk baru, promosi itu malah bisa mencapai 200% dari penjualannya. Sedangkan untuk obat yang sudah banyak beredar di masyarakat, paling banter hanya makan biaya promosi sampai 2%. Suhardjo Hs., Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini