Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTAMINA
Polemik Surat Kekecewaan
KOMISI Energi Dewan Perwakilan Rakyat pekan ini akan memanggil Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro. Dewan akan meminta penjelasan atas surat protes yang dilayangkan PT Pertamina ke Komisi Energi. ”Bukan untuk mencari masalah,” kata anggota Komisi Energi dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Alvin Lie.
Rencana tatap muka ini buntut kekecewaan Pertamina saat rapat dengar pendapat pada 10 Februari lalu. Dalam pertemuan tersebut, anggota Dewan bertanya ihwal pengangkatan direktur utama, kapasitas direksi, ladang gas Blok Natuna, dan sederet pertanyaan lain yang dianggap keluar dari pokok bahasan. ”Masak, direksi sampai disamakan dengan satpam. Rasanya sudah keterlaluan,” kata Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan seperti dikutip Koran Tempo.
Menurut Sekretaris Perusahaan Pertamina Toharso, pembicaraan yang ke mana-mana tadi melanggar tata tertib rapat pasal 110. Apalagi beberapa pertanyaan dianggap tidak layak. Tiga hari kemudian, biro hukum perusahaan energi negara itu melayangkan surat kekecewaan. Surat itu ditembuskan ke Menteri Sofyan, Komisaris Pertamina, dan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan.
Surat inilah yang menjadi polemik dalam rapat antara Pertamina dan Komisi Energi, Senin pekan lalu. Komisi Energi menganggap surat itu pelecehan. Silih berganti anggota Dewan mempersoalkannya. Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Sony Keraf, yang memimpin rapat, bahkan mengancam akan meminta Presiden memecat Karen. Menurut Alvin, Dewan berhak bertanya apa saja. ”Karena bahasannya adalah pengawasan umum,” kata Alvin.
Namun Toharso membantah bila Pertamina dianggap bermaksud melecehkan. ”Kami hanya usul agar rapat selanjutnya lebih efektif, efisien, dan sesuai substansi,” ujarnya. Sedangkan rencana memanggil Menteri Badan Usaha Milik Negara, kata Sofyan, tidak tepat. ”Itu urusan bisnis Pertamina dengan Komisi,” ujar Sofyan.
ENERGI
Harga Donggi Ditolak
PEMERINTAH menolak rencana penjualan gas dari lapangan Donggi-Senoro senilai US$ 2,8 per million British thermal unit (mmbtu). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengatakan konsorsium pengelola blok itu akan melakukan tawar-menawar lagi dengan pembeli. ”Belum ada persetujuan dari pemerintah,” kata Purnomo, Senin pekan lalu.
Harga US$ 2,8 itu tercapai pada 22 Januari lalu, ketika kontrak penjualan gas antara PT Pertamina EP dan Donggi Senoro LNG serta kontrak Pertamina HE Tomori dan PT Medco HE Tomori dengan PT Donggi Senoro ditandatangani. Itu menggunakan asumsi harga minyak US$ 44 per barel.
Melihat angka itu, Indonesia Corruption Watch meminta pemerintah meninjau ulang. Angka penjualan itu dikhawatirkan merugikan negara karena di bawah harga standar. Ketua Divisi Pusat Data dan Analisis Indonesia Corruption Watch Firdaus Ilyas mengatakan formulanya juga harus transparan. Ini berlaku untuk kontrak yang lain, seperti Tangguh. ”Kami usul menggunakan formula New Zealand yang progresif, yakni US$ 7,53 per mmbtu,” katanya. Kepala Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi Raden Priyono mengakui formula penjualan gas Donggi masih prematur.
INDUSTRI
Industri Baja Rawan
HINGGA pekan lalu, pasar baja dalam negeri kelebihan suplai hingga 2,5 juta ton. Direktur Logam Departemen Perindustrian Putu Suryawirawan mengatakan, jika pasar tidak mampu menyerap, industri ini memasuki fase rawan. ”Ini membahayakan. Kalau tidak diambil tindakan, pertengahan tahun banyak pabrik yang tutup,” kata Putu, Kamis pekan lalu.
Menurut dia, kelebihan itu terjadi lantaran banyak proyek infrastruktur yang tak jalan. Hal itu juga terjadi akibat serbuan baja impor ilegal dan praktek dumping negara lain. Karena itu, pemerintah akan mengeluarkan tata niaga impor baja. ”Secara prinsip, materi pokok sudah disetujui,” kata Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Anshari Bukhori.
PERDAGANGAN
Ekspor Mebel Terganjal Bank
PENGUSAHA menemukan pasar baru produk kerajinan dan mebel, yakni Rusia. Bekas negara persemakmuran itu jauh dari kaitan krisis keuangan yang dipicu resesi ekonomi Amerika. ”Mereka masih punya uang yang diputar di dalam negeri,” kata Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia Ambar Tjahyono.
Sayang, menurut Ambar, hingga pekan lalu eksportir kesulitan mengirim barang karena terhambat proses pembayaran. Indonesia-Rusia belum memiliki hubungan bank to bank yang baik. Dokumen letter of credit menjadi masalah. Alhasil, transaksi dilakukan melalui pihak ketiga, yaitu Singapura. Ini membuat produk kurang kompetitif karena terkena biaya komisi yang tinggi.
Karena itu, dia berharap Indonesia membuka korespondensi untuk memudahkan ekspor impor. ”Awalnya, perbankan Indonesia menganggap Rusia bukan pasar potensial,” kata Ambar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo