SULIT dibayangkan .... Sungguh mengerikan," kata Salamat Ali
dengan bibir gemetar dari balik jeruji penjara Rawalpindi,
Pakistan. "Saya hidup seperti binatang."
Pada hari pertama di penjara itu, ia sengaja ditemui Rodney
Tasker, redaktur majalah Far Eastern Economic Review (FEER) yang
terbit di Hong Kong. Tasker menuliskan pengalaman Ali (FEER 30
November).
Wartawan Pakistan yang malang itu mendekam di sebuah ruang
seluas 10 kaki persegi bersama 6 narapidana kriminal lain, tanpa
kamar kecil maupun persediaan air yang cukup. Di sel kelas C
penjara Rawalpindi ini pernah mendekam Zulfikar Ali Bhutto,
sebelum bekas perdana menteri itu menghadapi saat terakhir di
tiang gantungan.
Dan pekan lalu sesudah mahkamah milirer Islamabad bersidang
hanya dalam 2 hari, Ali dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
Menurut mahkamah, ia terbukti lewat tulisan An upheaval is
forecast (FEER 19 Oktober) sengaja menghasut dan memecah belah
persatuan. Hakim militer Mayor Ahmed Munir menyebut tulisan Ali
itu "menciptakan kebencian yang meluas di kalangan penduduk. "
Menyimpang dari kebiasaan, Hakim Mayor Munir menjatuhkan
keputusan dengan ridak menjelaskan pertimbangan hukum yang
mendasari hukuman itu.
Hanya beberapa menit diperlukan untuk mengambil keputusan tadi.
Pengacara yang membela Ali menyatakan naik banding ke Pengadilan
Tinggi di Lahore. Alasannya, "Ali seharusnya diadili sebuah
pengadilan sipil, bukan oleh mahkamah militer."
Rezim Jenderal Zia-ul Haq tampaknya sedang mengembangkan gaya
kebebasan pers yang bertanggungjawab. Ali merupakan wartawan
pertama Pakistan yang dijatuhi hukuman karena tulisannya sejak
penyensoran keras dikenakan atas pers Pakistan pertengahan
Oktober lalu. Bersamaan dengan keputusan mahkamah militer itu,
pemerintah Pakistan juga membabat suatu koran berbahasa Inggris,
The Morning News di Karachi.
Ali di seret ke kantor polisi sebelum akhirnya dijebloskan ke
penjara Rawalpindi dari rumahnya yang tak jauh dari Islamabad
pada tengah malam 13 November lalu. Undang-undang Darurat Perang
Pasal 413 dan 15 -- karena tulisan itu -- dapat mengancam Ali
dengan hukuman mati. Tapi setelah Yayasan Pers Asia dan banyak
organisasi wartawan menyampaikan resolusi yang menuntut
perlindungan atas kebebasan wartawan, Presiden Zia rupanya tidak
ingin terpojok untuk kedua kalinya. Ia pernah mendapat kecaman
pedas karena perisriwa penggantungan Ali Bhurto.
Bisa dipahami kalau rezim militer Pakistan gusar membaca artikel
yang menguliti kebobrokan dan kerawanan negeri itu -- meski
majalah FEER hanya beredar 1.500 eksemplar di sana. Di
Balukistan salah satu dari 4 propinsi Pakistan, menurut Ali,
kini muncul gerakan kebangkitan yang dipelopori kelompok
militan. Selama hampir 30 tahun ini Balukistan yang
terkebelakang itu sudah 3 kali digempur pihak tentara. Akibat
aksi militer itu, dalam tahun 70an saja sudah 7.000 kepala
keluarga mengungsi ke wilayah Afghanistan.
Diganyang Tentara
Penduduk yang melarat di Balukistan ini kebanyakan hidup dari
beternak biri-biri dan bercocok tanam. Daerah itu sesungguhnya
kaya akan bahan tambang, tapi justru orang luar Balukistan yang
menikmatinya. Mereka yang berusaha memperbaiki hidup dengan
melakukan penyelundupan kecil-kecilan, selalu diganyang tentara.
"Jangan bersikap keliru terhadap orang yang berdiam diri," kata
seorang politikus Balukistan kepada Salamat Ali. "Bila suatu
saat terjadi orang saling bunuh, tidak akan seorangpun tahu
sebabnya mengapa ia melakukan itu."
Salamat Ali, 45 tahun, adalah pemenang Mitsubishi Award 1979
yang diberikan Yayasan Pers Asia karena prestasinya. Ayah dari 4
anak ini dinilai sebagai wartawan yang mampu menterjemahkan
dengan analisa tajam keadaan Pakistan selama 15 tahun terakhir
ini. "Pandangannya yang tajam mengenai gejala politik di
Pakistan," kata piagam itu, "mengagumkan banyak sejawatnya di
Asia. "
Dengan peristiwa Salamat Ali itu, makin kaya riwayat kepahitan
para wartawan FEER di berbagai negara Asia Selatan dan Tenggara.
Tahun lalu Rodney Tasker diusir dari Manila karena tulisannya
tentang Filipina Selatan. Norman Peagam tahun 1976 hanya diberi
waktu 3 jam untuk segera meninggalkan Bangkok. Ho Kwon Ping di
Singapura 2 tahun lalu dijebloskan ke penjara dengan tuduhan
orang kiri. Sedang K. Das diusir dari Serawak. Beberapa edisi
FEER yang memuat tulisan tentang Indonesia dari wartawannya di
Jakarta, David Jenkins, pernah juga dilarang masuk ke sini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini