Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOCORNYA dokumen Inspektorat Jenderal Kementerian Pertahanan tentang pembelian roket senilai Rp 4 triliun dari Brasil mengingatkan seorang jenderal pada proses lelang, dua tahun lalu. Dokumen itu disebar ke sejumlah media massa, beberapa pekan terakhir, yang isinya penilaian bahwa pembelian kelewat mahal. Dokumen juga menyebutkan pembengkakan hingga Rp 1 triliun.
Syahdan, menurut pejabat tinggi di Kementerian Pertahanan ini, pemerintah mengincar peluncur roket Astros II buatan Avibras Industria Aeroespacial karena terbukti menjadi senjata andalan Arab Saudi dalam Perang Teluk melawan Irak pada 1991. "Waktu itu hasil keputusannya beli langsung ke Brasil tanpa tender," kata pejabat ini pekan lalu.
Dasar hukumnya kuat, yakni Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 30 Tahun 2011 tentang pedoman pelaksanaan pembelian alat-alat utama sistem pertahanan. Pasal 29 membolehkan pembelian tanpa tender dengan syarat hanya ada satu produsen, keseragaman dengan alat lain yang sudah ada, serta menyangkut pertahanan strategis dan rahasia. Astros II tak memenuhi semua syarat, tapi dimungkinkan karena kekuatannya di medan perang yang sudah teruji.
Untuk menghindari polemik tak perlu di publik akibat penunjukan langsung, Kementerian Pertahanan membuka lelang terbatas. Mereka mengundang dua perusahaan lain untuk mengajukan penawaran. Perusahaan itu adalah Rosoboronexport dari Rusia dan Roketsan Missiles dari Turki. Rosoboron menolak undangan itu dengan alasan menahan diri untuk sementara tender alat tempur, setelah pembelian Sukhoi pada 2003 dipersoalkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Maka hanya dua produsen yang mengajukan penawaran. Avibras diwakili PT Poris Duta Sarana dan Roketsan oleh PT Alabasta Inti Indonesia. "Waktu itu kami ingin ada pembanding harga," ujar pejabat Kementerian Pertahanan itu. Sialnya, Roketsan menyodorkan harga lebih rendah US$ 134,9 juta dari harga yang ditawarkan Avibras sebesar US$ 440 juta. Skenario membeli roket dari Brasil itu pun terhambat gara-gara perbedaan harga yang mencolok tersebut.
Kementerian Pertahanan pun melakukan pelbagai kajian atas dua roket yang ditawarkan Roketsan dan Avibras. Dari kajian spesifikasi teknis keduanya, Astros II Avibras mendapat nilai 55,19 dan Roketsan 33,71 dengan bobot 70 persen dibanding harga, garansi, suku cadang, dan waktu pengiriman. Spesifikasi teknis, misalnya, jumlah kaliber. "Avibras bisa diisi lima roket, sementara Roketsan hanya dua," kata Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan Laksamana Madya Rachmad Lubis.
Ditambah sudah teruji dalam Perang Teluk, Avibras kemudian dimenangkan. Dari 32 paket pembelian yang meliputi truk dan alat peluncur, misil berbagai ukuran dan jangkauan, serta transfer teknologi, Avibras mengirimkannya secara bertahap mulai Agustus lalu dan dipamerkan dalam perayaan ulang tahun Tentara Nasional Indonesia pada 5 Oktober 2014 di Surabaya. Pembelian ini kemudian mendapat catatan dari Inspektorat Jenderal Kementerian Pertahanan. "Saya heran mengapa isu ini mencuat ke media?" ujar Letnan Jenderal Ediwan Prabowo, Sekretaris Jenderal Kementerian.
Sewaktu tender berlangsung, Ediwan menjabat Kepala Badan Sarana Pertahanan, yang mengurus pembeliannya. Ia menyangkal temuan Inspektorat itu. Ketika konsultasi audit, dia mengirim surat pada 1 Juni 2012 yang menjelaskan aspek-aspek lain di luar harga yang dipertimbangkan panitia lelang. "Jangan beli senjata yang coba-coba, harus terbukti ampuh," ucapnya, menjelaskan isi suratnya itu, pekan lalu.
Dalam hal garansi, Ediwan menyatakan tak ada persyaratan khusus tentang warranty period of ammunition dalam dokumen pengadaan. Menurut dia, garansi amunisi yang dimaksud kedua produsen adalah masa pakai. Kedua penyedia, tulis Ediwan, sama-sama memberi garansi lebih dari sepuluh tahun untuk masa pakai amunisi.
Alasan ini ditolak Inspektorat Jenderal. Menurut Laksamana Madya Sumartono, yang memimpin Inspektorat ketika pembelian terjadi, misil Roketsan justru memenuhi spesifikasi yang diinginkan TNI Angkatan Darat, sebagai pengguna roket. Selain bergaransi sepuluh tahun, roket Turki itu punya daya jangkau hingga 100 kilometer.
Dari segi teknis, Inspektorat juga menilai Avibras lebih buruk ketimbang Roketsan. Misalnya fire control system; ammo supply vehicle, yang hanya bisa disediakan 7 unit dari total 36; mobile workshop vehicle, yang terpenuhi 2 dari 6 yang dibutuhkan; jumlah amunisi; dan masa garansi yang hanya 5 tahun. Dengan berbagai kekurangan, menurut catatan Inspektorat, Avibras justru memberi penawaran yang lebih mahal.
Ediwan menjelaskan bahwa kekurangan-kekurangan Avibras bisa dinegosiasikan ketika pembelian. Beberapa spesifikasi yang dipersoalkan Inspektorat, kata dia, hanya bersifat pendukung—seperti sistem pengontrol api—sehingga tak harus ada dalam peluncur roket yang mereka beli.
Soal harga, Ediwan menjelaskan bahwa nominal yang ditawarkan lebih rendah Rp 1 triliun oleh Roketsan itu karena jumlah barangnya berbeda dengan jumlah yang ditawarkan Avibras. "Jika dibandingkan dengan jumlah sama, harga Roketsan juga akan sama US$ 440 juta," ujarnya.
Argumen ini tetap tak bisa diterima Sumartono. Dia lalu bersurat kepada Menteri Pertahanan, menyatakan Avibras tak bisa memenuhi persyaratan teknis sehingga harus gugur saat evaluasi penawaran. Inspektorat menilai besaran bobot teknis, harga, tata cara, dan formula penghitungan spesifikasi tak dicantumkan dalam dokumen pengadaan.
Persentase spesifikasi teknis juga dianggap terlalu besar, padahal seharusnya cukup 30 persen dari bobot keseluruhan. Inspektorat berkesimpulan, pengadaan ini tak sesuai dengan tata cara tender yang akuntabel.
Soal lain yang diungkit Inspektorat sebagai masalah adalah negosiasi di tengah tender. TNI Angkatan Darat diketahui bernegosiasi dengan Avibras untuk menyesuaikan kebutuhan dengan kemampuan produsen senjata asal negeri samba itu. Menurut Sumartono dalam suratnya, penyesuaian ini melanggar Pasal 57 ayat 1 butir b Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
Inspektorat tetap menyoroti potensi kelebihan bayar senilai lebih dari Rp 1 triliun yang bisa menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan. "Penunjukan Avibras sebagai pemenang sulit untuk dipertanggungjawabkan," tulis Sumartono.
Ediwan mengakui ada proses negosiasi antara TNI Angkatan Darat dan Avibras. Negosiasi dilakukan karena TNI merasa jumlah produk yang ditawarkan masih kurang. Ediwan menjelaskan, proses negosiasi antara pengguna dan produsen ini tidak termasuk proses pengadaan yang dikerjakan panitia.
Usul perubahan seusai negosiasi ini tak dilanjutkan karena mesti mengulangi proses tender dari awal. "Seingat saya, mereka mengajukan beberapa perubahan, tapi tidak kami terima," ujar Ediwan.
Menurut Ediwan, saat tender berlangsung, Kementerian Pertahanan membentuk sejumlah tim, termasuk melibatkan Inspektorat, untuk mencegah kebocoran dalam tender pembelian alat tempur itu. Kementerian juga meminta pemerintah Brasil mengawasi Avibras agar tak terlambat waktu pengiriman hingga kualitas roket. "Ada klausul dalam kontrak yang menyatakan, jika ditemukan kemahalan, pabrik mesti mengembalikan kelebihan harga tersebut," ucapnya.
Dalam pengadaan alat tempur, kata Ediwan, pemenang tender tak mesti yang menawarkan harga paling rendah. Karena menyangkut kerahasiaan dan strategi, harga bisa dikesampingkan. Menurut Ediwan, polemik antara dia dan Inspektorat hanya soal, "Perbedaan penafsiran peraturan."
Adapun Rachmad Lubis menilai persoalan antara Kementerian Pertahanan dan Inspektorat hanya karena, "Ada beda persepsi soal harga dan garansi." Polemik mengenai pembelian ini, menurut dia, berakhir ketika Ediwan meneken kesepakatan pembelian dengan Presiden Direktur Avibras Sami Youssef Hassouani pada 8 November 2012.
Saat dimintai konfirmasi mengenai surat menyurat ini, Sumartono enggan berbicara banyak karena sudah pensiun. Namun dia membenarkan jika disebut memberikan catatan atas pengadaan peluncur roket ini. Ia menegaskan sudah menjalankan tugas dan fungsinya sebagai Inspektur Jenderal dengan mengawasi proses tender alat utama sistem persenjataan. "Silakan tanyakan persoalan ini kepada Kementerian Pertahanan," tutur Sumartono, awal November lalu, di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.
Direktur PT Alabasta, Ferdi Tambunan, perwakilan Roketsan di Indonesia, tak bisa ditemui di kantornya di Menara Sudirman, Jakarta. Seorang anggota staf mengatakan perusahaan ini sudah lama tak beroperasi. Adapun Direktur PT Poris Duta Sarana, Jahadi Odang, perwakilan Avibras, juga tak bersedia memberikan keterangan detail soal tuduhan kelebihan harga Rp 1 triliun. Ditemui di kantornya di kompleks Royal Sunter, Jakarta Utara, ia berujar singkat, "Saya tidak tahu Anda ini kawan atau lawan."
Bekas Wakil Ketua Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat Tubagus Hasanuddin, yang mengawasi Kementerian Pertahanan saat tender terjadi, tak pernah mendengar laporan kejanggalan lelang dari Inspektorat ini. "Bagus jika penegak hukum bisa masuk ke ranah ini," kata politikus PDI Perjuangan itu.
Wayan Agus Purnomo, Dewi Suci Rahayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo