KALAU ekonomi encok, apa yang bisa dilakukan pemerintah? Komite Ekonomi Singapura punya obatnya: beri kesempatan kepada swasta agar bisa lebih longgar memupuk dana, yang bisa digunakan untuk investasinya kelak. Tapi pemupukan dana hanya bisa dilakukan jika tarif pajak penghasilan perusahaan dipotong, iuran Central Provident Fund (CPF) dikurangi, dan kekuatan pasar dibiarkan menentukan nilai tukar dolar Singapura terhadap sejumlah mata uang asing. Paket tindakan terobosan yang diusulkan Komite Ekonomi kepada PM Lee Kuan Yew pekan lalu itu, tentu, bakal jadi bahan pertimbangan menarik untuk mengeluarkan kebijaksanaan guna menangkis menciutnya pertumbuhan ekonomi Singapura. Kenyataan selama beberapa tahun belakangan menunjukkan, pemerintah, lewat 450 badan usahanya, seolah seperti kehabisan solar untuk menggerakkan lokomotifnya. Tapi, berbeda dengan Indonesla, Singapura tak memiliki secuil pun sumber alam yang bisa dikuras dan hutan yang bisa dibabat. Karena itu, agaknya, sekarang baru terasa, kaum swasta di sana merupakan kekayaan nasional paling berharga. Dari mereka inilah, dana CPF milyaran dolar bisa dikumpulkan, dan digunakan pemerintah untuk membangun flat, mendirikan sekolah, membayar pensiun, dan membiayai investasi raksasa seperti galangan kapal, pengilangan minyak, dan pembangunan Bandara Changi. Iuran yang harus dibayar pengusaha (majikan), sampai kini, masih 25% dari gaji basis setiap karyawan. Sementara itu, tarif iuran CPF yang harus dibayar setiap karyawan besarnya juga 25% dari gaji basis bulanannya. Ambil contoh A Kong, dengan gaji basis Sing $ 500, tiap bulan harus membayar iuran CPF Sing $ 125 dan, sementara itu, majikan juga harus membayar jumlah yang sama. Kendati secara formal dalam pembukuan perusahaan A Kong punya penghasilan total Sing.$ 625 -- karena pembayaran CPF oleh majikan seolah dititipkan padanya -- sesungguhnya tiap bulan ia hanya membawa pulang penghasilan bersih Sing.$ 375. Iuran majikan dimasukkan ke dalam penghasilan total karyawan itu, konon, agar pajak atas penghasilan karyawan bisa dipetik lebih besar. Wajar banyak warga Singapura, pada mulanya, merasa seperti dirampok oleh pemerintah sosialis PM Lee. Mereka mulai berubah pendapat sesudah merasakan mudahnya mendapat flat dengan cicilan murah, memanfaatkan dana CPF, dan mencari sekolah tidak dengan keringat berleleran. Bedanya dengan di sini, bagian terbesar dari pembangunan rumah dibiayai dari APBN, bukan dari dana calon penghuni yang suka kolokan itu. Nah, supaya para majikan tadi bisa memupuk dana lebih besar, tarif iuran CPF mereka diusulkan dikurangi jadi 10%. Di dalam Komite, demikian koran The Straits Times pekan lalu, usul penurunan persentase iuran CPF majikan itu jadi bahan perdebatan seru. Mungkin karena tindakan itu akan mengurangi pemasukan CPF sebesar Sing.$ 2 milyar per tahun. Menurut Brigjen Lee Hsien Loong, Ketua Komite, pilihan itu merupakan jalan terbaik, dan berasal dari perubahan gagasan pribadinya. "Kami berdebat seperti orang gila," kata seorang anggota Komite. Komite juga menyarankan agar pajak penghasilan perusahaan diturunkan tarifnya dari 40% jadi 30%. Dan, dalam masa tiga tahun sesudahnya, diturunkan lagi ke 25% sebelum akhirnya menjadi 20%. Pajak Penghasilan orang pribadi juga diusulkan turun ke tingkat itu. Jika tidak, maka dianjurkan agar pajak badan usaha segera diturunkan jadi 25%. Kalau PM Lee menyetujui usul Komite, maka tarif pajak badan usaha di sini yang maksimum 35% itu bakal disaingi, dan siapa tahu investor bakal lebih suka lari ke Singapura. Yang tidak disukai Brigjen Lee, anak PM Lee itu, adalah usul untuk melindungi swasta dalam negeri. Kalau itu dilakukan, "Singapura akan tumbuh secara tidak efisien, sumber daya Singapura akan salah dialokasikan, dan Singapura jadi tidak bersaing," kata Lee yang juga Menteri Negara Perdagangan, Industri, dan Pertahanan. "Singapura tidak hanya membuat barang dan jasa untuk dirinya sendiri, tapi Singapura membuat barang dan jasa untuk dijual ke dunia luar." Pas juga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini