JANGAN kaget bila sewaktu-waktu keluar dari gerbang jalan tol dicegat kenai kan tarif. Sebab, Persero Jasa Marga tampaknya harus menarik lebih banyak dana mahal untuk membiayai pembangunan jalan bebas hambatan yang sudah direncanakannya. Gara-garanya: pemerintah sudah tidak bisa lagi menyediakan dana rupiah dari APBN dalam jumlah besar untuk membiayai pembebasan tanah. Tahun anggaran 1986-1987 kelak, alokasi dana yang disediakan untuk itu belum tentu akan sebesar alokasi tahun anggaran berjalan. Lihat saja, anggaran untuk membangun dan merawat jalan 1986-1987, seperti diungkapkan Dirjen Bina Marga Suryatin Sastromijoyo di DPR pekan lalu, tidak ada separuh dari anggaran tahun berjalan yang Rp 308 milyar. Karena itu, pemerintah berusaha mengundang masuk pihak swasta nasional maupun asing ikut membiayai pembangunan jalan tol -- seperti jalan Jakarta-Merak, Cikampek -- Cirebon dan Cikampek-Padalarang. Mungkin karena investasi yang dibutuhkan milyaran rupiah, yang tertarik hanya calon penanam modal dari Prancis, Italia, dan Jepang. Prospek investasi dari proyek yang ditawarkan itu tampaknya cukup menarik, mengingat beban lalu lintas di lintas Utara yang menghubungkan pusat-pusat industri dan perdagangan cukup besar. Apalagi, perkembangan lalu lintas di sini pukul rata setiap tahun naik 5% sampai 10%. Hanya saja, kata Dr. Yuwono Kolopaking, Direktur Utama Jasa Marga, untuk membuat jalan tol itu investasinya tinggi dan jangka pengembaliannya pun lama -- 15 sampai 20 tahun. Tapi lama tidaknya sebuah proyek patungan itu berjalan akan banyak ditentukan oleh keramaian lalu lintas di situ. "Jadi, untuk jalan tol yang sepi, pasti jangka waktunya lebih lama," tambahnya. Tarif lebih mahal mungkin akan dikenakan kepada pemakai proyek jalan patungan itu, karena biaya pembebasan tanahnya akan dipikul oleh dana mahal rekanan Jasa Marga -- bukan lagi dana tanpa bunga dari APBN. Apalagi berdasar pengalaman, biaya pembebasan tanah itu bisa mencapai puluhan milyar. Ambil contoh, pembebasan tanah jalan tol 34 km Padalarang-Bandung-Cileunyi, yang diperkirakan bakal menelan Rp 44 milyar. "Tanah 'kan tidak murah, dan untung untuk proyek itu kami masih memperoleh dana APBN," kata Srijono, Direktur Keuangan Jasa Marga. Hingga kini, upaya pembebasan tanah untuk proyek itu sudah mencapai 95%. Biaya yang dibutuhkan untuk membangun jalannya saja diperkirakan Rp 199 milyar. Jadi, jalan bebas hambatan, yang akan mengitari kawasan Bandung Selatan dan membelah pegunungan kapur itu akan menelan Rp 243 milyar, atau kira-kira hampir separuh subsidi BBM tahun anggaran berjalan. Kalau benar, ongkos pembebasan tanah itu nilainya sekitar 20% dari seluruh biaya, maka peranan dana murah APBN dalam menekan biaya proyek itu jelas cukup besar. Untungnya, dalam pembuatan fasilitas infrastruktur itu, Jasa Marga masih mendapat kredit lunak dari pelbagai lembaga bilateral dan multilateral internasional, dengan bunga rendah (2%-3,5%) dan berjangka pengembalian lama (rata-rata 25 tahun). Dengan dana APBN dan bantuan lunak tadi seharusnya Jasa Marga tak perlu mengeluh lagi. Tapi, karena depresiasi rupiah terhadap valuta asing berjalan cepat, beban bunga terhadap utang valuta asingnya (US$ 239,17 juta, DM 14,97 juta, dan 45,65 milyar yen) jadi berat. Usahanya meminta subsidi untuk membayar bunga itu malah dijawab pemerintah dengan mengurangi dana pembebasan tanah dari APBN. Apa boleh buat, Jasa Marga tampaknya harus makin banyak menerbitkan obligasi yang bakal mencapai Rp 293 milyar tahun ini, untuk mencari dana. Padahal, kekurangan biaya yang diperlukan untuk merampungkan lebih dari 21 komitmen proyeknya masih sekitar Rp 196 milyar lagi. Selain dari obligasi, sebagian dananya akan ditutup dari laba perusahaan, kendati jumlahnya tidak besar -- tahun lalu misalnya hanya Rp 4 milyar. Besar memang proyek dan jumlah dana yang harus dicarinya. sementara pendapatan dari pengutipan pemakai jasa belum tentu akan bertambah hebat karena ekonomi lesu. Dirut Yuwono tampaknya waspada memperhitungkan ekspansi proyeknya. Karena itu, proyek jalan tol seperti Cikampek-Padalarang sepanjang 70 km masih dalam penelitian, "Kalau tidak menguntungkan, tidak akan jadi dibangun," katanya. Menghadapi keadaan ekonomi yang tidak menentu, apalagi harga minyak cenderung merosot, Jasa Marga tampaknya perlu mengendalikan diri. Bukan mustahil, ekspansi besar-besarannya sekarang, kalau salah hitung, bisa mencekik perputaran dananya sendiri -- apalagi utang obligasi pertamanya sebesar hampir Rp 64 milyar sudah dekat jatuh tempo. E.H. Laporan Budi Kusumah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini