Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta – Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU menemukan sejumlah apotek di Sumatera Utara tak berani berbelanja stok obat terapi Covid-19 karena adanya pengawasan ketat dari Kementerian Kesehatan. Kondisi ini menyebabkan terjadinya kelangkaan obat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Ketersediaan obat di apotek bukan karena tidak terdaftar di Farmaplus. Rata-rata obat kosong, alasan dari apotek ini bervariasi, ada yang bilang tidak ada dari distributor, ada yang tidak berani lagi mengisi stok karena obat ini diawasi ketat pemerintah,” ujar Kepala Bidang Kajian dan Advokasi KPPU Kanwil I KPPU Devi Siadari dalam konferensi pers virtual, Jumat, 30 Juli 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Kesehatan sebelumnya mengatur penjualan obat alternatif Covid dengan menetapkan harga eceran tertinggi. Ketentuan itu termaktub dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat dalam Masa Pandemi Covid-19. Dalam beleid tersebut, ada sebelas obat yang harga eceran tertingginya diatur.
Menurut Devi, beberapa apotek menyatakan stok obat untuk terapi pasien Covid-19 tidak lagi tersedia sejak aturan pemerintah ini terbit. Adapun dari sebelas obat terapi Covid-19, di beberapa tempat hanya ditemukan satu jenis obat, yakni azithromicin.
Obat itu dijual seharga Rp 4.500-6.000 per tablet. Sementara itu stok obat yang kosong adalah Favipiravir 2OO mg, Remdesivir I00 mg (injeksi), Oseltamivir 75 mg (kapsul), lntravenous Immunoglobulin 5 persen 50 ml (infus), lntravenous Immunoglobulin 10 persen 25 ml (infus), lntravenous Immunoglobulin l07o 5O ml (infus), Ivermectin 12 mg (tablet), Tocilizrrmab 400 mg/20 ml (infus), Tocilizumab 80 mg/4 ml (Iinfus), dan Azithromycin 50O mg (infus).
Kondisi yang sama terjadi untuk penjualan obat di marketplace. Sejumlah merchant marketplace di Sumatera Utara hanya memiliki stok Azithromycin tablet dengan harga jual Rp 26-79 ribu per strip.
Komisioner KPPU, Ukay Karyadi, mengatakan sejumlah apotek mengeluhkan HET yang terlalu rendah. Apotek pun lebih memilih menjual vitamin ketimbang obat. “Logisnya karena marginnya tipis, mereka memilih menjual vitamin yang harganya tidak diatur,” kata dia.
Ukkay mengatakan pemerintah semestinya melakukan evaluasi dengan berbagai opsi. Opsi pertama, pemerintah disarankan melakukan reformulasi HET dengan penyesuaian margin yang wajar bagi pelaku farmasi retail.
Opsi selanjutnya, pemerintah memberlakukan HET dengan besaran yang tetap, namun disediakan insentif berupa subsidi untuk menutup sebagian biaya distribusi. Kemudian opsi lainnya, HET tidak berubah, namun pemerintah mengerahkan jaringan apotek BUMN dan fasilitas kesehatan pelat merah di pusat dan daerah untuk menjadi distributor utama penjualan obat.
“Asumsinya, jaringan apotek dan faskes pemerintah dapat memenuhi sebagian besar permintaan terhadap produk obat esensial Covid-19,” kata dia.
FRANCISCA CHRISTY ROSANA