Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tiga puluh tujuh tahun lalu atau tepatnya pada 1988, grup musik rock kawakan God Bless merilis lagu Rumah Kita. Konon, lagu dari album "Semut Hitam" ini merupakan ajakan untuk mencintai tempat tinggal di desa: tanpa hiasan, lukisan, beratap jerami, dan beralaskan tanah. God Bless juga mempertanyakan apakah perlu beranjak ke kota atau bermigrasi yang penuh dengan tanya, padahal Rumah Kita itu disebut anugerah dan nikmat dari Yang Kuasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Divisi Populasi Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah merilis laporan yang menyatakan bahwa 68 persen orang akan tinggal di perkotaan pada 2050. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut pada 2023 saja jumlah penduduk di perkotaan lebih banyak daripada di desa dengan persentase hingga 52 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Shofie Azzahrah, peneliti Next Policy, urbanisasi atau migrasi penduduk dari desa ke kota memang tak bisa dielakkan. “Dengan banyaknya lapangan kerja di kota, masyarakat akan mencari peluang itu untuk meningkatkan kesejahteraan,” kata Shofie kepada Tempo pada Selasa, 7 Januari 2025.
Peluang berpindahnya penduduk desa ke kota juga semakin lebar jika terjadi kesenjangan upah minimum provinsi (UMP) yang semakin lebar. Laporan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia menunjukkan tenaga kerja akan bermigrasi ke wilayah dengan UMP yang lebih tinggi. Kondisi ini terjadi lantaran adanya ketimpangan upah antarprovinsi yang selama ini terjadi.
UMP di Indonesia, berdasarkan hasil kajian LPEM UI, mencerminkan perbedaan besar dalam kondisi ekonomi dan biaya hidup antarwilayah. Data menunjukkan bahwa kawasan Daerah Khusus Jakarta memiliki UMP tertinggi, yaitu Rp 5.396.761. Kawasan seperti Papua, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan juga mencatat UMP yang tinggi di kisaran Rp 4,28 juta. Kondisi ini jauh di atas provinsi dengan UMP terendah seperti Jawa Tengah yang hanya Rp 2.139.845, sebagaimana juga di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Barat.
“Ketimpangan UMP antarprovinsi ini menimbulkan berbagai tantangan. Salah satunya adalah migrasi tenaga kerja,” kata peneliti LPEM UI Muhammad Hanri dan Nia Kurnia Sholihah pada 30 Desember 2024.
Itu artinya, para pekerja dari daerah dengan UMP rendah cenderung pindah ke wilayah dengan UMP lebih tinggi untuk mencari penghasilan yang lebih baik. Namun, fenomena ini juga menciptakan ketidaksimbangan tenaga kerja, yaitu daerah kehilangan sumber daya produktif. Sementara, lokasi migrasi juga menghadapi tekanan pada fasilitas sosial dan infrastruktur.
Kementerian Ketenagakerjaan mencatat jumlah pencari kerja yang terekam di situs Karirhub tiap tahun juga nyaris mencapai jutaan orang. Pada 2024, misalnya, jumlah pencari kerja tercatat sebanyak 586.337, sementara pada 2023 berjumlah 720.617 orang. Hasil Sakernas Agustus 2024 juga menunjukkan adanya peningkatan sejumlah 4,40 juta orang penduduk umur 15 tahun ke atas yang termasuk angkatan kerja. Apabila dibandingkan dengan Februari 2024, jumlah angkatan kerja meningkat 149,38 juta orang menjadi 152,11 juta pada Agustus.
Pada periode tersebut, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) juga tercatat 70,63 persen seiring meningkatnya jumlah angkatan kerja di Agustus 2024. Artinya, dari 100 orang penduduk usia kerja, sekitar 71 orang termasuk angkatan kerja. Sementara, berdasarkan rasio penduduk yang bekerja terhadap jumlah penduduk usia kerja (EPR) pada Agustus 2024 mencapai 67,16 persen. Dari jumlah ini dapat diinterpretasikan bahwa dari 100 orang penduduk umur 15 tahun ke atas, terdapat 67 orang yang bekerja.
Mengapa Urbanisasi Perlu Dikendalikan?
Ekonom Center of Reform on Economic (Core) Eliza Mardian menyebut urbanisasi ini perlu dikelola dengan baik. Alasannya, tanpa manajemen, urbanisasi ini justru akan memperlebar kesenjangan ekonomi antara desa dengan kota. Selain itu, urbanisasi yang tak terkendali juga bisa memperparah kemiskinan di perkotaan dan juga berdampak pada menjamurnya pekerja informal.
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2024 menunjukkan dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebanyak 57,95 persen atau 83,83 juta penduduk bekerja di sektor informal. Sementara itu, penduduk yang bekerja di sektor formal hanya 42,05 persen. Menurut BPS, kegiatan formal dan informasi dari penduduk bekerja dapat diidentifikasi berdasarkan status pekerjaan utama. Penduduk bekerja di kegiatan formal mencakup status berusaha dengan dibantu buruh tetap dan buruh/karyawan/pegawai, sedangkan sisanya termasuk penduduk bekerja di kegiatan informal.
“Urbanisasi yang tidak terkendali akan memperparah kemiskinan. Kemiskinan di perkotaan ini perlu dicermati serius,” kata Eliza.
Menurut dia, dampak urbanisasi ini juga akan mengurangi jumlah tenaga kerja di sektor pertanian dan industri lokal. Sebab, urbanisasi ini juga otomatis menarik penduduk usia produktif untuk pergi mengadu nasib di kota. “Nanti berpotensi menurunkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi di pedesaan,” kata dia.
Kondisi ini juga akan berkelindan dengan meningkatkan kebutuhan pangan di perkotaan karena meningkatnya jumlah penduduk dari desa. Eliza mengatakan kalau usia produktif di desa berpindah ke kota, macetnya inovasi, dan menurunnya produktivitas pertanian, pemenuhan kebutuhan pangan juga akan bergantung pada impor. “Mimpi swasembada bisa jadi tidak tercapai,” kata dia.
Di kota, menurut Awalil Rizky, ekonom Bright Institute, sejauh ini belum berhasil menampung perpindahan penduduk ini secara memadai. Alih-alih memperbaiki kondisi hidup, urbanisasi justru sekadar memindahkan penduduk miskin di desa ke kota. “Memang benar berhasil menurunkan kemiskinan di desa karena sebagiannya pindah ke kota,” kata Awalil.
Selain itu, urbanisasi ini juga tak banyak menuai nilai positif karena pekerja yang pindah ke kota juga tak mengirimkan hasil yang memadai. Padahal, kalau para pekerja di kota ini bisa mengirimkan hasil ke desa, akan terjadi perbaikan ekonomi, termasuk sebagai modal sekaligus memperbaiki hidup keluarga di desa. “Akan tetapi, urbanisasi yang terjadi di Indonesia tidak sebaik teori pembangunan tersebut,” kata Awalil.
Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan The Prakarsa mengatakan pemerintah perlu mengembangkan aneka komoditas di desa untuk menekan urbanisasi ini. Sebab, kalau di desa bisa menjadi mata rantai kebutuhan bahan baku masyarakat di kota, urbanisasi tak perlu dilakukan. Tanpa cara ini, migrasi penduduk desa ke kota tak bisa terkendali. “Lambat laun akan lari ke kota. Orang akan melakukan urbanisasi,” kata Direktur Eksekutif The Prakarsa Ah Maftuchan saat diskusi terfokus di Gedung Tempo, Jakarta, pada Selasa, 14 Januari 2025.
Maftuchan mengatakan pemerintah juga perlu memfasilitasi penduduk desa untuk mengembangkan aneka hasil panen atau peternakan mereka. Contohnya, pemerintah bisa memberikan pelatihan bagi peternak sapi perah untuk mengembangkan produk mereka menjadi keju, yogurt, dan sejenisnya. Kalau ini dikerjakan, kata Maftuchan, masyarakat di desa akan bergeliat dan bisa menciptakan nilai tambah bagi produk mereka, alih-alih sekadar menjadikan susu segar saja.
“Menjadikan wilayah pedesaan menjadi lokus ekonomi yang menghasilkan,” kata dia.
Skema ini juga bisa diiringi dengan perbaikan infrastruktur untuk memperlancar distribusi bahan baku dari desa ke kota. Baik Maftuchan atau Awalil sependapat industrialisasi ini mesti diperbaiki dengan memperlancar sarana transportasi dan komunikasi agar mobilisasi menjadi mudah dan murah.
“Seandainya berjalan sesuai teori pembangunan, nantinya jumlah penduduk yang tinggal di desa menjadi optimal,” kata Awalil.