MENGENAKAN setelan jas biru tua, dengan dasi merah anggur bergaris-garis putih, Menteri Sumarlin kelihatan cerah Senin siang lalu. Ia baru saja bicara lama dengan Prof. Widjojo Nitisastro, kini penasihat Bappenas yang berkantor berseberangan dengan ruangannya. "Mau tanya apa lagi?" katanya kepada Fikri Jufri dari TEMPO sesaat setelah selesai berbicara dengan Pak Widjojo. Banyak mata kini menoleh kepada Ketua Bappenas yang bertubuh kecil itu. Bukan karena ia bersama rekan-rekannya kini tengah sibuk menyiapkan Repelita V yang dua tahun lagi akan kita masuki. Tapi dialah yang berhasil melabrak kaum spekulan selaku menteri keuangan a.i. Ketika itu, 13 Juni lalu, Menteri Keuangan Radius Prawiro sedang bertugas ke Caracas, ibu kota Venezuela, membicarakan dana OPEC bersama para menteri keuangan organisasi pengekspor minyak itu. Sementara itu, Menko Ekuin Ali Wardhana dan Gubernur BI Arifin Siregar sedang mengikuti sidang IGGI di Negeri Belanda. "Ya, saya memang sendirian waktu itu, tapi sempat telepon-teleponan dengan rekan-rekan yang sedang bertugas di luar," katanya. Apa yang membuat Prof. Sumarlin sampai berani menempuh pengetatan kredit, yang kontan menendang suku bunga deposito ke atas, tapi tak urung membuat dunla bisnis menjerit bak kucing kejepit ekornya? Setelah membetulkan duduk di atas sofanya, Menteri Sumarlin mulai menjawab pertanyaan: Spekulasi memborong dolar biasanya terjadi di saat harga minyak turun. Belakangan ini, sekalipun harga minyak boleh dibilang stabil, dan kepercayaan dari luar negeri cukup besar terhadap ekonomi Indonesia, toh terjadi pelarian modal besar-besaran, terutama di bulan Mei dan Juni? Itu disebabkan karena dana-dana yang terdapat di masyarakat terlalu berlebihan, dan tidak disalurkan ke dalam usaha-usaha yang produktif. Orang tak akan memborong dolar, kalau saja dalam masvarakat tak tersimpan rupiah yang banyak. Memang spekulasi yang terjadi di bulan Mei dan Juni tidak punya dasar yang kuat. Irasional itu. Harga-harga minyak bahkan mencapai di atas 18 dolar per barel, bantuan dari luar negeri mengalir cukup banyak, dan terakhir IGGI bersedia meminjami Indonesia lebih besar dari yang dianjurkan oleh Bank Dunia. Sementara itu, harga barang-barang nonmigas kita tidak jelek. Siapa saja kaum spekulan itu: bank-bank, perusahaan swasta, BUMN? Ya, bisa perorangan, bisa perusahaan, bisa juga bank-bank. Saya tak ingin merincinya. Tapi data-data yang ada menunjukkan adanya usaha spekulasi yang semakin meningkat melalui perbankan. Apa motifnya? Pertama, takut ada tindakan devaluasi rupiah lagi. Selebihnya ya, mencari untung. Apa untungnya melarikan modal ke luar negeri? Para spekulan bisa memperoleh rupiah yang murah dari masyarakat. Ini dimungkinkan karena dalam sistem perbankan kita tersimpan likuiditas yang berlebihan, dengan suku bunga yang lebih murah jika dibandingkan dengan yang berlaku di luar negeri. Tapi mengapa harus mengeluarkan senjata pengetatan kredit yang menyakitkan dunia swasta? Adakah cara lain yang juga ampuh untuk memberantas spekulasi? Kami menilai jalan pengetatan kredit itulah yang selain ampuh, juga masih selaras dengan tindakan deregulasi. Cara menundukkan spekulasi dcngan menaikkan seperangkat suku bunga, yang dilakukan dua kali selama ini, ternyata kurang ampuh. Dan kalau rupiah terus-menerus digiring ke luar negeri, bahayanya adalah, kepercayaan dari negara-negara yang biasa meminjami kita bisa goyah. Mengapa demikian? Lha, ong kita dipinjami dolar dari mereka, kok keluar lagi dalam bentuk simpanan di bank-bank luar negeri. Jadi, tidak bisa lain, spekulasi harus segera diberantas dengan menembak langsung sumber penyebabnya: tersedianya rupiah yang besar di perbankan dalam negeri, di luar Bank Indonesia. Dana-dana itu biasanya milik BUMN. BUMN mana saja yang sudah kena sedot? Untuk tahap pertama yang diambil adalah: dari Taspen Rp 60 milyar, dari Pertamina Rp 80 milyar, dari PLN sebanyak Rp 272 milyar, lalu masih ada lagi yang diambil dari Pusri. Kemudian disambung dengan penarikan dalam tahap-tahap berikutnya. Dan sampai Sabtu yang lalu, sudah terkumpul dana sebesar Rp 1,3 trilyun. Dana-dana itu berupa giro dan deposito berjangka. Seluruhnya kami konversikan untuk membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI), yang memberikan bunga 17 3/8 persen setahun. Tindakan pembelian tersebut tentu saja harus dilakukan cepat, sejak 18 Juni lalu. Jadi, Anda bikin kosong kas bank-bank itu? Ya, begitulah kurang Icbih. Mereka menjadi bingung, karena dolar yang mereka miliki, baik itu bank swasta maupun bank pemerintah, disimpan di luar negeri. Untuk mengisi kekosongan tadi, mau tidak mau bank-bank saling menarik dolarnya dari luar negeri. Jadi, beleid pemerintah itu punya sasaran ganda: memberantas spekulasi, sekaligus mengubah trend keluarnya uang menjadi masuk kembali. Bagaimana caranya membuat dolar yang sudah kembali itu menjadi betah di negeri sendiri ? Pertama, kami harus berhati-hati tentang adanya ekspansi moneter melalui likuiditas kredit, juga melalui diskonto. Itu pula sebabnya pagu-pagu SBPU perlu dijaga. Langkah selanjutnya adalah konsolidasi, yang pada waktunya akan diumumkan hasil-hasilnya. Anda harus tahu, setiap kuartal Taspen saja menerima Rp 60- 70 milyar. Belum lagi dari BUMN yang lain. Dolar yang dapat ditarik pulang, seperti diumumkan pihak BI akhir pekan lalu, mencapai 680 juta. Apa jumlah tersebut sudah dianggap memadai? Ya, kita lihat perkembangannya. Mungkin masih ada yang masuk. Omong-omong, berapa sih rupiah yang diparkir di luar negeri sebelum gebrakan kemarin? Ya, sedikit di atas milyar dolar netto. Artinya, setelah dikurangi jaminan swap, dan lain-lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini