Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Rupiah itu mahal

Mahalnya bunga rupiah belum dapat membendung spekulan dolar. cara yang dianggap ampuh adalah menarik dana rupiah bumn dari bank-bank. bi melakukan intervensi hanya untuk menstabilkan pasar.

18 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERKEMBANGAN di bidang moneter, secara khususnya di sektor perbankan, selama tujuh bulan terakhir ini sangat mencekam. Ibaratnya, suatu cerita detektif yang melukiskan usaha-usaha yang semakin meningkat dan semakin tegang untuk memancing dan menangkap si penjahat. Yang dihadapi sektor perbankan adalah upaya memobilisasikan dana, termasuk menjebak dana yang cenderung lari ke luar atau untuk mengembalikan dana yang telah berbulan-bulan "parkir" di luar negeri, melalui penaikan suku bunga. Sebenarnya tidak mudah dipastikan berapa jumlah dana yang diparkir di luar itu, apalagi untuk memperkirakan berapa besar bagian dari jumlah terscbut yang bermotif spekulatif - yaitu yang mengejar keuntungan melalui pengambilan risiko - dan berapa besar yang didorong oleh pertimbangan mengurangi ketidakpastian dan mengejar rasa aman. Kedua motivasi di atas bisa dianggap bertolak belakang. Tetapi, apa pun alasannya, uang yang diparkir di luar itulah yang diperlakukan sebagai penjahat. Ceritanya mencekam karena suku bunga - yaitu instrumen utamanya--terus mengalaml peningkatan tanpa ada keyakinan penuh akan efektivitasnya, sementara sentimen masyarakat umumnya adalah menurunnya suku bunga dengan alasan menggairahkan ekonomi yang tetap mengalami kelesuan. Aktor yang terlibat juga semakin banyak: ia bukan lagi masalah dunia perbankan saja, tetapi dalam prosesnya juga melibat Bank Indonesia, mungkm karena detektif partikelir (bank-bank) itu sendiri juga "dicurigai". Bahkan sebagai klimaksnya telah tampil seorang menteri dengan "gebrakan" yang kini tersohor itu. Sejak pertengahan Desember 1986 bank swasta memelopori penaikan suku bunga karena mereka merasakan kesulitan memperoleh dana. Walaupun bank swasta nasional hanya menguasai sekitar 30 persen dari deposito berjangka - dibandingkan dengan 65 persen yang dikuasai bank pemerintah tampaknya tindakan bank swasta itu mencerminkan keadaan yang dihadapi perekonomian secara menyeluruh. Bank swasta, seperti dapat diperkirakan, bertindak lebih dini karena tantangan untuk dapat bertahan (survival) juga lebih besar. Seperti digambarkan pada grafik, peningkatan suku bunga (i) bisa disebabkan oleh pergeseran kurva penawaran (S) atau oleh pergeseran kurva permintaan (D). Apa yang terjadi di bulan Desember 1986 itu merupakan gabungan dari kedua jenis pergeseran itu. Di satu pihak dirasakan ada peningkatan kebutuhan akan rupiah. Ini disebabkan oleh devaluasi September 1986, mungkin juga oleh adanya "crowding out" karena sektor perbankan semakin banyak membiayai proyek-proyek pemerintah, atau karena proses bisnis yang membaik, antara lain setelah dikeluarkannya kebijaksanaan 25 Oktober 1986. Di pihak lain juga dirasakan menciutnya dana-dana yang disalurkan masyarakat melalui perbankan. Mungkin jumlah dana yang tersedia untuk ditabung secara nasional memang menurun sejalan dengan penurunan produk ekonomi nasional dan pendapatan nasional. Keadaan ini tampaknya lebih terasa sebagai akibat berbagai desas-desus, seperti pengenaan pajak atas bunga deposito (September 1986), pengobligasian deposito yang jatuh waktu (Oktober 1986), dan perkiraan yang bukan-bukan menjelang pengajuan RAPBN. Pada tanggal 6 Januari 1987, sehari sebelum pidato RAPBN, "interbank call money" meningkat suku bunganya menjadi 20,5 persen dibandingkan dengan 13,75 pada permulaan Desember 1986 dan 18 persen pada akhir tahun. Apa yang secara populer dinamakan "pelarian modal" mengalami peningkatan luar biasa dalam bulan Desember itu. Demam devaluasi dan ketidakpastian mengenai sistem devisa apakah akan tetap bebas atau diawasi ternyata tidak berakhir dengan pengajuan RAPBN. Kemudian timbul suatu harapan bahwa "uang yang berparkir di luar itu menunggu hasil pemilu". Sampai bulai Maret 1987, biarpun suku bunga tetap mengalami kenaikan, mobilisasi dana tetap ketat, sementara kebutuhan meningkat, terutama untuk pelunasan pajak hingga akhir Maret 1987 itu. Untuk kuartal pertama 1987 pertumbuhan pengerahan dana masyarakat hanya meningkat 8,4 persen untuk setahunnya. Tingkat pertumbuhan ini sangat rendah, khususnya bila dibandingkan dengan perkembangan pada 1982, yaitu sebelum deregulasi sektor perbankan, ketika mobilisasi dana masyarakat meningkat dengan 10,7 persen. Sebagai akibat deregulasi, tingkat pertumbuhannya menjadi hampir 40 persen pada tahun 1983, 25 persen pada tahun 1984, dan 30 persen pada tahun 1985. Pada tahun 1986 tingkat pertumbuhan itu menurun dan mencapai hanya 16,3 persen. BI tetap tidak melakukan intervensi, sesuai dengan semangat deregulasi. Tetapi mulai 1 April 1987 kredit ekspor - yang memang masih disubsidi itu - dinaikkan oleh BI. Ini tidak mempengaruhi peningkatan suku bunga pada umumnya. Pemilu yang dinantikan berlalu tanpa gejolak dan tanpa diikuti kebijaksanaan pemerintah yang "ditakutkan" itu. Namun, uang yang diparkir di luar odak juga kembali. Bahkan berkembang demam spekulasi baru yang diikutioleh suatu rush pembelian dolar lagi. Pada tanggal 8 Mei 1987 BI menaikkan suku bunga SBPU, SBI, fasilitas diskonto, dan premi swap. Intervensi ini dimaksudkan untuk memerangi rush tersebut. Rupiah dibuat mahal supaya ongkos spekulasi juga meningkat. Selain itu, peningkatan suku bunga di dalam negeri juga disesuaikan dengan perkembangan internasional. Tindakan ini ternyata pada saat itu tidak segera menampakkan hasil. Timbul harapan baru bahwa "uang yang diparkir di luar menunggu tenangnya situasi setelah Lebaran". Lebaran berlalu, tetapl persediaan rupiah dirasakan semakin ketat. Pada permulaan Juni 1987 itu "interbank call money" bahkan meningkat suku bunganya mencapai 28 persen. Tanggal 13 Juni 1987 BI sekali lagi menaikkan SBPU dan SBI jangka pendek. Pengaruhnya, seperti dirancang, lebih terasa pada "interbank call money" yang kemudian meningkat sampai 32 persen. Mahalnya, atau ketatnya, rupiah ternyata belum juga memancing dana yang diparkir di luar untuk diambil. Pada akhir bulan Juni 1987, tindakan yang mungkin paling menentukan, pemerintah menarik dana beberapa BUMN yang didepositokan di bank pemerintah untuk ditukarkan dengan SBI artinya disedot oleh BI dari peredaran. Permulaan Juli 1987 suku bunga "interbank call money" bahkan meningkat sampai 40 persen - mungkin pula lebih dan itu untuk kasus atau pinjaman oleh bank tertentu. Suasana mencekam ini kiranya berakhir sudah dengan pengumuman pemerintah pada tanggal 11 Juli yang lalu bahwa BI telah berhasil menarik dana dari masyarakat sampai sebanyak Rp 1,4 trilyun, yang dikompensasikan dengan mengalirnya kembali devisa ke BI hingga jumlah US$ 860 juta. Cerita mungkin berakhir di sini dengan semacam "happy ending" sejauh yang menyangkut kredibilitas pemerintah di bidang moneter. Mungkin pula ini baru satu babakan dalam suatu cerita yang lebih panjang. Apa pun yang bisa dikatakan mengenai ini, kiranya ada beberapa pelajaran atau kesimpulan yang dapat ditarik. Pertama, "gebrakan Sumarlin" (selaku menkeu a.i.) menentukan dan memang dibutuhkan untuk mempercepat proses yang sudah berjalan proses itu sendiri telah dapat dikendalikan oleh penggunaan instrumen moneter yang ada (SBPU/SBI). Kedua, intervensi BI sebenarnya hanya melegitimasikan - dan bukan menentang - kekuatan pasar. Perkembangan selama tujuh bulan terakhir ini menunjukkan bahwa deregulasi sektor perbankan sudah menunjukkan hasilnya. Ketiga mungkin dapat dikatakan bahwa dunia perbankan secara keseluruhan telah berjasa - dan bukan bersalah seperti kesan berbagai kalangan - karena ternyata telah berhasil melalui suatu periode yang sulit dengan kemampuan untuk menjembatani kekurangan likuiditas di dunia usaha sementara dana-dana masyarakat sulit dimobilisasikan Keempat, biarpun secara keseluruhan usaha-usaha menarik kembali dana-dana cukup berhasil, pengalaman juga menunjukkan bahwa penggunaan instrumen suku bunga bukan tanpa batas. Ada kemungkinan bahwa peningkatan suku bunga lebih banyak mengakibatkan pengalihan dana dari bank yang satu kepada lainnya yang lebih cepat bereaksi daripada mengakibatkan peningkatan pengerahan dana. Sampai di sini, salah satu hal yang agak pasti adalah bahwa rupiah masih akan tetap mahal. Suku bunga "interbank call money" sudah menurun kembali, tetapi tidak akan mencapai tingkat yang berlaku tahun yang lalu. Dalam suasana seperti ini sektor perbankan dituntut untuk lebih berkembang dalam memberikan pelayanan yang baru dan yang lebih baik, yang dibarengi senyum yang tulus. Tanpa ini sukar dibayangkan bagalmana bisa diakhiri era rupiah yang mahal ini. Hadi Soesastro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus