Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendorong masyarakat untuk memanfaatkan skema baru untuk kredit perumahan rakyat tahun depan, setelah skema subsidi selisih bunga (SSB) dihapuskan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Kementerian PUPR Eko Heripoerwanto memberi contoh skema alternatifnya ialah bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT), yang berasal dari pinjaman luar negeri serta hibah lembaga donor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Eko, SSB dihapus karena menjadi beban fiskal pemerintah. Dia mengatakan ketika SSB diluncurkan, pemerintah harus mengawal kredit tersebut hingga tenornya berakhir, yaitu 15-20 tahun untuk menyiapkan selisih bunganya. Tahun ini skema SSB dimanfaatkan oleh 99.907 unit rumah. "Ini menjadi beban yang sangat berat," kata dia di kantornya, kemarin.
SSB menjadi skema pembiayaan kepemilikan rumah dengan penyerapan terbesar sepanjang 2015-2018. Pada periode tersebut, SSB dimanfaatkan untuk membiayai kredit 558.848 unit rumah. Meski dihapuskan, pemerintah tetap mengalokasikan anggaran Rp 3,8 miliar untuk pembayaran akad SSB tahun-tahun sebelumnya.
Berbeda dengan SSB, Eko mengatakan, penyerapan skema BP2TB masih rendah. Pemerintah pun akan menyalurkan BP2BPT untuk 312 unit rumah dengan anggaran Rp 13,4 miliar pada 2020. "Masih bisa ditambah 68 ribu unit lagi," ujar Eko. Tahun ini penyerapan BP2BT hanya 5.178 unit.
Pemerintah juga akan membentuk Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) tahun depan. Komisioner BP Tapera, Adi Setianto, mengatakan lembaganya akan mengelola dana tabungan untuk pembiayaan rumah bersubsidi. Pada tahap awal skema ini disalurkan kepada aparatur sipil negara (ASN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian RI. Pada 2021, kata Adi, skema BP2TB menyasar pekerja swasta.
Ketua Umum Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja mengatakan pemerintah harus segera mencari solusi untuk menyediakan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Apalagi, kata Endang, kuota rumah bersubsidi pada 2020 turun dibanding tahun ini, ditambah lagi dengan penghapusan skema SSB. "Ini berdampak pada menurunnya realisasi kredit dari 257 ribu akad pada 2018, menjadi hanya 190 ribu," ujar dia.
Endang menilai skema SSB, FLPP, dan BP2BT bisa membantu masyarakat berpenghasilan rendah memiliki rumah. Karena itu, kata dia, perlu anggaran untuk 275 ribu unit rumah setiap tahun. "Jika tidak tersedia untuk rumah sebanyak itu, kinerja pengembang berpotensi macet," tutur Endang.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengatakan, jika ingin mengurangi atau menghapus skema SSB, pemerintah harus menambah kuota FLPP dengan jumlah yang sama. Padahal, kata dia, dengan jatah yang tersedia saat ini saja sudah habis sebelum tutup tahun.
Agar tidak ada kekurangan kuota rumah bersubsidi, Daniel mengatakan pemerintah mesti menyediakan FLPP untuk 200 ribu unit, BP2BT untuk 50 ribu unit, dan BP Tapera untuk 10 ribu unit. "Jika melihat jatah 2020 sebanyak 150 ribu unit, tahun depan akan terjadi kekurangan subsidi untuk 110 ribu unit," ujar Daniel.
LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo