Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menilai penurunan penerimaan pajak pada dua bulan pertama awal tahun ialah sesuatu yang normal. Menurut dia, penerimaan pajak memiliki tren bulanan yang spesifik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama empat tahun terakhir, Anggito menjelaskan, pola penerimaan pajak pun cenderung sama, yakni pada Desember penerimaan pajak akan meningkat, kemudian pada Januari dan Februari akan menurun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Desember itu naik cukup tinggi karena ada efek Nataru (Natal dan Tahun Baru) akhir tahun, kemudian turun di bulan Januari dan Februari. Itu sama setiap tahun, jadi tidak ada hal yang anomali, sifatnya normal saja,” tutur Anggito dalam konferensi pers realisasi APBN KiTa periode Januari dan Februari 2025, di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Maret 2025.
Ia pun mengungkapkan penerimaan pajak Januari-Februari 2025 lebih rendah karena ada dua faktor. Pertama, penerimaan pajak melambat dibandingkan tahun 2024 akibat harga komoditas. Kementerian mencatat beberapa harga komoditas utama yang melambat antara lain batu bara yang anjlok 11,8 persen year-on-year (yoy), brent atau minyak yang menurun 5,2 persen yoy, dan nikel yang menurun 5,9 persen yoy.
Kedua, penerimaan pajak menurun akibat adanya sejumlah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Kebijakan itu meliputi penerapan tarif efektif rata-rata (TER) atas pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 yang mulai berlaku pada Januari 2024.
Menurut Anggito, penerapan TER PPh 21 ini mengakibatkan lebih bayar Rp 16,5 triliun di tahun 2024. Anggito mengatakan apabila lebih bayar tersebut diklaim atau dinormalisasi pada Januari dan Februari, maka rata-rata penerimaan pajak PPh 21 lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
“Jadi ada kebijakan yang baru pertama kali dilaksanakan tahun 2024 yang namanya tarif efektif rata-rata untuk PPh 21. Kalau Anda menghitung cash memang menurun, tetapi kalau ini adalah efek dari kebijakan TER yang dilaksanakan tahun 2024,” katanya.
Selain kebijakan TER, ada pula kebijakan relaksasi pembayaran pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN). Pada 2025, pemerintah mengeluarkan kebijakan relaksasi pembayaran PPN DN selama 10 hari. Dengan demikian, PPN DN Januari dapat dibayarkan hingga 10 Maret 2025.
Menurut Anggito, jika dampak relaksasi diperhitungkan atau dinormalisasi, rata-rata PPN DN periode Desember 2024 sampai Februari 2025 sebesar Rp 69,5 triliun. Angka itu masih lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya. “Jadi ini adalah dampak relaksasi yang seharusnya menjadi bagian dari perhitungan Februari,” tutur dia.
Sebelumnya, Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025 hanya Rp 187,8 triliun. Total penerimaan ini menurun sekitar 30,1 persen dibandingkan dengan realisasi di periode yang sama tahun lalu. Pada Februari 2024, penerimaan pajak mencapai Rp 269,02 triliun.
“Penerimaan perpajakan Rp 240,4 triliun atau 9,7 persen dari target tahun ini, terdiri dari penerimaan pajak Rp 187,8 triliun atau 8,6 persen dari target," ujar Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis, 13 Maret 2025.
Sebagai informasi, penerimaan perpajakan sebesar Rp 240,4 triliun per Februari 2025 itu turun jika dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 320,51 triliun.
Per Februari 2025, Sri Mulyani merincikan penerimaan perpajakan terdiri dari pajak 187,8 triliun dan penerimaan kepabeanan dan cukai Rp 52,6 triliun. Sementara penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 76,4 triliun.
Sementara itu, Bendahara Negara melaporkan total pendapatan negara hingga akhir Februari mencapai Rp 316,9 triliun. Sebagai perbandingan, realisasi pendapatan negara pada akhir Februari 2024 tercatat Rp 400,36 triliun.
Di sisi belanja negara, Sri Mulyani memaparkan realisasi belanja sampai akhir Februari sebesar Rp 348,1 triliun. “Hingga akhir Februari kami masih melihat belanja negara Rp 348,1 triliun. Ini 9,6 persen dari belanja yang dianggarkan tahun ini,” ujarnya.
Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu juga menyatakan sampai akhir Februari 2025 APBN mengalami defisit Rp 31,3 triliun atau 0,13 persen dari produk domestik bruto (PDB). “APBN 2025 didesain dengan defisit Rp 616,2 triliun, jadi defisit ini masih di dalam target yang didesain dari APBN,” tutur Sri Mulyani.
Seperti diketahui, defisit APBN tahun ini ditargetkan 2,53 persen terhadap PDB. Defisit terjadi saat belanja lebih tinggi dari pendapatan. Dalam APBN 2025, pemerintah menargetkan belanja negara dalam sebesar Rp 3.621,3 triliun dan pendapatan negara Rp 3.005,1 triliun. Sehingga defisit anggaran dibatasi Rp 616,2 triliun.
Ilona Estherina berkontribusi dalam penulisan artikel ini.