Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat penerbangan Gerry Soejatma menyoroti wacana pemanfaatan minyak kelapa menjadi bahan bakar pesawat ramah lingkungan atau bioavtur. Ia mempertanyakan perihal pemerintah memastikan mendapatkan pasokan bioavtur yang cukup dengan harga yang terjangkau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bersama dengan kemampuan memenuhi pengurangan target emisi CO2, masalah jumlah pasokan dan harga yang terjangkau ini menjadi tantangan bagi bioavtur,” katanya saat dihubungi, Selasa, 23 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menuturkan, saat ini harga SAF-Sustainable Aviation Fuel (bahan bakar penerbangan berkelanjutan) per liter masih 3-5 kali lipat dari harga avtur konvensional. Belum lagi, kata Gerry, industri mengkhawatirkan bahwa bioavtur tak dapat memenuhi kebutuhan pasar di tahun 2030 dan 2050 untuk target blending 30 persen bioavtur dan 50 persen bioavtur.
“Namun seperti biofuel di penerbangan, tentunya semua akan menggunakan blending antara avtur konvensional dan bioavtur,” ujarnya.
Gerry mengatakan, untuk jangka pendek, industri sedang menggenjot produksi SAF menggunakan used cooking oil (UCO), karena ini tidak akan mengganggu sektor pertanian dan meminimalisir potensi dampak lingkungan serta dampak ekonomi dari pengejaran target CO2 emission reduction, dan berpotensi menjadi sumber SAF yang harganya terjangkau.
“Tantangan yang akan dihadapi adalah apakah penurunan dari emisi CO2-nya dapat memenuhi target sesuai blending tertentu atau tidak. Bioavtur berdasarkan sawit sedang kesusahan di sini dan tentunya ini akan menjadi tantangan bagi bioavtur bedasarkan kelapa,” ujar Gerry.
Sementara Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian ESDM Agus Cahyono mengatakan pemanfaatan minyak kelapa menjadi bahan bakar pesawat ramah lingkungan atau bioavtur adalah memungkinkan.
“Secara teknis memungkinkan, SAF-Sustainable Aviation Fuel (bahan bakar penerbangan berkelanjutan) yang saat ini dikembangkan menggunakan bahan baku minyak goreng bekas (used cooking oil) atau dari lemak,” katanya saat dihubungi Tempo melalui aplikasi perpesanan, Selasa, 23 Juli 2024.
Melansir The International Air Transport Association (IATA), dijelaskan karakteristik kimia dan fisik SAF hampir identik dengan bahan bakar jet konvensional dan dapat dicampur secara aman dengan bahan bakar jet konvensional pada tingkat yang berbeda-beda, menggunakan infrastruktur pasokan yang sama dan tak memerlukan adaptasi pesawat atau mesin.