Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Merindu Status Spesial

Negara maju membentengi pertanian masing-masing. Indonesia memperjuangkan penundaan.

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hong Kong mendadak kebanjiran belasan ribu ”turis” sepanjang pekan lalu. Magnet yang menarik para pejabat perdagangan dari 149 negara, kelompok aktivis, dan tentu para pencari berita, ke bekas koloni Inggris itu apa lagi kalau bukan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

”Konferensi ini harus bisa menuju penyelesaian Putaran Doha,” ujar Pascal Lamy, Direktur Jenderal WTO. Ucapan itu seperti menyiratkan kekhawatiran tak akan tuntasnya Putaran Doha, yang ditargetkan usai dua tahun mendatang. Dalam perundingan Cancun, pada 2003, banyak agenda Putaran Doha yang telantar.

Sejak edisi Doha, tawar-menawar dalam sidang WTO Putaran memang lebih ketat. Doha merupakan seri pertama ketika negara maju berjanji membuka telinga lebih lebar terhadap kepentingan mitra mereka yang perekonomiannya masih berkembang. Kebijakan ini merupakan buntut dari panasnya debat antara kelompok negara maju dengan negara berkembang dalam pertemuan di Seattle, Amerika Serikat, enam tahun silam.

Ketika itu kelompok negara berkembang melabel WTO sebagai klub negara kaya saja. Tak hanya itu, grup negara berkembang juga mengancam memboikot tiap agenda perundingan WTO apabila kepentingan mereka tak diacuhkan.

Janji untuk berbagi memang tak mudah terlaksana. Apalagi pertarungan kepentingan di WTO tak hanya berlangsung antara kelompok negara maju dan negara berkembang. Kelompok negara sejahtera pun terpecah ke dalam dua kubu.

Yang pertama adalah kelompok lobi perusahaan multinasional di sektor manufaktur dan jasa. Mereka inilah yang mengusung tinggi-tinggi obor perdagangan bebas. Untuk negara maju seperti Amerika, kelompok ini penting karena menyumbang produk domestik bruto terbesar. Di Amerika Serikat sektor industri menyumbang hampir 20 persen. Kontribusi terbesar masih dipegang sektor jasa, yaitu 79 persen.

Gerakan para petani berada si sisi yang lain. Kubu ini yang paling anti-agenda WTO. Bagi petani di negara maju sekalipun, pemangkasan proteksi ibarat lonceng kematian.

Sekadar ilustrasi, industri pertanian di kawasan Uni Eropa dilindungi oleh pagar tarif 400 persen. Penjagaan superketat juga dinikmati oleh kaum petani. Tarif masuk untuk sayur-mayur di Eropa tingginya bisa mencapai 700 persen, jauh di atas rata-rata tarif impor di Uni Eropa yang hanya 4,2 persen.

Pemerintah Amerika lebih pintar menyembunyikan preferensi mereka terhadap petani lokal. Gaya yang biasa dipilih adalah memberikan kredit pertanian yang lunak. Pemerintah Amerika juga agresif dalam memasarkan produk pertanian mereka, termasuk melalui jalur PBB.

Alasan proteksi itu tak sekadar hitung-hitungan ekonomi belaka. Di Uni Eropa, kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto tak pernah di atas 10 persen. Angka yang lebih kecil dicatat oleh Amerika Serikat. Sumbangan para petani Amerika terhadap PDB negara tak lebih dari satu persen.

Hitung-hitungan politis yang berbicara, sehingga negara maju sekalipun ngotot mempertahankan kepentingan industri pertanian mereka. Dalam babak sebelumnya, perundingan WTO kerap macet ketika menyinggung sektor ini.

Pekan silam, delegasi Uni Eropa dan Amerika bahkan sempat bersitegang. Amerika berkeras meminta Uni Eropa menggunting tarif impor produk pertanian. Sebaliknya, Uni Eropa menuduh pemerintah Amerika memanjakan petaninya melalui paket bantuan pangan ke negara-negara miskin.

Lalu di mana posisi Indonesia? Dalam pertemuan dengan masyarakat Indonesia di Hong Kong, Menteri Perdagangan Mari Pangestu menyatakan Indonesia tak akan membiarkan industri pertanian dalam negeri bertarung bebas.

Jalan yang akan ditempuh adalah mengegolkan kriteria special product serta merumuskan special safeguard mechanism untuk produk pertanian, seperti beras.

Tiga kriteria special product yang akan diusulkan Indonesia adalah produk yang terkait dengan ketahanan pangan, kemiskinan, dan pembangunan daerah. Selain mengusulkan kriteria, Indonesia juga masih harus menegosiasikan periode pemberlakuan status special product itu serta besaran tarif.

Thomas Hadiwinata

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus