Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perundingan RI-IMF Tiada Komitmen dari Washington

Hasil perundingan RI-IMF dipertanyakan dan kurs rupiah menubruk Rp 9.900 per dolar AS. Benarkah ekonomi akan kiamat bila hubungan dengan IMF memburuk?

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA masyarakat Indonesia masih dibingungkan perihal hasil perundingan RI-IMF, Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli sudah berangkat lagi meninggalkan Tanah Air?dan kali ini ke Tanah Suci. Hal itu dilakukan tak lama sepulang Rizal dari Washington. Kepergiannya tentulah tak semata-mata menunaikan ibadah haji. Menko Perekonomian ini mesti segera melaporkan hasil pertemuannya dengan pejabat pemerintah Amerika Serikat dan petinggi IMF yang berlangsung di Washington, dua pekan lalu. Sejauh ini, perundingan untuk memuluskan pengucuran dana US$ 400 juta dari Dana Moneter Internasional (IMF) seakan masih tertutup kabut misteri. Lagi pula, tak ada pernyataan pers bersama setelah pertemuan berakhir. Akibatnya, muncul ketidakjelasan. Ada yang berpendapat pertemuan itu menemui kegagalan. Namun, Menteri Rizal mengaku bahwa segala sesuatu berjalan lancar. Pembicaraan dengan Stanley Fischer, orang kedua IMF, menurut Rizal, berhasil membuahkan kesepakatan tentang proses amandemen Undang-Undang Bank Indonesia (UU BI). Yang disepakati antara lain ketentuan tentang pembentukan panel ahli yang terdiri atas bekas Gubernur Bank Sentral Kanada dan Brasil. Mereka akan didampingi dua tokoh dari Indonesia?disebut-sebut nama bekas Gubernur BI Arifin Siregar dan Rachmat Saleh. Panel ahli itu akan memberikan masukan dalam proses amandemen UU BI. Dalam pertemuan tersebut, Rizal juga berjanji merevisi UU No. 22/1999 yang mengizinkan daerah berutang ke luar negeri. Selain itu, rencana penjualan aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) belakangan mulai bergerak setelah DPR mengizinkan divestasi 30 persen saham BCA dan 51 persen saham Bank Niaga. Perwakilan IMF di Indonesia, John Dodsworth, tidak alpa menyambut keputusan DPR itu, Jumat pekan lalu. Akan halnya perundingan dengan Menteri Keuangan Amerika Paul O'Neill dan Deputi Direktur Bank Dunia Sven Sandstrom, menurut Rizal, menghasilkan dukungan untuk melanjutkan pembangunan ekonomi Indonesia. Diakuinya, jalan perundingan agak alot karena pemerintah bersikukuh meminta pinjaman berbunga lunak dengan waktu pengembalian panjang. "Itu untuk refinancing sekaligus bagian dari strategi pengurangan utang," ujarnya. Namun, penjelasan Rizal Ramli itu, menurut anggota Komisi IX DPR Rizal Djalil, hanya retorika. Ia tegas-tegas menganggap pertemuan itu gagal. Alasannya sederhana: IMF tak memberikan komitmen kapan akan mengirim tim asistensi yang akan merevisi letter of intent (LoI) jilid ketiga. "Itu sebabnya rupiah melemah hingga menembus Rp 9.900 per dolar," ujar wakil rakyat dari daerah pemilihan Jambi itu. Para pemain pasar uang agaknya memang bereaksi negatif atas hasil pertemuan tersebut. Reaksi ini ikut terpicu kekhawatiran bahwa Bank Dunia juga akan mengurangi bantuan ke Indonesia menyusul sikap IMF yang sangat tidak ramah itu. Dan penjadwalan utang di Paris Club pun akan terganjal. Dengan begitu, pasokan uang ke dalam negeri akan menyusut, sementara pengeluaran untuk membayar utang semakin besar. Kesulitan Indonesia bertambah karena ekonomi Amerika dan Jepang sedang melamban. Padahal, kedua negara itu menjadi pasar terbesar ekspor Indonesia. Bagi Indonesia, eksporlah (bersama konsumsi dalam negeri) yang menjadi motor penggerak ekonomi sehingga tumbuh 4,8 persen tahun lalu. Nah, pasar ditaksir akan resah dan rupiah bakal terus berada di bawah tekanan bila situasi seperti itu terus berlanjut. Kepala Perwakilan Bank Dunia di Jakarta, Mark Baird, membenarkan bahwa lembaganya memang mengekor IMF. Dalam dokumen Country Assistant Strategy (CAS) yang baru mereka luncurkan, tertera adanya skenario base case dan high case. Skenario bawah yang mengisyaratkan pengurangan jumlah pinjaman hingga US$ 400 juta per tahun disiapkan bila hubungan Indonesia dengan IMF memburuk. Sedangkan skenario atas?pinjaman bisa mencapai US$ 1 miliar?diterapkan manakala hubungan berjalan lancar. "Tindakan tersebut diambil untuk menjamin tingkat pengembalian yang tinggi dari pinjaman itu," kata Baird. Hubungan Bank Dunia dengan Indonesia sendiri saat ini tak bisa dibilang baik-baik saja. Mereka secara terbuka menyatakan keberatan atas rencana pemerintah menerbitkan surat utang senilai US$ 1 miliar dengan jaminan aset (asset back securities). Alasannya, langkah tersebut membuat beban utang pemerintah membengkak menjadi 110 persen dari produk domestik bruto (PDB). Soal lain adalah kekecewaan terhadap penegakan hukum dan kinerja lembaga peradilan Indonesia. Dalam hal ini, Bank Dunia tak asal bicara. Mereka sendiri telah merasakan pahitnya berurusan dengan hukum yang amburadul ketika anak perusahaannya, International Finance Corporation (IFC), kalah beperkara melawan Panca Overseas Finance (POF). "Kekalahan kami itu sangat mengherankan," ujar Baird sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tapi semua kekhawatiran itu, menurut ekonom Adrian Panggabean, terlalu berlebihan. Ia tak menyangkal bahwa dalam jangka pendek sentimen investor akan menurun dan pinjaman dari bank luar negeri akan seret. Namun, dalam jangka panjang, semuanya masih akan baik-baik saja. Alasannya, ibarat timbangan, Indonesia sudah mentok, tak bisa turun lagi, sehingga posisi Indonesia justru bakal kembali terangkat. Prediksi ekonomi Bank Dunia, menurut ekonom Nomura Securities Singapura itu, juga sering tak akurat. Ia menunjuk perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1999 dan 2000 yang cuma -5 persen dan 1,5 persen. Kenyataannya, pada periode itu, ekonomi tumbuh 0,8 persen dan 4,8 persen. "Banyak sekali faktor ekonomi bisa muncul di luar skenario," kata Adrian tentang penyebab kesalahan hitung itu. Kalaupun jumlah pinjaman Bank Dunia menurun, Indonesia, katanya, tak perlu terlalu khawatir. Soalnya, daya serap ekonomi kita biasanya masih lebih rendah dari komitmen utang yang mereka tawarkan. Tahun lalu saja, dari komitmen utang US$ 1,2 miliar, yang betul-betul terserap ternyata cuma US$ 133 juta. Sehingga, bila tahun ini pinjaman mengikuti skenario base case pun, jumlah US$ 398 juta itu masih lebih dari cukup untuk membiayai pembangunan. Ihwal Paris Club, kalaupun gagal, menurut Adrian, juga tak terlalu menjadi masalah. Dengan hasil penjadwalan utang tahun lalu sebesar US$ 2,8 miliar, pemerintah akan bisa menutup utang yang jatuh tempo tahun ini sebesar US$ 7 miliar. Melambannya ekonomi Amerika dan Jepang pun, menurut dia, tak berpengaruh banyak. Soalnya yang menurun terutama adalah permintaan akan barang elektronik dan semikonduktor. Sedangkan ekspor Indonesia ke negara adidaya itu sebagian besar masih berupa tekstil dan produk tekstil, sepatu, dan kayu lapis. Namun, Adrian tak hanya mengecam IMF dan Bank Dunia. Ia juga mengkritik kinerja tim ekonomi pemerintah yang tak terlalu memuaskan. Menko Rizal Ramli, menurut dia, tak berhasil mengoordinasi para menteri ekonomi. Akibatnya, mereka jalan sendiri-sendiri, ibarat serdadu tanpa komandan. Nugroho Dewanto, I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus